Netralisasi dari sikap berkesenian yang baik adalah menyadari upaya penerjemahan terhadap realitas sebagai daya yang dapat tertuang secara objektif ke dalam seni dan kebudayaan sehingga hal ini tidak lagi berkutat pada wilayah permukaan saja, akan tetapi jauh menyelami entitas yang muncul melalui bentukan-bentukan yang prinsipil. Simposium II Lingkar Seni Wallacea (LSW) yang membahas tentang pemetaan, arsip, dan manajemen kesenian di Lingkar Seni Wallacea yang dipantik oleh Kadus Ila dari Jatiwangi art Factory (JaF), Manshur Zikri dari akumassa, dan Hikmat Darmawan dari Koalisi Seni Indonesia (KSI). Ini menjadi upaya awal bagaimana menemukan formulasi yang sepandang dan dapat menguatkan pola berjejaring antara satu komunitas daerah dengan yang komunitas daerah yang lain.

Pemetaan tentu menjadi penting sebagai gerak awal untuk membaca dan menerjemahkan realitas, menemukan bentukan awal dan mempertimbangkan sikap-sikap selanjutnya sebagai perekaan terhadap kemungkinan berkembangnya sebuah pewacanaan. Dalam penyampaian Kadus Ila, JaF, yang bercerita tentang bagaimana gerakan kesenian yang ada di Jatiwangi berbasis pada masyarakat. “Jatiwangi tidak lagi mendekatkan masyarakat pada seni atau mendekatkan seni pada masyarakat. Tapi menjadikan masyarakat menjadi subjek seni,” demikian pernyataan Kadus Ila, tentang bagaimana masyarakat menjadi organ vital dalam gerak tubuh berkesenian di Jatiwangi. Terdapat tiga inti dalam gerakan-gerakan yang dibangun oleh JaF yaitu pura-pura seni, bersilaturahmi, dan percaya terhadap Sang Maha Gusti (Tuhan YME). Ketika Kadus Ila ditanya tentang arsip, ia menjawab: “Arsip Jatiwangi adalah masyarakat Jatiwangi sendiri.”

Lebih luas melanjuti seni yang mampu berbaur bersama masyarakat, Kadus Ila menegaskan refleksi kerja berkesenian yang dilakukan oleh JaF dengan Lingkar Seni Wallacea, bahwa sesungguhnya yang perlu dilakukan oleh para pegiat kesenian di lingkar Wallacea adalah menemukan ruh berkesenian yang akan dilakukan oleh LSW. Karena LSW merupakan bentukan yang masih baru dan belum menemukan pola berkesenian yang pantas untuk mengolah dan mengembanglan sikap-sikap setiap komunitas agar tidak terjadi kemungkinan yang keluar dari batas-batas berkesenian yang baik.
Setelah itu, mikrofon diberikan kepada Manshur Zikri (akumassa). Berbagi dan merespon pemetaan dan kearsipan di Lingkar Seni Wallacea, satu pernyataan menarik oleh Zikri, adalah “Make Friend, No Art”, yang merupakan cara pandang yang sama dengan Kadus Ila. Menurutnya, istilah seni dikesampingkan dan tidak menjadi tujuan utama. Bagaimana seni membayangkan spekulasi yang tidak terbatas, yang kemudian, kerja spekulasi ini mampu menarik sampai pada tataran kebijakan. Artinya, jika seni dipandang sebagai spekulasi, maka persoalan yang mesti dipahami adalah: mengapa seni harus dimanajemenkan, padahal ia hanyalah spekulasi?

Seni merupakan pengetahuan yang tidak hanya sebatas ditonton dan dikonsumsi. Seni itu, sebagai pengetahuan, akan berkembang jika dikelola dengan baik. Zikri pun menyinggung manajemen kesenian pada tataran komunitas. Menurutnya, manajemen seni di lingkup komunitas dapat terjalin secara tidak formal dan berbentuk hubungan-hubungan baik. Ia menarik konteks pernyataan tersebut dengan kerja yang ia lakukan bersama Akumassa, sebuah platform yang di dalamnya para pegiat saling berjejaring antarkomunitas lokal, dan kerja tersebut melingkupi bentuk-bentuk kerja dari pengarsipan. Persoalan manajemen kesenian di Lingkar Seni Wallacea, dengan kata lain, juga menjadi persoalan hubungan antara komunitas. Asosiasi akan terjalin dengan baik jika terjadi lintas fisik, walau mungkin hal yang sering kali muncul menjadi kendala adalah dana. Tapi, Zikri menekankan bahwa akses pertemanan dan kepercayaan akan memudahkan persoalan dana tersebut.
Pada panel ini, Hikmat Darmawan dari Koalisi Seni Indonesia, sebagai pembicara ketiga, membahas tentang bagaimana kesenian berhubungan dengan negara. Hal ini memang merupakan alasan terbentuknya Koalisi Seni Indonesia yang menjadi penghubung antara seniman dan kerja berkesenian dengan pemerintah dan kebijakannya (advokat kebijakan kesenian). Kerja-kerja yang dilakukan oleh KSI menjadi penting untuk diketahui oleh kawan-kawan sebagai penyuplai daya berkesenian. Karena selama ini seni masih dipandang sebagai “soal” oleh pihak pemerintah, terutama pemerintah di daerah.

Dikotomi yang kental antara pusat (Jakarta) dan bukan pusat (daerah) masih menjadi perdebatan. Penyesuaian antara misi pemerintah (Dirjen Kebudayaan) dengan pola berkesenian di daerah akan saling mempengaruhi jika dipandang sebagai pusat. Kendati Jakarta masih dipandang sebagai pusat. Namun akan berbanding terbalik jika berkesenian di daerah dilakukan secara mandiri baik daya berkesenian dan potensi seni itu sendiri. Tapi tidak pula menafikan ada kebebasan expresi dalam seni tentu masih terbuka pada hal-hal tertentu.
Hal ini kemudian dilakukan oleh KSI untuk mengupayakan daya berkesenian dan berkebudayaan yang baik terutama di daerah. Sehingga hubungan antara penggiat seni dan budaya yang ada di derah dapat mempengaruhi wacana berkesenian yang lebih luas. Dalam kesempatan ini, Hikmat Darmawan memberikan kesempatan kepada Hafiz dari KSI untuk menjelaskan kepada peserta simposium tentang UU Pemajuan Kebudayaan No. 5 Thn 2017. Yang membahs tentang bagaimana pola yang dibuat oleh pemerintah terkait kerja-kerja kebudayaan, termasuk di dalamnya kerja berkesenian.

Hafiz juga menjelaskan tentang objek-objek pemajuan kebudayaan yang terdapat pada Undang-Undang (UU) Pemajuan Kebudayaan, tindakan yang dilakukan terhadap objek pemajuan kebudayaan yakni inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, dan penyelamatan. Setiap warga negara dapat berperan aktif dalam pemajuan kebudayaan. Sepuluh objek pemajuan kebudayaan tersebut adalah tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, dan ritus. Berikut penjelasan singkat tentang ke-10 objek pemajuan kebudayaan tersebut.
Tradisi Lisan
Tradisi Lisan adalah tuturan yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat, seperti sejarah lisan, dongeng, rapalan, pantun, cerita rakyat, atau ekspresi lisan lainnya. Contoh cerita rakyat antara lain Malin Kundang dari Sumatera Barat, Tangkuban Perahu dari Jawa Barat, dan Legenda Si Kembar Sawerigading dan Tenriyabeng dari Sulawesi Barat.
Manuskrip
Manuskrip adalah naskah beserta segala informasi yang terkandung di dalamnya, yang memiliki nilai budaya dan sejarah, seperti serat, babad, kitab, dan catatan lokal lainnya. Contoh babad antara lain Babad Tanah Jawi yang menceritakan cikal-bakal kerajaan-kerajaan di Jawa beserta mitosnya. Contoh serat antara lain Serat Dewabuda, yang merupakan naskah agama yang menyebutkan hal-hal yang khas ajaran Buddha.
Adat Istiadat
Adat Istiadat adalah kebiasaan yang didasarkan pada nilai tertentu dan dilakukan oleh kelompok masyarakat secara terus-menerus dan diwariskan pada generasi berikutnya, antara lain, tata kelola lingkungan dan tata cara penyelesaian sengketa.
Permainan Rakyat
Permainan Rakyat adalah berbagai permainan yang didasarkan pada nilai tertentu dan dilakukan kelompok masyarakat yang bertujuan untuk menghibur diri. Contoh permainan rakyat antara lain permainan kelereng, congklak, gasing, dan gobak sodor.
Olahraga Tradisional
Olahraga Tradisional adalah berbagai aktivitas fisik dan/atau mental yang bertujuan untuk menyehatkan diri dan meningkatkan daya tahan tubuh, didasarkan pada nilai tertentu dan dilakukan oleh kelompok masyarakat secara terus menerus, dan diwariskan lintas generasi. Contoh olahraga tradisional antara lain bela diri, pasola, lompat batu, dan debus.
Pengetahuan Tradisional
Pengetahuan Tradisional adalah seluruh ide dan gagasan dalam masyarakat yang mengandung nilai-nilai setempat sebagai hasil pengalaman nyata dalam berinteraksi dengan lingkungan, dikembangkan secara terus menerus dan diwariskan lintas generasi. Pengetahuan tradisional antara lain kerajinan, busana, metode penyehatan, jamu, makanan dan minuman lokal, serta pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta.
Teknologi Tradisional
Teknologi Tradisional adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang atau cara yang diperlukan bagi kelangsungan atau kenyamanan hidup manusia dalam bentuk produk, kemahiran, dan keterampilan masyarakat sebagai hasil pengalaman nyata dalam berinteraksi dengan lingkungan, dan dikembangkan secara terus menerus serta diwariskan lintas generasi. Contoh teknologi tradisional adalah proses membajak sawah dengan menggunakan tenaga kerbau, atau menumbuk padi dengan menggunakan lesung.
Seni
Seni adalah ekspresi artistik individu, kolektif, atau komunal, yang berbasis warisan budaya maupun berbasis kreativitas penciptaan baru yang terwujud dalam berbagai bentuk kegiatan dan/atau medium. Seni terdiri atas seni pertunjukan, seni rupa, seni sastra, film, dan seni media. Seni pertunjukan antara lain seni tari, seni teater atau seni musik. Contoh seni sastra yaitu lukisan, patung, atau keramik.
Bahasa
Bahasa adalah sarana komunikasi antarmanusia, baik berbentuk lisan, tulisan, maupun isyarat, misalnya bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Di Indonesia terdapat sekitar 700 bahasa daerah yang tersebar di berbagai pulau, dari ujung Sumatra hingga Papua. Bahkan, dalam satu provinsi bisa terdapat berbeda-beda bahasa daerah. Misalnya di Provinsi Aceh terdapat bahasa Aceh dan bahasa Gayo.
Ritus
Ritus adalah tata cara pelaksanaan upacara atau kegiatan yang didasarkan pada nilai tertentu dan dilakukan oleh kelompok masyarakat secara terusmenerus dan diwariskan pada generasi berikutnya, antara lain, berbagai perayaan, peringatan kelahiran, upacara perkawinan, upacara kematian, dan ritual kepercayaan beserta perlengkapannya. (www.kemdikbud.go.id )’
Pada sesi ini, Jufri-Gorontalo, salah satu peserta simposium mencoba memberikan pandangan tentang Indonesia yang merupakan negara yang paling banyak memilki aturan. Ia menyinggung soal hukum pidana “jika UU pidana mengatur soal perusakan prasarana. Lalu, bagaimana jika yang dihilangkan adalah objek kebudayaan itu sendiri, adakah UU yang mengaturnya?” melempar pertanyaan kepada hafiz, usai menimbang esensi dari penerapan UU pemjuan kebudayaan yang dijelaskan olehnya.
Hafiz menjelaskan dengan lantang bahwa, dalam UU Pemajuan Kebudayaan tidak memandang hukum pidana apapun, esensi yang dikandungnya merupakan upaya-upaya pelstarian kebudayaan tanpa memandang hal tersebut melalui pidana. Dalam benak saya, laku perusakan apapun barangkali telah diatur dalam UU Pidana yang sifatnya universal dan interpretatif.
Selain itu, Zikri merespon tentang bagaimana merancang kebutuhan berkesenian yang disesuaikan dengan wilayah masing-masing di Lingkar Seni Wallcea agar menyesuikaan dengan penerapan kebijakan UU Pemajuan Kebudayaan yang isunya akan diaplikasikan pada 2018-2019 mendatang. Zikri juga mengusulkan adanya blog yang menjadi ruang bersama menumpahkan gagasan-gagasan berkesenian dari setiap daerah agar gerakan-gerakan berkesenian terbaca dengan progresif dan baik.
Papi (Sidin Lahoga) di ujung penutupan simposium ini juga memberikan usulan tentang pembuatan program yang tersusun secara kolektif, tentu singgungannya dengan kerja berjejaring dan program-program tematik. Hikmat pun menyambut usulan Papi dengan satu celetukan “yang penting memiliki target”.

Pembahasan tentang pentingnya pemetaan, arsip dan manajemen berkesenian ini berkesimpulan bahwa aktivitas berkesenian adalah aktivitas kemanusiaan yang erat kaitannnya dengan realitas sekitar (kontekstual). Kerja-kerja berjejaring menjadi penting untuk dapat menciptakan atmosfir yang lebih ber”esensi”. Oleh karena itu, upaya-upaya ini diharapkan menjadi awal yang baik untuk membangun kerja berjejaring dalam berkebudayaan dan berkesenian terutama di Lingkar Seni Wallacea. ***