Oleh: Muhammad Gozali | Komunitas pasirputih
Musik merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Rhoma Irama dalam bait lagunya menyatakan “Dimana-mana diatas dunia, banyak orang bermain musik”. Musik sangat lekat dengan kehidupan manusia seperti dua sisi uang logam, keduanya memliki keterkaitan. Letak geografis yang berbeda bahkan memunculkan karakteristik musik yang berbeda pula. Beragam musik bermunculan seperti; Pop, Dangdut, Rock, Klasik, Reggae, Country, dan masih banyak lagi yang lain. Musik juga menjadi media hiburan, media pergerakan, dan tidak jarang kita temui yang memanfaatkan musik untuk menggaet perhatian orang untuk membeli barang yang mereka jajakan. Amaq Faridah misalnya, lelaki separuh baya yang memanfaatkan musik sebagai media untuk menarik perhatian anak-anak agar mau mendekat untuk membeli Manisan Gulali buatannya.

Aku baru saja balik dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tanjung, Lombok Utara, mengantar ibuku untuk mengontrol penyakit yang ia derita. Sesampai dirumah, aku melihat lelaki separuh baya dengan pakaian yang lumayan necis berdiri tepat di depan rumahku. Lelaki itu memakai topi merah dengan logo Billabong, dan mengenakan kaca mata hitam. Bahkan di jari jemarinya nampak beberapa buah cincin yang berukuran besar. Nampak ia sedang memikul mandolin, dan timbur. Aku berfikir mungkin ia seorang pengamen. Tiba-tiba anakku Wafda mendekat sambil menangis dan menunjuk orang tersebut. Ketika ku perhatikan kotak kayu yang dibawa sama orang tua itu, terdapat sebuah tulisan yang berbunyi “Gulali Amaq Faridah Rp. 1000,-”.Yang menarik perhatianku, ternyata orang tersebut sedang menjajakan Manisan Gulali seperti juga pedagang Pakpung. Bahkan, sesekali ia juga memukul tambur untuk mengundang pembeli.

Banyak anak-anak, bahkan orang dewasa mendekat untuk membeli manisan yang ia bawa. Ketika asyik melayani pembelinya, muncul kakakku Badrul. Ia minta Amaq Faridah untuk memainkan alat musik yang ia bawa dan menyanyikan sebuah tembang lagu. Amaq Faridah segera mengambil mandolin dan dengan gaya khasnya menghibur anak-anak yang sedang menikmati gulali buatannya dengan tembang lagu Sasak. Kakakku langsung mengabadikannya dengan kamera HP yang ia pegang. Setelah kutanya, ternyata Amaq Faridah berasal dari Lombok Timur. Artinya, ia melewati tiga kabupaten (Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Kodya Mataram) untuk sampai di tempat asalku Lombok Utara.


Aku teringat dengan penjual manisan yang ada di filem “Pather Panchali”, yang senantiasa ditunggu oleh Durga dan adiknya. Sama halnya dengan pedagang Pakpung yang ada di Filem Dokumenter “Elesan Deq a Tutuq”. Namun, ada yang berbeda dari para pedagang manisan yang aku temui. Kalau pedagang Pakpung yang ada di Filem Elesan Deq a Tutuq mengenakan pakaian layaknya seorang koboy dengan pakaian kotak-kotak yang dimasukkan kedalam celananya, dan mengenakan kaca mata putih. Sedangkan Amaq Faridah, justru dengan penampilan yang nyentrik dan gaul. Entahlah, mungkin ini cara mereka menerjemahkan keinginan anak-anak yang menjadi sasaran mereka. Aku tidak sempat ngobrol dan bertanya banyak dengan pedagang manisan (Amaq Faridah) yang satu ini. Ia buru-buru pergi untuk menjajakan manisannya.