Sapa Tan Mawi Adat Ambayani

Tulisan ini merupakan Selayang pandang mengenai adat budaya Kabupaten Lombok Utara. Ditulis oleh Kamardi, SH dalam pertemuan Forum Diskusi KelasWah pasirputih pada tanggal 12 Januari 2017.

Saya memberi judul dalam tulisan ini “Sapa Tan Mawi Adat Ambayani” sebuah petikan dari kitab Lontar di Lombok Utara yang artinya “Barang Siapa Yang Tidak Tahu Adat Maka dia Dapat Merugikan Dirinya Sendiri, Orang Lain dan Lingkungannya”. Kabupaten Lombok Utara dalam kehidupan masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok pada umumnya dikenal dengan sebutan Dayan Gunung yang artinya wilayah pulau Lombok yang terletak disebelah utara gunung(Daya=utara) dimana terdapat sebuah gunung dengan puncaknya bernama pusuk yang merupakan batas wilayah administrative antara kabupaten Lombok Utara dengan Kabupaten Lombok Barat.

Kabupaten termuda wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) terbentuk berdasarkan UU No. 26 tahun 2018 tanggal 24 Juli 2008 berpenduduk 205.064 jiwa bertempat tinggal di 33 desa dan 5 kecamatan.

Penduduk Lombok Utara terdiri dari berbagai suku dan agama yang hidup berdampingan secara rukun dan harmonis serta saling menghormati. Sebagai besar penduduk Lombok Utara menganut agama Islam , Budha dan Hindu.

Gendang Beleq
foto:google.com
Prosesi perayaan Maulid adat
foto: google,com

Esensi kehidupan yang sangat harmonis diantara suku dan agama di Kabupaten Lombok Utara berlandaskan pada:

  1. Konsep Ketuhanan

Pada dasarnya Masyarakat Lombok Utara telah mengenal konsep ketuhanan sejak zaman nenek moyangnya, terbukti dengan sebutan terhadap tuhan dengan sebutan “Neneq” sehingga secara lengkap pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa disebut “Neneq Kaji Siq Kuasa” yang artinya tuhanku yang maha kuasa.

Syiiar Islam di Kabupaten Lombok Utara dimulai sekitar abad XVI Masehi disebarkan oleh para Wali dari Pulau Jawa dimana Masyarakat Lombok Utara pada saat itu menganut kepercayaan animism, dinamisme maupun Tetonisme dengan ritual adat singkritisme.

Pada saat itu, penyebaran agama Islam dilakukan melalui pendekatan budaya (kultural) masuk melalui seni budaya berupa tari-tarian, wayang kulit, baca lontar (memaca), bersyair dan berkhikayat (baca hikayat), mendongeng (ngoaran) dan lain-lain.

Bukti konsep ketauhidan mengenai tuhan sampai saat ini masih ada berupa peninggalan beberapa kitab lontar yang memakai bahasa Sangsekerta (Jawa kuno) dan acapkali dibaca pada acara-acara hajatan tertentu, kitab-kitab tersebut seperti kitab Jatiswara, Tapal Adam, Nur Bayan, Bayanullah, Serat Menak, Kelambu Nyawa, Bangke Oros, dan lain-lain, disamping kitab-kitab lontar pengenalan diri dan ketauhidan masih banyak kitab-kitab lontar yang menceritakan tentang legenda (cerita rakyat) seperti Kitab Cillinaya, Doyan Mangan, Rengganis dan lain-lain.

Tentulah penyebaran Islam saat itu tidak mengalami kesempurnaan karena situasi pada abad  itu Lombok Utara dikuasai oleh kerajaan dari Bali (Baca; Babat Lombok) dan pada tahun 1067 pasca peristiwa G30S-PKI oleh pemerintah dilakukan penyempurnaan bagi masyarakat yang memeluk agama Islam dimana sebelumnya hal-hal yang berhubungan dengan Syari’at belum sempurna, baru melaksanakan 3 rukun dari 5 rukun Islam yang ada.

  1. Adat

Adat dipahami sebagai norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur kehidupan dalam bermasyarakat, bernegara dan beragama, suku sasak pada umumnya mengenal istilah “Adat Luir Gama” adat yang bersendikan pada agama (ketuhanan).

Tiga dimensi adat yang mendasar dalam menata kehidupan masyarakat Lombok Utara, Pertama: Dimensi Adat Tapsila, adalah yang mengatur hubungan antara sesama manusia dengan nilai-nilai luhur dan mengatur hubungan manusia dengan alam sekitarnya serta mengatur hubungan manusia dengan Tuhan pencipta segala segala bentuk dan rupa, kedua: Dimensi Adat Krama, adalah yang mengatur tata nilai manusia dalam hubungan perluasan kekeluargaan (adat kawin mawin) dan ketiga: Dimensi Adat Gama, adalah yang mengatur adat istiadat dan tradisi dalam upacara-upacara ritual yang terdiri dari kategori upacara ritual adat Urip (hidup) yang disebut “Gawe Urip” dan upacara ritual adat pati (upacara berhubungan dengan kematian) yang disebut “Gawe Pati”.

Adapun yang termasuk kategori Gawe Urip seperti upacara ritual mulai dari proses kehamilan, melahirkan (Buang Awu atau Medaq Api), Asah Gigi (mengasaq), proses perkawinan, Selamat Gubuk, Tolak Bala, Lebaran Maulid Nabi dan lain-lain.

Yang termasuk kategori Gawe Pati seperti Upacara Pemakaman, Nyusur Tanaq, Nelung, Mituq, Nyiwaq, Nyatus, Nyiu (hari keseribu), Nekolang dan lain-lain.

Pemaknaan dari dimensi-dimensi adat ini pad intisarinya adalah sebagai wahana dan perwujudan pengaturan keseimbangan dan keharmonisan hidup dan mensyukuri atas anugerah yang diberikan sang pencipta, Tuhan Yang Maha Esa.

Kearifan budaya lokal yang tekandung dalam nilai adat tidak terlepas dari kehidupan masyarakat Dayan Gunung (Lombok Utara) dalam kesehariannya sehingga kearifan budaya lokal sangat kental dengan aturan-aturan setempat (hokum-hukum adat/ awig-awig) yang dikenal dengan nama hokum adat yang masih berlaku hingga saat ini yang merupakan warisan para leluhur dan dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.

proses tumbuk beras, Bayan
foto: google.com
Maulid adat Gumantar
foto: google.com
Bisoq Beras foto:google.com

Aplikasi pranata adat ini mengacu pada tiga fungsi dan wewenang yang disebut sebagai esensi Wetu Telu (tiga wilayah kewenangan), Wetu= wilayah hokum dan Tau Telu= tiga orang pemimpin.

  1. Wet Kepemerintahan yang di setiap wilayah (gumi paer) setingkat wilayah desa dipimpin oleh seorang Pemusungan/sekarang disebut Kepala Desa yang mengatur kehidupan sosial politik, keperintahan di masyarakatkan.
  2. Wet Kepenghuluan (penghulu) yang memimpin acara-acara keagamaan dan memelihara keyakinan beragama di masyarakatnya.
  3. Wet Mangku (pemangku) yang memimpin acara-acara ritual berhubungan dengan acara-acara tradisi yang sarat dengan pemaknaan kerifan.

Wetu Telu adalah suatu tatanan yang bersinergi dengan kehidupan keseharian masyarakat Dayan Gunung (Lombok Utara) disegala bidang.

  1. Agama

Agama dipahami sebagai bentuk pembelajaran dan tuntutan serta petunjuk bagi manusia untuk mengenali diri, alam semesta dan Tuhan sebagai pencipta yang diberikan kepada manusia melalui perantara, memiliki kitab suci da nada umat penganutnya.

Akhirnya agama sebagai penyempurna tradisi. Tradisi menambah suburnya syiar agama yang terus menerus bergulir sepanjang masa menuju kepada kesempurnaan hidup penganutnya. Norma-norma agama telah menjadi salah satu unsur jati diri orang Sasak Dayan Gunung (Lombok Utara), mewarnai hidup dan kehidupannya dalam bertradisi, berbudaya dan beradat dalam hidup keseharian.

  1. Budaya dan Adat Istiadat

Budaya merupakan cipta, rasa dan karsa, orang Sasak Dayan Gunung (Lombok Utara) dalam rangka meng-esakan dan meng-agungkan serta mengaplikasikan perintah Tuhan yang diterima melalui agama adat budaya sehingga masyarakat Lombok Utara memiliki prinsip budaya mengadatkan agama dengan semboyan “Bukan adat yang diagamakan tetapi agama yang diadatkan” mengandung makna bahwa segala perintah agama hendaknya harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

Bukanlah budaya orang Sasak pada umumnya jika kehidupannya tidak sesuai dengan perintah Tuhan melalui agama sehingga budaya telah menjadi karakter, kepribadian, jati diri orang Sasak dalam mengasah akal budinya sesuai petunjuk yang diterima melalui agama dan tradisi yang diwariskan oleh leluhur nenek moyang kepada generasinya.

Mendalami hakekat dalam konsep berketuhanan melalui budaya membaca kitab-kitab kunoberbentuk lontar seperti Kitab Jatiswara misalnya, adalah merupakan cara bersyiar agama, orang Sasak Dayan Gunung terkenal sebagai komunitas yang patuh pada tradisi.

Tradisi Sasak mengajarkan keseimbangan hidup dalam tiga aspek, yaitu: aspek hubungan dengan Tuhan, aspek hubungan dengan sesame manusia dan aspek hubungan dengan alam sekitar.

Adat istiadat adalah tata cara hidupn dan kehidupan bagi makhluk yang berbudaya menjalankan kehidupan orang Sasak Dayan Gunung pada umumnya dikenal sebagai orang yang beradat, patuh, dan taat dalam menjalankan perintah agama dan berpantang (pemaliq) mengingkari larangan-larangan yang diwariskan oleh para leluhur.

Kamardi, SH

intisari

  • Adat dengan nilai dan norma serta hak-hak adatnya yang berlaku di masyarakat Sasak Per Daya (Lombok Utara) adalah warisan budaya para leluhur, bukan pemberian dari penguasa (pemerintah).
  • Budaya adalah hasil cipta karsa manusia yang mengalami perubahan disetiap waktu mengikuti trend zaman, namun hendaknya seluruh komponen masyarakat di Lombok Utara harus menjaga nilai-nilai kepatuhan dan kepatutan sebagai ciri khas masyarakat Lombok Utara yang disebut Bermartabat secara budaya.
  • Pemerintah memiliki sistem (budaya) tersendiri dalam rangka mengatur dirinya sendiri. Oleh karena itu hemat penulis tidaklah elok (tidak bermartabat) kalau produk warisan kebudayaan termasuk berkebudayaan kekinian semata-mata dipersembahkan untuk dijual kepada dunia pariwisata (trend berkebudayaan modern) hanya untuk kepentingan devisa/pendapatan daerah, akan tetapi nilai-nilai kearifan lokal, warisan budaya di Lombok Utara wajib dihormati dan dijaga kelestariannya, dalam hal ini pemerintah harus bertanggung jawab untuk menghormati dan melindungi masyarakat dan hak untuk berkebudayaan.
  • Jika masyarakat Lombok Utara bermartabat secara budaya dalam berkebudayaan, maka berkebudayaanlah yang mencerminkan jati diri orang Lombok Utara (tidak keluar dari pakem budaya asli), dalam arti luas tidak “menyerahkan diri” pada pengaruh budaya luar dan “menjual diri” untuk kepentingan kapital dan kepentingan politik.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.