Tabeq Wala; Merindukan Aroma Tanah Kelahiran

Sebuah nomor baru muncul di layar handphone saya. Saya biarkan nada dering mengalun beberapa saat, sembari berfikir apakah akan saya jawab panggilan dari nomor baru ini atau tidak. Setelah cukup lama, saya memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut, siapa tahu ada hal penting dari seseorang.

Benar sekali, Setia Pribowo, seorang kawan yang beberapa waktu lalu saya kenal dalam sebuah event di Mataram, melalui panggilan tersebut memberitahukan bahwa ia akan ke Pasirputih. Mendengar kabar itu, tentu saya sangat senang sekali, Pasirputih akan kedatangan kawan baru yang ‘sapa tahu’ mau berbagi pengetahuan bersama kami di sini.

Setelah tiba di Pasirputih, saya dan kawan-kawan seperti biasa menyambut tamu dengan baik. Kami masak  dan makan bersama. Makanan khas Pemenang, Lombok Utara, Gerupuk Pelecing, kami suguhkan kepada mereka. Sembari makan, kami berdiskusi tentang problematika sosial dan menggagas ide-ide yang bisa dilakukan bersama dalam waktu singkat yang mereka miliki di Pemenang. Muncullah ide Performance Art dengan tema ‘Tabeq Wala’.

Ide ini muncul dari kegelisahan terhadap industri pariwisata yang makin marak. Tentu bagi Pasirputih, Pariwisata adalah keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri kehadirannya, terlebih lagi promosi yang sangat gencar dilakukan oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Maka kehadiran Performance Art ‘Tabeq Wala’ ini adalah sebuah upaya untuk mengingatkan kembali bahwa masyarakat Pemenang memiliki beragam kearifan lokal yang menjadi pagar dan perisai dari lajunya perkembangan pariwisata yang seringkali tidak bisa bernegosiasi dengan budaya dan kearifan lokal. Bahwa apa-apa yang diwariskan oleh budaya, mesti dijaga dengan baik.

DSC_0196
Performance ‘Ngaruat Diri’ oleh Setia Pribowo dan M. Iskandar.

Seperti ide ‘Ngaruat Diri’ yang diusung oleh Setia Pribowo yang berkolaborasi dengan Muhammad Iskandar. Di tengah kebisingan dan hiruk-pikuk Pelabuhan Bangsal, ia melepas semua pakaian dan melakukan ritual mandi. Air yang ia gunakan untuk mandi adalah air laut yang di ambil sesaat setelah mereka tiba di Pelabuhan Bangsal.

Apa yang ia lakukan adalah sebagai bentuk ‘pengingat’ terhadap budaya lokal masyarakat Pemenang yang sejak dahulu mempercayai dan menjadikan Bangsal sebagai tempat untuk mengobati dan membersihkan diri, yang belakangan ritual mandi di Bangsal tidak lagi tumbuh di masyarakat Pemenang, sebab informasi dunia medis dan promosi pengobatan modern semakin marak diketahui oleh masyarakat.

Salah satu yang merubah wajah Bangsal, kami kemudian menduga ini menjadi alasan utama perubahan di Pemenang adalah karena media. Melalui berbagai media, cetak maupun elektronik juga media online, Pemerintah Kabupaten Lombok Utara, sangat gencar mempromosikan pariwisata.  Pemerintah mengundang dan menginginkan sebanyak-banyaknya para wisatawan berkunjung, untuk menunjang PAD Lombok Utara.

Tentu tidak ada yang salah dengan promosi, mengabarkan kepada orang lain prihal kondisi daerah kita. Namun apa yang dipromosikan adalah dalam kacamata ‘menjual’. Sehingga yang muncul adalah eksotisme. Sepetinya tidak ada yang cacat dan cela dari dunia pariwisata kita. Padahal jika saja kita mau masuk ke dalamnya, tentu akan kita temukan berbagai masalah, mulai dari masalah sosial sampai masalah administrasi dan regulasi pariwisata yang belum jelas.

Ketidakjelasan ini kemudian memunculkan peluang bagi mereka yang tidak bertanggung jawab untuk masuk dan merusak pariwisata itu sendiri. Muncul mafia-mafia tiket, penipuan-penipuan terhadap wisatawan. Bahkan yang lebih parah, karena sistem yang tidak jelas, banyak wisatawan asing justru malah menjadi pekerja di Lombok Utara. Mereka, para wisatwan yang datang dengan visa liburan bekerja dan mencari nafkah di Lombok Utara.

Performance Mafia-Pura-Pura oleh Dedi Ahmad.
Performance Mafia-Pura-Pura oleh Dedi Ahmad.
Performance DiaMedia oleh Dimas Teguh Riswanda
Performance DiaMedia oleh Dimas Teguh Riswanda.

Hal ini kemudian direspon oleh Dedi Ahmad yang mengangkat judul ‘Mafia-Rupa’ dalam performancenya. Ia membuat uang palsu, benar-benar terlihat palsu, tidak menyembunyikan kepalsuannya, tidak perlu meniru-niru untuk terlihat asli. Uang yang ia cetak kemudian dibagikan kepada masyarakat yang ada di Pelabuhan Bangsal. Masyarkat yang diberikan uang-uang yang benar-benar palsu itu, tertawa manakala mereka tahu kalau mereka benar-benar ditipu.

Selain Dedi Irawan, Jante Prabamandala juga mengangkat ide unik tentang ‘Penggangu’. Ia menjadi semacam warning alert dalam keutuhan ide Tabeq Wala ini. Jante masuk ke ruang-ruang masa, merusak fokus dan menggangu fikiran masa yang justru sedang asyek menonton performance daro para performer yang lain.

Di Pelabuhan Bangsal, terdapat sebuah dermaga yang panjangnya kurang lebih 300 meter. Di sepanjang dermaga itu, akan kita jumpai banyak warga yang sedang memancing. Biasanya, warga membawa sebuah kaleng cat sebagai wadah menaruh umpan dan hasil tangkapan mereka.

Di dermaga itu, seorang Ahmad ‘Dhoom’ Rosidi memunculkan gagasan kreatifnya. Ia datang layaknya warga biasa yang akan datang menacing. Ia membawa sebuah kaleng cat dan membawa sebuah handuk yang ditaruh diatas pundaknya. Ia duduk di dekat beberapa orang yang sedang memancing.

Performance 'Penggangu' oleh Jante Prabamandala.
Performance ‘Penggangu’ oleh Jante Prabamandala.
Performance 'Memuteq' oleh Ahmad 'Dhoom' Rosidi.
Performance ‘Memuteq’ oleh Ahmad ‘Dhoom’ Rosidi.

DSC_0185

Begitu ia membuka pakaian, sontak semua orang yang ada disekelilingnya memperhatikan dengan wajah penuh tanya. Apalagi saat ia membuka kaleng cat dan melamuri tubuhnya dengan warna putih. Sembari membalut tubuhnya dengan warna putih tersebut, ia menari-nari mendekati para pemancing.

Setelah seluruh tubuhnya tertup, ia mengenakan sebuah helm yang terbuat dari cermin, dan mulai melakukan tingkah-tingkah aneh. Dhoom berpose, menari, selfie, bergaya mabok sembari melakukan tarian ala party di sebuah café.

Di sini, Dhoom berbicara tentang warna kulit. Dengan mengecat tubuhnya dengan putih, ia ingin menyampaikan pesan tentang apa-apa yang dibawa oleh ‘orang bule’ adalah sebuah budaya yang berbeda, budaya ala mereka, yang tidak harus dicontoh dan ditiru oleh masyarakat Pemenang.

Dhoom tidak hanya melumuri tubuhnya dengan cat putih tersebut. Sisa cat yang ada ia percikkan ke semua orang yang ada di sekitarnya, sebagi sebuah isyarat bahwa bagaimanapun, mau tidak mau, suka tidak suka, budaya hura-hura itupun akan mengenai dan berdampak terhadap budaya lokal.

DSC_0208
Performance ‘Tubuh Tanah’ oleh Hamdani.

Maka, Hamdani memberikan solusi yang menarik dalam ‘Tabeq Wala’ Performance Art ini. Ia dengan ide gagasan ‘Tubuh Tanah’nya mengajak kembali masyarakat untuk mencintai tanah mereka. Sejauh apapun kita melangkah, setinggi apapun pengetahuan kita dan segemerlap apapun kehidupan kita, maka kembalilah ke asal kita, yakni tanah. ***

1 Comment

  1. Andhy

    Nice pasir putih.. Teruskan lah.. Inspirasi mu.. Kami bangga kepada kalian…!!!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.