Kegiatan Silaturahmi Lingkar Seni Wallacea masih berlanjut. Setelah menghabiskan hari pertama (22 September 2017) dengan berdiskusi santai, bercerita, dan berbagi kisah tentang daerah masing-masing maka pada hari kedua ini, kegiatan silaturahmi antar pegiat seni di lingkar Wallacea mengadakan simposium untuk membahas lebih rinci tentang fenomena-fenomena kesenian yang terjadi pada saat ini. Simposium ini terbagi menjadi empat panel, dengan tema panel pertama adalah “Membaca Kekinian: Fenomena Kesenian di Lingkar Wallacea”.

Simposium panel satu dimulai pada pukul 10.00 WITA di Kampung Wisata Kerujuk dengan moderator Lamuh Syamsuar (NTB yang aktif menerbitkan buletin Sastra Duntal di Lombok Tengah. Tiga panelis pada panel satu adalah Anwar “Jimpe” Rachman (Makassar) salah satu penggerak skena kreatif Makassar, Ininnawa, Tanahindie dan Kampung Buku, Mario F. Lawi (NTT) yang aktif di komunitas sastra Dusun Flobamora dan mengelola jurnal Sastra Santarang, dan Fadriyah Syuaib (Ternate) pendiri komunitas Kampong Warna yang bergerak di bidang seni rupa.
Berbicara kekinian terutama di wilayah kesenian, maka banyak faktor yang perlu diamati dan dikaji. Bagaimana fenomena munculnya komunitas-komunitas seni yang eventual tapi tidak menghasilkan apa-apa, dan eklusifnya kesenian menjadi pertanyaan-pertanyaan awal yang dilontarkan Lamuh sebagai pembuka simposium. Menanggapi pertanyaan tersebut, tiga panelis akan menceritakan bagaimana komunitas-komunitas mereka menghadapi fenomena kekinian tersebut.

Dimulai dari Jimpe (sapaan Anwar “Jimpe” Rachman) yang bercerita tentang Tanahindie dan Ininnawa. Bagaimana perjuangannya dalam melakukan gerakan-gerakan kecil sampai pada akhirnya dapat menjadi gerakan yang besar. Jimpe mengatakan bahwa langkah kecil yang yang dilakukannya bersama teman-teman adalah melakukan praktik apa saja, kadang arisan atau diskusi yang berangkat dari teks yang pada akhirnya, tahun 2005 Ininnawa dapat menerbitkan buku Makassar Nol Kilometer, yang saat ini sudah sampai pada cetakan ke 4. Buku ini merupakan kajian lokal yang mengangkat pengalaman-pengalaman orang lokal (Makassar) tentang apa itu Makassar mulai dari mayat sampai siasat menipu (pakkappala tallang), kuliner dan religi. Di kalangan akademisi, buku itu dianggap penting dari sudut antropolog karena mengangkat isu lokal.
Menurut Jimpe, sejauh ini reproduksi pengetahuan lebih banyak diproduksi oleh komunitas daripada akademi atau institusi perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata antara komunitas dan akademisi tidak imbang dan berjalan pincang. Kepincangan ini sering terjadi karena hampir semua institusi mengabaikan pengarsipan, atau pengarsipan yang dilakukan sering tidak beriringan dengan kebutuhan masyarakat atau warga sekitar. Sistem pengarsipan instiusi ini seringkali berbeda dengan komunitas yang melihat lebih jauh kepada kebutuhan orang-orang disekitar komunitas tersebut. Seperti komunitas yang dikelola oleh Jimpe yang akan kembali menghasilkan buku bertajuk “halaman rumah” yang telah dikaji selama 3 tahun kompilasi dari beberapa teman dengan latar disiplin yang berbeda.

Seiring dengan Jimpe, Mario F. lawi juga melalui komunitas yang memiliki latar belakang sastrawan mengampanyekan isu-isu kebudayaan dan seni lewat jurnal Sastra Santarang. Pada tahun 2011, Mario membangun komunitas Dusun Flobamora yang berfokus pada sastra. Setahun kemudian, Mario bersama teman-temannya menyadari bahwa perlu adanya ruang sastra publik yang dikelola oleh jurnalis dan terbit setiap minggu sehingga muncullah jurnal Sastra Santarang yang kemudian menjadi cetak biru untuk jurnal sastra terutama di daerah Kupang. Jurnal sastra Santarang menjadi tolok ukur dalam jurbal sastra-sastra lainnya.
Menurut Mario, Facebook dan Instagram adalah cara lain yang dapat digunakan dalam penyebaran dan berbagi informasi, tidak hanya membaca sastra tetapi juga membaca wacana. Mario menyatakan bahwa peminat dunia sastra masih terbatas, sehingga pada tahun 2015, Mario mencoba mengadakan festival selama tiga hari untuk mencari orang-orang yang terjun dan memiliki minat di dunia sastra sehingga terbentuk kelas membaca dan menulis yang dilakukan oleh 5-6 orang. Kelas ini bertujuan untuk menjaga ketahanan orang dalam literasi. Perkembangan dunia literasi mendapat respon dari pemerintah dengan mengadakan penyebaran buku gratis melalui pos setiap tanggal 17. Hal ini memberikan dampak yang baik karena memberikan kemudahan dalam memperoleh buku-buku, hanya saja buku-buku yang dikirim kurang di kuratori sehingga ada beberapa buku yang tidak layak dengan usia. Mario berpendapat bahwa pengalaman atau langkah kecil akan dapat memiliki dampak yang besar jika memiliki komitmen atas langkah kecil yang dilakukan tersebut.
Badriah selaku panelis terakhir membaca kekinian di Ternate lebih kurang sama atau bisa jadi berada dibawah dari daerah-daerah lain. Kesenian di Ternate sudah lama berkembang namun sayangnyam gedung kesenian yang pernah dimiliki olehh Ternate disulap menjadi gedung DPR. Badriah mulai merintis pameran seni rupa dengan tema bahasaku yang melibatkan beberapa komunitas. Yang menjadi PR di Ternate adalah keterlibatan seniman wanita yang sedikit, sehingga banyak kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Badriyah dan komunitasnya untuk membawa perempuan-perempuan ikut serta dalam berkesenian. Badriyah juga mendirikan komunitas kampung warna yang fokus pada lukisan dan sastra. Bahkan sekarang mulai di gagas sastra perempuan. Badriyah menggabungkan lukisan dan tulisan, bagaimana tuisan-tulisan tersebut dapat digambarkan dengan lukisan.
Sepakat dengan Mario, Badriyah mengatakan bahwa hal yang paling penting dalam berkesnian atau berkomunitas adalah komitmen, niat bagaimana kita membangun kesenian dan komunitas itu sendiri. Badriya juga menyampaikan bahwa keberlanjutan kegiatan Lingkar Seni Wallacea ini juga menjadi PR bersama, bagaimana dan apa saja yang perlu dilakukan agar Lingkar Seni Wallacea ini tidak berhenti hanya menjadi wacana, tetapi harus menjadi sesuatu.
Dari pemaparan tiga panelis tersebut, Lamuh sebagai moderator mengambil garis besar pada fenomena kekinian yang ditemukan di setiap daerah yaitu Makassar yang mencoba mempertahankan komunitas-komunitas yang sudah ada dengan terus berkarya, keterbatasan informasi dan wacana tentang kesenian di NTT dan rendahnya keterlibatan seniman-seniman perempuan di Ternate.

Menangapi pernyataan-pernyaataan panelis tersebut, Sidin Lahonga menyatakan bahwa seringkali kesenian menjadi begitu eklusif yang terpisah dari masyarakat, padahal kesenian itu sendiri adalah bagian dari masyarakat. Problem di Wallacea selalu berbenturan dengan ideologi dan pemerintah. Banyak kegiatan-kegiatan kesenian yang belum memiliki korelasi antara kegiatan dan lingkungan sosialnya.

Mengangkat fenomena kekinian di Wallacea, Jufri dari Gorontalo sedikit menjelaskan tentang terbentuknya Wallacea ini yang berkembang dari Cellebes. Jufri mencoba memaknai garis Wallacea ini sebagai garis imajiner, sebagai penanda bahwa ruang Wallacea ini sangat luas. Ini menunjukkan pada kita bahwa ruang berkesenian itu sangat luas, berada diluar gedung dan diluar ruangan. Sayang jika Wallacea ini bertumpu hanya pada satu topik lingkungan yang hany terfokus pada University dan Biodeiversity. Di Wallacea ini tidak hanya pada dua aspek itu, tetapi juga harus dimunculkan aspek culturdiversity, yaitu keberagaman kebudayaan yang tidak terbatas ruang dan gerak.

Langkah yang bisa dilakukan dengan melihat fenomena kekinian di masing-masing daerah, Zulkipli berpendapat saling sharing informasi seperti tulisan dari masing-masing daerah adalah langkah kongkrit yang dapat dilakukan. Jika ini massive, dan dilakukan secara terus menerus, maka ini bisa menjadi sebuha karya, misalnya buku tentang Wallaceta yang diterbitkan lalu disebarkan ke masing-masing daerah.
Jimpe setuju dengan apa yang disampaikan oleh Zulkipli. Karena menurut Jimpe, sesuatu yang abadi adalah aksara termasuk foto, film, atau video. Intinya adalah komitmen dan saling bantu antar komunitas. Garis imajiner Wallacea ini adalah garis yang seharusnya menjadi penghubung antar daerah agar dapat berkolaborasi dalam berkarya.
Mersepon pernyataan dari teman-teman, Gozali menjelaskan alasan kegiatan Lingkar Seni Wallacea ini dilakukan di Kampung Ekowisata Kerujuk. Gozali menyatakan bahwa ini adalah salah satu cara untuk berkesenian bersama warga, dimana kesenian menyatu bersama lingkungan dan masyarakat, memunculkan ide-ide kreatif antar seniman dan masyarakat dan dapat menjad ruang bagi masyarakat lokal untuk berkarya. Gozali melanjutkan, dari fenomena-fenomena yang terjadi disini apakah dapat dibaca menjadi satu wacana berkesenian tersendiri, yang pada akhirnya menjadi corak Wallacea atau Indonesia Timur, atau kita kembali melihat kesenian itu berarti di Jawa.

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk membuat Lingkar Seni Wallacea ini menjadi besar. Namun, menurut Kadus Ila, sebelum mengambil langkha-langkah besar, sebaiknya masing-masing individu yang terlibat dalam lingkar ini memahami kembali Lingkar Seni Wallacea ini sebagai apa. Jika masing-masing individu telah memahami dan mempunyai ikatan dengan Lingkaran ini, maka untuk kegiatan-kegiatan selanjutnya akan mudah dipahami dan dijalankan.
Sepakat dengan Kadus Ila, Jufri mengatakan bahwa salah satu cara untuk menguji jaringan Lingkaran Seni Wallacea ini adalah dengan blog atau media lain. Seberapa penting berita dan kegiatan Lingkar Seni Wallacea ini dibaca oleh publik dan diinformasikan. Harapannya dengan mengangkat isu Wallacea ini, kegiatan ini memiliki ikatan dan antar daerah dapat saling menguatkan, sehingga untuk kegiatan-kegiatan selanjutnya dapat terealisasi dengan baik dan menjadi satu kegiatan berkelanjutan.
Pendapat Jufri tersebut sekaligus menutup sesi diskusi untuk panel satu di kegiatan Simposium Lingkar Seni Wallacea. Kesimpulan sementara dari diskusi ini adalah bagaimana cara mengangkat isu-isu kekinian di Wallacea ke permukaan dan dapat dibaca publik. Salah satu caranya adalah melalui tulisan dan media. Menjadi PR bagi masing-masing individu yang terlibat di kegiatan ini untuk membuktikan bahwa memang isu Wallacea penting untuk diketahui oleh publik melalui tulisan. ***