Catatan Izomi di Hari Senin – Bag. 1: “Bantu, Bantu, dan Bantu”

SENIN, FEBRUARI 2019, saya bangun pukul 10:32 WITA di rumah Rajib (Ketua Panitia Bangsal Cup U-13). Semalam, Rajib mengajak saya dan Albert menginap di rumahnya. Albert adalah pendiri Gubuak Kopi di Solok, Sumatera Barat. Ia datang ke Pemenang untuk membantu penyelenggaraan Bangsal Menggawe 2019. Usai bersih-bersih badan, saya dan Albert kembali ke markas Pasirputih setelah pamit dengan ibunya Rajib.

Markas Pasirputih. Kini, Pasirputih mempunyai dua huntara (campcraft). (Foto: Manshur Zikri)

Setibanya di Pasirputih, saya langsung pergi ke dapur umum, membantu Ipeh. Bernama lengkap Afifah Farida, Ipeh adalah pendiri Pusat Studi Agrikultur Sayurankita di Pekanbaru. Saat ini, ia sedang berada di Pemenang membantu Pasirputih mengembangkan program Aksara Tani dan juga ikut membantu penyelenggaraan Bangsal Menggawe 2019. Ketika menemuinya, Ipeh sedang menyiapkan makan siang untuk kawan-kawan Pasirputih dan Forum Lenteng. Sementara itu, Albert ikut bergabung bersama Wing Sentot Irawan (seorang musisi) yang sedang nongkrong dengan Harry Burke, teman Bang Sibawaihi dari Inggris. Harry adalah seorang kurator seni independen. Baik Mas Sentot maupun Harry sengaja datang untuk melihat proses pelaksanaan Bangsal Menggawe yang sudah dimulai sejak tanggal 1 Februari lalu.

Dapur umum Pasirputih yang digunakan para panitia Bangsal Menggawe 2019 selama pelaksanaan festival ini sepanjang bulan Februari. (Foto: Manshur Zikri)

Saya bertanya kepada Ipeh, apakah ada yang bisa saya bantu. Ia pun menyuruh saya memindahkan nasi yang sudah matang di panci di atas kompor ke wadah nasi yang sudah ia siapkan. Sembari saya memindahkan nasi itu, Ipeh juga meminta bantuan saya untuk membuatkan lubang tanah yang akan dimanfaatkan sebagai pengolahan limbah dapur sehingga bisa dijadikan pupuk. “Saya akan bikin nanti sore,” jawab saya. Usai memindahkan nasi, saya membantu Ipeh membuat sambal sebagai penikmat lauk-pauk yang sudah dimasaknya, seperti ikan tongkol kuah asam, sayur bening, dan terong tumis.

Saya ikut bergabung, nongkrong bersama Albert, Mas Sentot, dan Joe Datuak (anggota Gubuak Kopi yang juga datang ke Pemenang) setelah selesai membantu Ipeh memasak di dapur. Saya sempat membuat kopi terlebih dahulu sebelum ikut mendengarkan obrolan mereka. Beberapa menit saya ikut nimbrung dengan kawan-kawan itu, tiba-tiba Oka (Direktur Bangsal Menggawe) memanggil saya, meminta bantuan untuk memindahkan barang-barang dari ruangan kerja Pasirputih ke Gudang yang ada di sebelah barat. Saya langsung saja menghampiri dan membantunya memindahkan mesin printer ke gudang tersebut.

Selesai membantu Oka memindahkan printer, giliran Yani (dan Ipeh juga) yang meminta bantuan saya untuk membuang sampah dan membakarnya di tempat pembakaran yang ada di depan huntara (campcraft) Pasirputih yang baru. Saya dan Yani kemudian mengangkat tong sampah ke tempat pembakaran. Awalnya, Yani berniat menumpahkan semua sampah yang ada di dalam tong ke tempat pembakaran. Namun, di dalam tong tersebut, ada sampah kering yang bercampur dengan sampah basah, yang juga tercampur air bekas hujan. Karenanya, saya pun memisahkan sampah kering dan memindahkannya terlebih dahulu ke tempat pembakaran, dan setelah itu selesai saya lakukan, barulah saya memindahkan sampah-sampah yang basah ke tempat pembuangan yang lebih besar penampungannya di tempat lain.

Tempat pembakaran sampah (atau biasa disebut juga “taman bundar” oleh beberapa teman di Pasirputih. (Foto: Manshur Zikri)

Saat membuat sampah basah itu, saya berjalan ke arah timur sementara Yani ke arah barat, mencari tong pembuangan sampah yang lebih besar. Selang berapa menit saya mencari tempat pembuangan sampah, saya menemukan lubang besar di sebelah toilet bekas pengungsian warga. Isi lubang yang jaraknya tak jauh dari campcraft Pasirputih itu, rupanya, memang tumpukan sampah. Saya langsung memberitahu Yani bahwa ada tempat pembuangan sampah di situ. Kami pun bersama-sama menggotong tong yang berisikan sampah basah dan air bekas hujan tadi ke tempat pembuangan yang saya temukan tersebut. Ada dua tong, sebenarnya. Dan saat mengangkut tong yang kedua, kami menggunakan gerobak agar lebih mudah. Kami juga sempat membersihkan sampah-sampah yang masih berserakan di halaman Pasirputih dan membuang semuanya ke dalam lubang besar itu.

Lubang besar yang saya temui ada di area sebelah timur markas Pasirputih. (Foto: Manshur Zikri)

Selesai dengan urusan sampah itu, saya dan Yani istirahat dengan kembali nongkrong bersama Harry dan Mas Sentot. Saat itu, Dhuha, salah seorang anggota Forum Lenteng, Jakarta, juga sudah ikut bergabung dalam tongkrongan. Selang beberapa menit, Pak Herman, tetangga Pasirputih, memanggil saya untuk meminta bantuan memindahkan posisi berugaq yang ada di area bangunan rumahnya. Pak Herman juga meminta bantuan kawan-kawan Pasirputih yang lainnya. Saya langsung bergegas ke sana.

Saat kami, dan para tukang bangunan yang sedang membangun rumah Pak Herman, sudah siap di posisi masing-masing, Bang Sibawaihi memberikan aba-aba untuk mulai mengangkat berugaq tersebut bersama-sama. “Satu, dua, satu, dua, tiga!” teriak Bang Siba. Ketika berugaqnya bergeser sedikit, tidak tahunya, atap berugaq itu tersangkut di senta atap rumah yang ada di sebelah posisi awal berugaq itu. Atap berugaq yang kami angkat hampir terlepas dari senta penyangganya sehingga kami harus berhenti mengangkat dan meletakkan berugaq itu di atas tanah.

Di tengah-tengah usaha kami mengangkat berugaq, tiba-tiba Maria memanggil saya. Ia bertanya, ke mana harus meminta izin jika ingin menggunakan ruangan GOR untuk latihan menari bocah-bocah yang tinggal di sekitaran markas Pasirputih. Saya pun membawanya menemui Pak Manan, si pengelola GOR Bulu Tangkis Pemenang. Setibanya di rumah Pak Manan, saya mengucapkan salam dan ternyata yang membalas salam saya adalah istrinya Pak Manan. Jadi, saya meminta izin darinya dan istri Pak Manan mengiyakan permohonan saya. Lalu, saya memberitahukan Maria bahwa saya sudah diizinkan oleh istri Pak Manan untuk menggunakan ruangan gedung tersebut. Mendengar itu, Maria langsung masuk ke dalam GOR sementara saya kembali membantu kawan-kawan menggotong berugaq.

Berugaq (atap berwarna hijau) milik Pak Herman yang sudah dipindahkan. Di sebelah kanan adalah rumah baru Pak Herman. (Foto: Manshur Zikri)

Saat saya kembali bergabung dengan mereka, Bang Sibawaihi sedang mencoba melepaskan atap berugaq itu dari senta atap rumah yang menghambat pergeserannya. Usaha itu sia-sia. Si tukang kayu juga mencoba melepaskan senta atap yang tersangkut itu, tapi tidak bisa juga. Akhirnya, Pak Herman sendiri yang turun tangan, membereskan persoalan atap berugaqnya yang tersangkut di senta rumah tersebut. Pak Herman menyuruh anaknya mengambil palu dan ia naik ke atas berugaq; dengan palu itu ia melepas atap berugaq itu sepenuhnya.

Setelah itu, kami kembali mengambil posisi masing-masing untuk mengangkat berugaq. Ketika siap di posisi, Bang Sibawaihi kembali memberikan aba-aba agar kami serentak bersama-sama menggotong berugaq. Pak Herman mengarahkan kami di mana posisi baru berugaq itu. “Stoooop! Stooop!” teriak Pak Herman kemudian. Itu berarti berugaq sudah berada di posisi yang pas.

Usai menggotong berugaq itu, Ipeh menyuruh kami makan siang dan kami langsung bergantian masuk dapur untuk mengambil makan siang.

Selesai makan siang, saya ke berugaq milik Pasirputih yang ada di sebelah barat area markasnya. Saya bergabung dengan Bang Gozali (Ketua Umum Pasirputih), Om Ciki (Ketua Pawang Rinjani), Bang Sibawaihi, dan Bukhari (salah seorang warga di Karang Subagan Daya) untuk meminta rokok. Beberapa menit kemudian, saya masuk ke ruangan kelas Mendea—sekolah alternatif di bidang pertanian yang dikelola oleh program Aksara Tani. Di dalamnya, ada Nawawi dan Yani (anggota Pasirputih lainnya), Albert, dan Oka. Mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing; Albert sedang menulis, Yani tidur siang, Nawawi [baru akan] tidur siang, dan Oka sibuk dengan handphone-nya.

Saya kemudian mengambil laptop dan mulai menulis aktivitas sehari-hari. Selang beberapa menit kemudian, Albert pun tampak sudah selesai menulis dan ia keluar dari ruangan itu. Hamdani (anggota Pasirputih) masuk dan mencari posisi untuk tidur siang.

Bersambung ke Bag. 2


Editor: Manshur Zikri

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.