Tubuh-tubuh Dalam Masa Periodik Pasang Surut
Aku terlahir dari perkawinan laut dengan pantai. Saat gelombang mempertemukan mereka, terdamparlah aku di hamparan luas, sebagai substrat yang bertaut pada substrat-substrat lain di pesisir.
Tubuhku berkembang dan berevolusi sesuai dengan alam lingkungan ini. Substrat keras mengandung kapur membantuku membentuk cangkang untuk melindungi tubuh lunakku yang serupa moluska dari terik matahari dan serangan predator. Semakin dewasa aku, kaki-kakiku mulai tumbuh, karena memang mereka harus tumbuh, dan ujungnya mencabang serta meruas serupa jemari, karena kehidupan membutuhkan jari-jemari. Tulang-belulang mengerangka dan aku pun bisa berjalan, karena harus berjalan, menghidupi situs pesisir ini.
Lalu tubuh ini menempati lokasi, tempat takdir berjudi dengan kawannya yang bernama nasib. Beradaptasi dengan alam dan sistem yang hadir di lingkungan ini sejak lama. Sudah berabad tubuh ini tumbuh dan berkembang, berjalan dan mencari makan di sini menuruti semua sistem yang berlaku. Tubuh ini mengenali dua sistem yang ada. Sistem yang satu, mengharuskan tubuh menjalankan ritual yang sudah diturunkan berabad-abad dan dianggap membawa kebaikan untuk tubuh ini dan bisa hidup saling berkesinambungan dengan tubuh-tubuh lain. Menyesuaikan diri untuk bisa bersama-sama mencari makan dan terus berupaya untuk menjadi lebih baik lagi, dan menjadi lebih baik lagi. Saat sistem tradisi itu dirasa memang teruji ketangguhannya, rasanya sulit untuk mengubah pola dan bersinggungan dengan tubuh-tubuh baru yang datang dan pergi, juga dengan tubuh-tubuh yang datang dan menetap.
Sedangkan sistem yang lainnya, mengharuskan tubuh ini untuk patuh pada aturan wajib bertanda, bernomor, dan berinteraksi dalam koridor-koridor yang dijaga ketat dengan undang-undang. Mereka menurunkan definisi-definisi dan penyeragaman yang membawa lebih banyak lagi kebaikan-kebaikan baru. Sistem yang ini, lebih memudahkan bagi tubuh ini untuk berkembang dan mengalami banyak hal lain di luar dari apa yang selama ini dikenali oleh seluruh indra tubuh.
Namun kedua sistem tersebut terkadang membuat tubuh ini sungguh lelah, karena ia menuntut kerja mekanis organ yang harus terus bergerak tanpa henti untuk menghasilkan kebaikan. Ada kalanya tubuh membutuhkan sekadar bale-bale untuk berselonjor, menikmati angin sepoi di siang terik, sambil mengaktifkan hanya salah satu organ tubuh yang bisanya cuma berceloteh melulu: tentang apa yang terlihat dan teralami selama hidup. Momen selonjoran tersebut terkadang bisa menjadi pembacaan panjang tentang perubahan evolusi tubuh dan lingkungannya lewat dongeng-dongeng. Tubuh malas ini hanya ingin merenungkan datang dan perginya musim pasang tinggi dan pasang rendah secara beraturan, seiring dengan hilang dan penuhnya bulan di garis batas pesisir. Pasang surut teratur inilah yang menyebabkan tubuh ini ada.
Namun pula, ketidakmampuan tubuh ini untuk selalu secara teratur menjalani rutinitas kedua struktur sistem, maka terkadang tubuh ini menjadi seperti benalu. Maka sulit bagi tubuh ini untuk menautkan diri pada substrat tersistem untuk bersama-sama membuat hidup menjadi lebih baik. Akhirnya tubuh ini berkeliaran di sekitaran luar sistem, dan juga keluar masuk sistem untuk mempertahankan hidup dan anak-beranak yang terus tak terbendung kelahirannya. Berkeliaran bersama tubuh-tubuh lain yang mengalami nasib sama, dan terkadang tubuh-tubuh kami berkumpul bersama, berdongeng, berusaha bergabung untuk saling menjadi substrat yang bisa saling menopang.
Dongeng-dongeng ini yang membuat kami bertahan dalam lapar dan dahaga saat surut mengandas di pasir panas, di masa periodik bulan hilang dan bulan penuh. Menanti gelombang pasang datang yang bisa memudahkan kami mencari makan, sambil berdongeng dan menjaga kewarasan kami.
Menjaga Kewarasan
Struktur tradisi yang tumbuh membudaya dalam sebuah masyarakat, dulunya tentu diciptakan untuk menjaga keharmonisan hidup bermasyarakat. Namun, ia kerap mengikat pencapaian hakikat kebahagiaan hidup manusia, karena dalam sebuah komunitas masyarakat, terutama yang hidup secara komunal, kepentingan tentunya selalu mengambil celah tersempit dalam rapatnya barisan penjaga tradisi. Demikian pula dengan sistem modern yang memiliki payung bernama pemerintahan dalam konteks negara-bangsa. Tak semua hakikat kebahagiaan tiap-tiap anggotanya dapat terpenuhi. Maka dari itulah tiap-tiap individu harus mengikuti barisan aturan-aturan yang ditetapkan. Sejarah diarsipkan, digunakan di hari esok untuk pembelajaran. Celah-celah sempit selalu menjadi peluang kepentingan kekuasaan untuk membodohi gamangnya sisi ambang batas masyarakat modern dengan tradisinya.
Lalu kemana perginya dongeng-dongeng penjaga kewarasan yang melindungi pucuk kepala dari siang-siang yang panas? Meredakan getar di dada warga dari malam-malam yang mencekam sesaat habis gempa? Mungkin dongeng-dongeng juga diarsipkan di dinding-dinding bilik bambu yang tidak hancur oleh guncangan berkali-kali, untuk digunakan nanti-nanti saja. Mungkin bisa digunakan nanti, saat hari hujan dan listrik padam, di mana saat itu dingin dan gelap bisa meredam kecanduan warga pada pertengkaran di media sosial.
Sebagaimana struktur tradisi berjalan di sisi sistem modern, mereka saling bersinggungan, berdukungan juga bertentangan. Saling mengisi satu sama lain untuk mengatur peri kehidupan masyarakat. Demikian pula dengan sejarah modern yang duduk bersisian dengan dongeng ingatan warga, untuk mengambil kesempatannya masing-masing mengisi kepala masyarakat dan menggetarkan hati mereka dengan konstruksi kejutannya masing-masing.
Sejarah dibukukan, diajarkan dalam kurikulum-kurikulum sistem yang tidak pernah terlepas dari relasi kekuasaan. Sedangkan dongeng-dongeng ingatan warga berkeliaran bak benalu di tiap-tiap substrat tersistem yang bisa membantunya bertahan hidup.
Layaknya organisme di zona intertidal yang hidup di antara garis batas surut terrendah dan pasang tertinggi, masyarakat Pemenang yang selalu berada di medan tarik-menarik sistem modern dan tradisi, memiliki karakter khas yang didorong oleh keharusan beradaptasi dengan semua imbas permainan politik, kekuasan, kerja media, dan perkembangan teknologi. Dongeng-dongeng ingatan warga yang bersifat distortif, terpelihara secara alamiah. Dongeng-dongeng itu menjaga warga dari guncangan keras yang selalu terjadi di luar tujuan masyarakat dalam usaha pencapaian hakikat kebahagiaan.
Bangsal Menggawe 2019: Museum Dongeng
Mengambil penataan waktu di sepanjang bulan Februari 2019, Bangsal Menggawe: Museum Dongeng diadakan dalam situasi pascabencana alam besar yang melanda Pulau Lombok tahun lalu. Kesadaran bahwa diri sebagai bagian dari sebuah sistem, masyarakat yang terdiri dari individu-individu merupakan entitas terlemah. Bila kita bayangkan kita sebagai manusia yang berdiri di atas sebuah lokasi, tanah tempat kita berpijak ini adalah tanah yang paling rentan di dunia. Indonesia berada di jalur gempa teraktif di dunia karena dikelilingi oleh Cincin Api Pasifik yang berada di atas tiga tumbukan lempeng benua, yakni Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur. Walau kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah yang sangat subur dan kaya akan sumber energi, namun tidak bisa dihindari jumlah besar korban dan kerusakan yang diakibatkan bencana alam yang datang bertubi-tubi menimpa beberapa kawasan di Indonesia.
Masyarakat tentu saja hanya bisa menggantungkan harapan keselamatan pada bangunan besar yang memayungi, yakni sistem pemerintahan. Bukankah ini merupakan hal yang mengkhawatirkan jika kita melihat bagaimana negara ini dinaungi oleh bangunan yang belum juga mampu mengatasi perpecahbelahan yang berakibat banyak kekhawatiran di hati masyarakat? Tarik-menarik antara berbagai kepentingan, politik, perkembangan teknologi, kerja media, dan kebutuhan hidup yang sempit dalam aturan-aturan, tidak juga membawa banyak kebaikan yang merata. Di tengah sibuknya bergerak untuk bertahan hidup, kadang masyarakat lupa ada hal-hal yang setara dengan dongeng bisa tetap menjaga kewarasan kita sambil terus larut dalam gelombang pasang yang membawa kita entah ke mana.
Bangsal Cup, turnamen bola yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2016, kembali berlangsung, kali ini dengan memajukan, mengedepankan para permain berusia di bawah 13 tahun. Juga seni Rudat yang sudah makin berkembang dengan gerakan sosialisasi senam rudat di berbagai kalangan. Bisnis televisi kabel warga yang sudah hancur oleh gempa kembali diaktifkan dengan skema yang lebih nonkomersil, menayangkan siaran-siaran yang dibuat oleh warga. Teater Isin Angsat, melakukan berbagai pementasan dengan estetikanya yang menggali konsep spec-actor-ship (kepenontonan dan keaktoran) di ruang-ruang privat, semi-publik dan ruang publik. Kesemua aktivitas itu akan digaungkan bersama di Pelabuhan Bangsal pada 2 Maret 2019. Terompet besar akan dibunyikan, memanggil semua warga Kota Pemenang untuk datang ke Bangsal dan menggawe (berpesta) bersama.
Berdasar pemikiran bahwa meningkatkan martabat warga masyarakat bisa dilakukan dengan mengaktivasi kesadaran keseharian, Bangsal Menggawe ke-3 yang sempat tertunda oleh bencana alam, kembali diadakan. Mengaktivasi diri dengan membangun kesadaran bahwa sekecil apa pun tindakan kita dalam keseharian adalah hal berarti dalam bergeraknya semua sistem yang bermuara pada kekuasaan. Bangsal Menggawe 2019 yang bertajuk “Museum Dongeng” kali ini membingkai segala sesuatunya yang berkeliaran di sekitaran luar sistem, di mana tidak ada koridor selain aturan untuk warga saling menjaga satu sama lainnya. Mengajak warga bergandegan tangan menuju Pelabuhan Bangsal, dan berdoa bersama demi kekuatan hati menghadapi dinding-dinding sistem modern yang lemah saat berhadapan dengan bencana alam. ***
Bodies in The Periodic Time of Low Tide
I was born from the mating of seas and shore. As the tide united them, I was stranded in a vast land, a substrate hooked to other substrates on the seashore.
My body grew and evolved, attuning to its environment. A hard, calcareous substrate helped me build up a shell, protecting my soft mollusc-like body from the heat of sunshine and predatory attacks. As I matured, my feet grew and their edges branched like phalanxes into fingers because life requires them. The bones formed a structure and enabled me to walk, as I really have to walk, and liven up this seashore.
Subsequently, this body occupied a site, a place where fate is staked with its friend – fortune. It adapted to nature and the long-standing knowledge of its environment. For centuries, this body has evolved, roamed and foraged, complying with every prevailing knowledge system. Particularly, this body recognised two such systems. One system demanded it to perform hereditary rites that have existed for so long and are considered good for this body, allowing it to live in mutual symbiosis with other bodies. This body adapted to forage with others, and to continually strive for betterment. When this system seemed resilient, it felt hard to change the pattern and to interact with the new bodies who came and went, and with those who came and settled.
The other system demanded that this body comply with signed and numbered mandatory rules, and interact within corridors strongly guarded by law. It produced definitions and homogeneity, bringing new goodness. This knowledge system helped the body to progress and to experience more things beyond anything the body had previously sensed.
But these two systems sometimes tire out the body, because they demand mechanical labour from organs that must continuously move to generate goodness. Sometimes the body needs only a bale-bale (a kind of bamboo hut) to lie around in, enjoying the breeze during hot noontime, while activating only one organ of which ability is just kept chattering: about the things it sees and experiences in life. Sometimes, that moment turns into a lengthy interpretation about the evolution of the body and its environment, presented through tales. This shiftless body only wishes to ruminate about the regular schedule of low and high tides, which come along with the turn of the crescent and full moon in the coastal boundary line. These regular tidal waves let this body exist.
However, this body can’t always serve these two systems, and sometimes it becomes a parasite. At times, it has been difficult to hook this body to systematised substrates, to be together with them to make life better. Eventually, this body strayed out in the outer side of the system, and wandered in and out of the system to survive, as well as to feed the living and ever-increasing children. Together with other, same-fated bodies, we have swarmed, told tales, and tried to be mutually-supporting substrates.
These stories helped us to survive during thirst and hunger when the low tide dried up the hot sand, in the periodic times of the crescent and full moon. We have waited for high tide to come to ease our search for food, while telling tales and stabilising sanity.
Sanity Stability
The structure of tradition, as ingrained in society, was created to preserve harmony. But it often binds the essence of human happiness. In society, especially one living communally, interests always creep in through the narrowest gap within the tight lines of tradition’s guardian. It is the same in the modern system, under the canon of government and in the context of the nation state. It cannot fulfil each member’s pursuit of happiness. Consequently, every individual must follow established rules. History is archived and used for tomorrow’s learning. These narrow gaps have always contained the opportunity for political interest to fool the faltering threshold between modern society and tradition.
Where can tales of sanity stability, which protect heads from sun-drenched noonday, exist? What can relieve the tremble within people’s chest from the nerve-wracking nights in the moments after earthquakes? Maybe these tales have also been archived in the braid wall of a bamboo cabin undestroyed by repetitious jolts. Perhaps they can be used later, in the rainy days, when the electricity cuts out and the cold and the dark might be able to soothe people’s addiction to disputes in social media.
The traditional structure operates alongside the modern system. They intersect each other, in mutual support as well as conflict. They complement each other, regulating people’s lives. Likewise, modern history and the tales held in people’s memories sit side by side, seizing their chances to fill people’s mind and thrill their hearts with the construction of surprises.
History is recorded in books, and taught in curricula that are never separated from power relations, whereas tales of people’s memories wander like parasites upon each systematised substrate that can help them survive.
Like organisms in the intertidal zone living between the boundary lines of the lowest and highest tide, people of Pemenang, who live in the reciprocal force fields of modern and traditional knowledge systems, have a distinctive character driven by the necessity of adapting to the effects of politics, power, media, and technological developments. Distortive tales of people’s memories are carefully nurtured . These guard people against the hard shocks that always happen, beyond their purpose to strive for the pursuit of happiness.
Bangsal Menggawe 2019: Museum of Tales
Occupies time throughout February 2019, Bangsal Menggawe: Museum of Tales was held in a situation of post-cataclysm after the earthquakes that occurred on Lombok Island last year. Realising that the self is part of a system, a society consisting of individuals has indeed been the weakest entity. If we imagine ourselves as humans on a location, the land on which we stand among the most vulnerable one in the world. Indonesia rests on the most active earthquake route in the world because it is surrounded by the Pacific Ring of Fire, and sits amid three continental plate collisions: Indo-Australia from the south, Eurasia from the north, and Pacific from the east. Even though this condition makes Indonesia fertile and rich in energy sources, the large number of victims and damage caused by the cataclysms that come repeatedly to several regions in Indonesia is still unavoidable.
Indeed, people hang their hope of salvation only on the big patronising building, the system of government. Isn’t it worrying when we see how this nation-state is under the aegis of a building unable to resolve the disunity perturbing its people? The reciprocal force between different interests, politics, technological developments, media and the cramped life necessities within many rules doesn’t bring equal goodness for all. In the bustle of movement to survive, sometimes people forget about things such as tales able to keep our sanity stable while continuously dissolving in the tidal wave that takes us somewhere.
Bangsal Cup, the football tournament that has existed since 2016, is held again, this time highlighting players under the age of 13 years. Also, there is the already growing Rudat dance, with its movement to promote Rudat as a way to exercise in many circles of society. A small public TV cable business that collapsed in the earthquakes has been re-activated with a more non-commercial agenda, broadcasting programs made by common people. Isin Angsat Theatre presents various performances that explore the concept of spec-actor-ship (spectatorship and actor-ship) in private, semi-public and public spaces. All of these activities will echo together at the Bangsal Port on March 2, 2019. A large trumpet will be blown, calling all people of the Pemenang City to come to Bangsal Harbor and menggawe (‘celebrate’) together.
Based on the notion that increasing people’s dignity might be done by activating their daily awareness, the 3rd Bangsal Menggawe, which was delayed by last year’s earthquakes, is again held. It aims to activate the self by constructing the awareness that even the smallest act in everyday life is a meaningful matter within a system that is built through relations of power. Bangsal Menggawe: Museum of Tales frames everything wandering around the outer side of the system, where there is no corridor but there are rules through which we can look after each other. It invites people to hold hands at the Bangsal Harbor and pray together for the strength of heart to deal with the weak walls of the modern system when it is confronted by cataclysm. ***