Malam itu, jemari waktu merangkak pada angka 02.30 WITA. Artinya, sudah memasuki bulan baru Selasa, 1 Agustus 2015. Aku terbangun oleh rintihan istriku dari arah luar kamar tidur. Dengan rasa kantuk yang masih berat, saya keluar kamar. Ku dapati istriku tengah duduk bersandar di tembok rumah sambil memegang perutnya “Kak, ka kek, sakit tian tiang niki. Tiang jaga menganak nengka rua a ni” (Kak, ayo dong, saya sakit perut ini. Sepertinya saya akan melahirkan sekarang). Spontan mata saya terbelalak, bingung dan tegang bercampur menjadi satu. Segera saya berlari mencari kunci sepeda motor, “Sepeda motor tekadu sik bapakm mete Papuq Mahrup” (Sepeda motor sedang dipakai sama bapakmu untuk mencari Nenek Mahrup) cegat ibu mertuaku sambil mempersiapkan kebutuhan bersalin. Saya bingung, kenapa justru mencari Papuq Mahrup, kenapa tidak langsung ke Puskesmas? Siapa Papuq Mahrup itu? Apa yang harus saya lakukan sekarang? Istriku terus meringis kesakitan yang membuat anak pertama saya Wafda, terbangun. Melihat kondisi ibunya, Wafda terlihat ketakutan dan menangis sejadi-jadinya. Mungkin ia berpikir bahwa sesuatu tidak baik sedang terjadi pada ibunya. Saya segera mengambil inisiatif menggendong Wafda dan menenangkannya agar suasana sedikit tenang.
Terdengar suara sepeda motor dari arah luar rumah. Saya dudukkan Wafda di dekat ibunya, lalu saya buka pintu. “Assalamu’alaikum, mbe Ana (panggilan istriku)?” (Assalamu’alaikum, mana Ana?) kata sosok perempuan tua berusia sekitar 70 tahun dengan tergopoh-gopoh, yang ternyata Papuq Mahrup sendiri (biasa disapa Papuq Rup). Penampilannya sederhana, Ia mengenakan jilbab dengan style seadanya. Ditambah dengan kebaya, sarung kembang dan menenteng tas. “Negen sugul ite rue kanaq ne, Papuq Rup.” (Sepertinya anak ini mau keluar disini, Papuq Rup) Rintih istriku menyambut kedatangan Papuq Mahrup. Dengan nada cukup tegas Papuq Mahrup berkata “Cobak gitak. Oh ndek, pokokne kamu nganak lek bidan. Bau wah nteh!” (Coba lihat. Oh tidak, pokoknya kamu melahirkan di bidan. Pasti bisa, ayo!). Saya segera menghidupkan sepeda motor dan mengambil haluan kearah barat sesuai arahan istriku. Tujuan kami ke Poskesdes Desa Akar-akar, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara.
Langit-langit bumi Bayan nampak cerah memperlihatkan wajah gemintang. Hembusan angin Rinjani membawa dingin yang sangat. Suasana begitu hening, hampir tak terlihat aktifitas warga, selain desingan sepeda motorku melaju melawan itu semua. Semakin lama, dingin makin menghujam tajam kedalam tulang. Saya tak kuat, karena tubuhku hanya berbalut baju kaos. Tak ayal, sepeda motor melaju dengan bergetar dan bergoncang hebat. Saya menurunkan kecepatan, menguatkan pegangan. Dan dengan tangan kiri, ku rangkul diriku sendiri mencari kehangatan. Sebaliknya, istriku malah tidak memperdulikan suasana itu. Dia meringis kesakitan dan meminta saya untuk mempercepat laju sepeda motor. Saat itulah baru saya tahu, kalau posisi Poskesdes berada disebelah barat Kantor Desa Akar-akar. Mungkin wajar tak terlihat oleh ku, karena plangnya berukuran kecil. Posisi poskesdes sendiri berada di dalam sekitar 7 meter dari jalan raya.
Proses persalinan berjalan lancar, istri dan anakku selamat. Kamipun duduk di salah satu ruangan sambil menarik nafas panjang dan menikmati kopi kami masing-masing. Ditengah-tengah obrolan, baru saya tahu kalau Papuq Rup seorang Belian Nganak (Dukun Beranak). Papuq Mahrup bercerita kalau beliau sudah hampir 40 tahun mengurus orang-orang yang melahirkan di Dusun Batu Keruk pada khususnya dan Bayan pada umumnya. Bahkan nenek dan ibu dari istriku, beliaulah yang mengurusnya waktu melahirkan. Dulu beliau sempat mengikuti pelatihan di Rumah Sakit Umum Provinsi NTB, dan mendapatkan sertifikat. Tapi sertifikat itu sudah rusak dan hilang karena tidak terurus.
“Laeq Ndek narak bidan, jari bale doang taok te ngurus dengan nganak. Laguk nengke ndek ne kanggo, dong te dende saya” (Dulu tidak ada bidan, jadi di rumahlah kita mengurus orang-orang melahirkan. Tapi sekarang tidak boleh, nanti saya bisa didenda) Tutur Papuq Rup dengan nada suaranya yang serak. Menurut penuturan Papuq Mahrup, dulu para dukun beranak pernah dikumpulkan oleh pihak Kecamatan Bayan. Yang hadir saat itu termasuk pihak Puskesmas Bayan dan Kapolsek Bayan. Pada waktu itu, para dukun beranak mendapatkan peringatan dari Bapak Kapolsek Bayan. Kalau mereka masih melakukan praktek di rumah, maka mereka akan ditangkap dan dikenakan denda. Denda yang dikenakan bagi dukun beranak untuk satu orang pasien sebesar Rp. 150.000,- (Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah). Tapi kalau mereka bawa ke Poskesdes, Polindes, Pustu atau Puskesmas, maka mereka mendapatkan imbalan sebesar Rp. 15.000,- (Lima Belas Ribu Rupiah). “Iye ampoq ku paksak Ana nganak lek ite ngonek no, mumpung ne masih bau endah.” (Makanya tadi saya paksa Ana agar melahirkan disini, mumpung juga masih bisa.) Saya mengangguk mendengar penuturan beliau. Beliau juga menyampaikan keluhannya kepada saya tentang kondisi sekarang. Dulu, kalau Papuq Rup membawa pasien, beliau diberikan imbalan dan ongkos ojek. Tapi kalau sekarang yang ada hanya imbalan saja.
Sedangkan mengenai pembagian tugas antara dukun beranak dengan bidan. Papuq Rup menjelaskan, kalau beliau memang tidak mengerti masalah suntik atau infuse. Apalagi masalah ngecek darah atau jahit-menjahit. Tapi beliau lebih pada hal menjaga ibu dan anak dari gangguan-gangguan ghoib. Dan beliau jugalah yang mengurus masalah Ari-ari (Adik Kakak; Bahasa Sasak). Yang dalam keyakinan masyarakat sasak, ritual untuk Ari-ari sangat membantu sang anak terhindar dari penyakit atau gangguan makhluk halus. Bahkan dari informasi tambahan yang saya dapatkan kalau anak perempuan, ari-arinya ditanam di halaman rumah dengan tujuan agar sang anak betah tinggal di rumah. Sedangkan ari-ari anak laki-laki dihanyutkan di pantai, dengan tujuan agar memiliki semangat mencari pekerjaan dan betah ketika bekerja atau merantau. Oleh karena itu, mengenai hal ini dengan santainya Papuq Rup berujar “Iye ampok ku badak bidan-bidan tie, mae te pade bekerjasama.” (Makanya saya sampaikan kepada bidan-bidan itu, mari kita bekerjasama.)


Ternyata aktifitas Papuq Rup dalam menangani orang melahirkan tidak cukup sampai disana saja. Selanjutnya dilsayakanlah Ritual Buang Awu. Sebuah ritual bagi ibu dan anak agar terhindar dari bala’ dan penyakit. Dan dalam ritual inilah orang tua memberikan nama pada sang anak. Acara ini dilsayakan ketika pusar sang anak mengering atau putus.
Ada beberapa hal yang dilsayakan oleh Papuq Rup dalam ritual ini, Pertama; mengurut tubuh istriku, terutama sekali bagian perut dengan Langeh (santan yang dicampur dengan kunyit) yang sudah dibacakan do’a. Selanjutnya beliau mengikatkan benang berwarna hitam di pinggang dan tangan kiri istriku. Baru setelah itu, Papuq Rup dengan lihainya mengurut seluruh tubuh anakku. Bahkan sesekali dijinjingnya tubuh anakku sedemikian rupa. Selanjutnya beliau juga ikatkan benang berwarna hitam dipinggang, kedua tangan dan kaki anakku. Kedua; diistilahkan dengan Perapi-api. Kegiatan ini kami jalankan di belakang rumah. Sebelumnya ibu mertua saya menyiapkan bak bayi, mengisinya dengan air dan dedaunan. Lalu mengambil bara yang masih menyala dari Belaong; Jangkih (tempat menanak nasi). Bara tersebut ditempatkan pada sebuah nampan berukuran sedang.
Dimintalah istriku berdiri diatasnya, dan Papuq Rup menyiram bara itu dengan air dari bak bayi tersebut sambil berdo’a. Asap membumbung dan menyebar keseluruh tubuh istriku. Setelah itu baru giliran anakku, ia ditimang-timang diatas asap itu beberapa detik. Barulah setelah itu istri dan anakku mandi seperti biasanya.
Ketiga; Papuq Rup masuk kembali kedalam rumah dan siap melsayakan ritual Sembeq. Andang-andang (persyaratan) telah disiapkan dalam baskom kecil; ia berisi beras, daun sirih dan uang. Nominal uang tersebut kisarannya tergantung kemampuan keluarga, mulai dari Rp. 20.000,- sampai 50.000,-. Awalnya, Papuq Rup meramu daun sirih, setelah itu dibacakan do’a, lalu dikunyahnya. Setelah dirasa cukup lembut, lalu beliau goreskan dikening istriku layaknya Sindur dalam adat India. Kini giliran anakku, sebelumnya Papuq Rup bertanya “Sai aran kanak ne?” (Siapa nama anak ini?). “Rencana ne jak Najwa Putri Anjani” (Rencananya Najwa Putri Anjani) jawabku yang masih kebingungan mau kasih nama apa. Baru kemudian digoreskan ke kening anakku dengan motif tanda tambah sambil berkata “Kemu gen te aranin Najwa Putri Anjani. Mudah-mudahan kemu jari kanak sak Sholehah, bakti tipak inaq amaq, bakti tipak Allah, selamat dunie, selamat akhirat, Amin Ya Rabbal Alamin. Alhamdulillah, aneh inggas wah.” (Kamu akan dikasih nama Najwa Putri Anjani. Mudah-mudahan kamu jadi anak yang sholehah, berbakti kepada ibu dan bapak, berbakti kepada Allah, selamat di dunia dan selamat juga diakhirat, Amin Ya Rabbal Alamin. Alhamdulillah, sudah selesai semua). Lalu beliau goreskan lagi dibagian bawah kedua telinganya, ditangan dan kaki.
Terlihat wajah Papuq Rup berbinar-binar karena telah menyelesaikan tugasnya. Beliau memperbaiki beberapa perlengkapan dan dimasukkan ke dalam tas yang setia ia gunakan setiap hari. Datanglah ibu mertusaya membawa segelas kopi untuk Papuq Rup. Setelah beberapa kali beliau menghirup kopi, saya mencoba bertanya “Kumbek ne ampok te gawek sak ngene-ngene ne?” (Kenapa kita harus melsayakan hal-hal yang seperti ini?). Beliau menjawab “Mule ngene ntan te te ajar sik dengan toak laeq. Anteq inaq dait anak ne merase ringan, nyaman, solah, pacu, selamat dait sehat.” (Memang seperti inilah cara-cara yang diajarkan oleh orang tua kita dulu. Supaya ibu dan anaknya merasa ringan, nyaman, baik, taat, selamat dan sehat). Mengenai masalah Ritual Perapi-api, Papuq Mahrup menegaskan “Biase dengan nganak no perasaan ne berat. Jari ye ampok ne te Perapi-api anteq ne ngerase ringan, nyaman. Dait kadu nyedik penyakit.” (Biasanya orang melahirkan itu perasaannya terasa berat. Makanya diperapi-api agar merasa ringan dan nyaman. Dan untuk mengusir penyakit). Kembali saya bertanya mengenai benang hitam yang terikat di tubuh istri dan anakku. Sembari menghirup kopinya Papuq Mahrup berkata “Iye aran Sengkalis, jari tebeng anteq ndek ne kene bakat. Terus taoq mek, dengan nine sak nganak no 40 urat ne petok. Ye ampok ne te pasangin Sengkalis anteq ne nyambung mak sediekale” (Itu namanya Sengkalis, untuk jaga-jaga jangan sampai kena luka (Luka Gaib_Red). Kamu mau tahu, perempuan yang sudah melahirkan itu 40 uratnya putus. Makanya dipasangi Sengkalis agar urat-urat itu nyambung seperti sediakala). Baru saja saya melontarkan beberapa pertanyaan, datanglah seorang perempuan menjemput Papuq Rup. Ternyata Papuq Rup sudah ditunggu cukup lama oleh pasiennya yang mau diurut.
Sejenak ku tatap wajah istri dan anakku, “Oya, dulu Wafda lahir di Pemenang. Apa dia juga melalui ritual seperti ini?” Tanya ku ke istri. Sambil menimang si kecil istriku menjawab “Iya, tapi Wafda hanya diurut dan di’sembeq’ saja”.