Saya merasa senang sekali begitu mendengar kabar dari kawan saya, Albert Rahman Putra, lolos seleksi Residensi Penulis Islands Of Imagination 2018, yang diselenggarakan oleh Komite Buku Nasional (KBN) yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Yang membuat saya lebih bahagia adalah karena lokasi yang dipilih oleh Albert adalah di Lombok Utara, tepatnya di Pasirputih, Pemenang. Tentu menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri kedatangan tamu yang merupakan seorang sahabat, yang juga memiliki kegelisahan yang sama dengan saya secara pribadi maupun sebagai komunitas.
Saya mengenal albert tahun 2013, lewat program akumassa Bernas yang diselenggarakan oleh Forum Lenteng Jakarta. Saat itu, beberapa penulis jaringan akumassa berkumpul dan diberikan lokakarya penulisan investigatif. Lokakarya ini sendiri bertujuan untuk meningkatkan kapasitas penulis jaringan akumassa yang ada di berbagai daerah di Indonesia.
Nah, lewat tulisan singkat ini, saya ingin mengajak pembaca untuk mengenal lebih dekat sosok Albert Rahman Putra.

Albert Rahman Putra lahir di Solok 31 Oktober 1991. Albert menyelesaikan studi Pengkajian Seni Karawitan (Etnomusicologhy), di Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia, Padang Panjang, Sumatra Barat. Sejak di bangku kuliah, Albert sering menghabiskan waktu berdiskusi bersama teman-temannya tentang kondisi musik-musik tradisi, yang membawanya lebih dekat kepada persoalan sosio-kultur masyarakat Sumatra Barat. Karena kegelisan tentang hilangnya ragam adat-istiadat dan tradisi masyarakat Sumatra Barat, membawa Albert dan kawan-kawannya saat itu mendirikan sebuah komunitas, yang kemudian diberi nama Komunitas Gubuak Kopi.
Pada awal berdirinya, Komunitas Gubuak Kopi aktif melihat persoalan tradisi yang sudah hilang atau ditinggalkan oleh masyarakat Sumatra Barat. Menurut Albert ada dua hal yang menyebabkan hilangnya tradisi, (1) ada tradisi yang memang sengaja dihilangkan/ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kehidupan masyarakat Sumatra Barat, (2) ada juga tradisi yang hilang karena pengaruh asing/luar seperti pariwisata, industri, percepatan eknomi dan berbagai pengaruh luar yang lain.
Belakangan, Gubuak Kopi mulai berfikir, “Mengapa kita terus berbicara tentang tradisi yang hilang? Mengapa kita tidak mencoba mencari relevansi tradisi yang hilang itu dengan kondisi kekinian?”. Pertanyaan tersebut kemudian merubah bagaimana cara pandang Gubuak Kopi melihat persoalan tradisi dan bagaimana Gubuak Kopi bergerakan dalam kerangka aktivisme. Jika sebelumnya Gubuak Kopi aktif menarasikan tradisi-tradisi yang hilang, kini mereka lebih menekankan pada kajian serta pencaharian relevansi antara tradisi dengan konteks kontemporer.

Menurut Albert, seringkali persoalan tradisi dipisahkan dengan kebudayaan yang berkembang saat ini. Yang oleh Gubuak Kopi, cara pandang ini adalah keliru. Apalagi kerap kali hilangnya nilai-nilai dianggap karena perkembangan tekhnologi. Maka Gubuak Kopi menawarkan hal lain, yakni justru mendayagunakan tekhnologi masa kini untuk melihat persoalan pergeseran nilai-nilai kebudayaan itu sendiri. Sehingga, dalam gerakannya, Gubuak kopi memanfaatkan smartphone dan memanfaatkan dunia virtual untuk menyuarakan gagasan-gagasan mereka. Dari cara berfikir inilah kemudian Gubuak Kopi mencetuskan beberapa program yang cukup penting dibaca sebagai gerakan seni media di Indonesia, seperti program Daur Subur, Vlog Kampuang, Sinema Pojok dan berbagai program lainnya. Untuk lebih detail, silahkan mengunjungi laman resmi Gubuak Kopi di www.gubuakkopi.id.
Selain mendirikan Gubuak Kopi, Albert juga aktiif menjadi manager sebuah group musik yang cukup dikenal di Sumatra Barat, yakni Orkes Taman Bunga. Orkes taman bunga juga didirikan karena kegelisahan akan hilangnya musik tradisi di Sumatra Barat. Meski di awal berdirinya, Orkes Taman Bunga sering mendapat cibiran, Albert dan kawan-kawan tidak putus asa. Albert aktif mempromosikan grup musiknya di bar-bar, cafe, restauran dan tempat lain. Alhasil, kini Orkes Taman Bunga menjadi salah satu grup musik termahal di Sumatra. Meski sekarang menjadi terkenal, Orkes Taman Bunga tidak lekas mengganti haluan memainkan musik-musik kekinian, mereka justru tetap konsisten dengan latar tradisi.
Selain aktif sebagai motor penggerak di Gubuak Kopi dan Orkes Taman Bunga, Albert Rahman Putra juga terus mengembangkan bakatnya sebagai penulis akumassa Bernas. Sejak 2013 ia konsisten mengangkat isu tentang beragam persoalan sosial di sekitar Danau Singkarak. Tulisan investigatif Albert tentang Danau Singkarak bisa dilihat di www.akumassa.org.
Tahun 2018 ini menjadi tahun yang penting untuk Albert. Tulisan-tulisanya tentang Danau Singkarak akhirnya dibukukan oleh Forum Lenteng, Jakarta dengan judul Sore Kelabu di Selatan Singkarak.
Pemuda dengan segudang prestasi dan ketekunan menjalankan aktivisme ini, kini sedang mendapat kesempatan dari Komite Buku Nasional untuk mengikuti kegiatan Residensi Penulis Islands Of Imagination. Selam 2 bulan kedepan ia akan tinggal di Pasirputih, di Kecamatan Pemenang, untuk menggali, melihat lebih dekat situasi sisio-kultur masyarakat Pemenang, Lombok Utara.
Saya sempat bertaya tentang mengapa ia memilih untuk melaksanakan residensinya di Pemenang, dan bekerjasama dengan Pasirputih. Selain alasan pertemanan yang sudah cukup lama terbangun, Albert melihat kemiripan persoalan sosial yang dihadapi Lombok dan Solok, Sumatra Barat.

“Ada pergeseran nilai yang terjadi karena faktor luar. Kalau kata ‘pergeseran’ terlalu berat, kita bisa gunakan kata ‘penyederhanaan nilai’. Kalau di Lombok Utara penyebabnya adalah pariwisata. Selain itu, saya tertarik dengan Bangsal Menggawe yang diinisiasi oleh Pasirputih, sebagai sebuah model media kreatif yang dikelola oleh warga, untuk kembali mengkaji nilai-nlai yang sudah hilang tersebut”. Begitu ungkapan Albert kepada saya, saat ‘ngobrol’ beberapa waktu lalu di Pasirputih.
Selama di Pemenang, Albert akan banyak bekerja bersama Muhammad Gozali, direktur Pasirputih. Pasirputih memang mengamanahkan Gozali menjadi teman diskusi dan teman riset Albert, karena Gozali sangat-sangat memahami bagaimana kondisi masyarakat Pemenang, Selain itu, Gozali juga memiliki akses ke banyak tokoh-tokoh penting di Lombok Utara. Bersama Gozali, kami berharap riset dan nantinya buku yang akan dihasilkan dari residensi ini menjadi buku penting sebagai upaya membingkai dinamika kebudayaan Lombok Utara. ***