Aku Tidak Ingin Engkau Berubah

Oleh: ANITA AGUSTINA | Komunitas pasirutih

Dulunya sangat alami, unik, menarik, tenang dan sangat sejuk. Saat itu kita sangat menikmati keindah karna pemandangannya yang begitu menarik. Tapi semua itu sekarang berubah seketika. Memang harus ada perubahan. Sebab tidak bisa dinafikan perubahan itu sendiri.  Dizaman era globalisasi ini, semuaseakan-akan brubah draktis mulai dari karakter,penampilan,adat dan budaya. Apa kita miliki semuanya sekarang sudah berubah.Seperti pesulap yang seketika membaca mantra dan semuanya berubah dalam hitungan satu, dua dan tiga.

Begitu pula yang dialami masyarakat yang tinggal di tiga pulau Gili, yaitu Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan. Dulunya mereka tinggal dirumah Adat, yang terbuat dari kayu papan dan atapnya terbuat dari anyaman daun kelapa. Dulu kami sering ke Gili, sekedar untuk berlibur atau mengunjunig sanak keluarga disana. Itulah kenapa ingatanku masih kuat tentang bangunan-bangunan tersebut. Semua itu sekarang sudah berubah. Hanya beberapa kepala keluarga saja yang masih tinggal dan berlindung menggunakan, ya bisa dikatakan rumah adat. Biasanya rumah masyarakat Gili, tidak menyentuh dengan tanah. Ia disangka oleh tiang. Lebih mirip berugaq (tempat berkumpul masyarakat Lombok bersegi empat dengan enam atau empat tiang, dan terbuka-red). Perbedaannya, rumah masyarakat Gili yang aku tahu dulu, ia tertutup oleh anyaman dari bambu.

Rumah Masyarakat Gili (Gambar diambil dari Google Image)
Rumah Masyarakat Gili (Gambar diambil dari Google Image)
Rumah Adat Segenter (Gambar diambil dari Google Image)
Rumah Adat Segenter (Gambar diambil dari Google Image)

Sekarang, masyarakat sudah banyak menggunakan rumah dari batu atau rumah tembok.Entah kenapa. Mungkin karena beberapa factor. Dengan banyaknya wisatawan yang datang dari berbagai belahan dunia, menjadikan Gili sebagai lahan untuk mencari uang. Setiap pedagang, tentu akan mempertimbangkan keinginan pembeli. Maka, masyarakat mungkin mulai berfikir untuk menyediakan sarana yang baik. Dengan cara merubah konstruksi rumah mereka, mirip dengan bangunan yang dimiliki oleh para wisatawan. Cuma pertanyaanya, apa bangunan sederhana yang dimiliki masyarakat Gili tidak cukup menarik bagi para wisatawan? Selanjutnya, asumsi saya. Karena pertumbuhan ekonomi di tempat wisata sangat cepat, maka adanya keinginan untuk memperbaiki keadaan, terutama kebutuhan premier. Tentu, banyak lagi asumsi-asumsi yang lebih menarik dan ilmiah. Namun sebagai tahapan awal, saya hanya menyajikan asumsi seadanya.

Gambar rumah warga di Gili, yang banyak dijadikan tempat kos. sekarang (Gambar diambil dari Google Image)
Gambar rumah warga di Gili, yang banyak dijadikan tempat kos. sekarang (Gambar diambil dari Google Image)

Lalu, apa yang terjadi jika semua bangunan-bangunan-sebagai simbol adat- tadi dirubah? Tentu para pembaca bisa menganalisa sendiri. Yang terpenting adalah. Jika kita berupaya untuk mempertahankan adat dan budaya, semua itu akan terlihat lebih indah dan menarik. Orisinil.  Jika sudah demikian, rumah-rumah mereka bisa menjadi objek wisata parawisatawan yang berkunjung ke tigaGili. Paling tidak menjadi daya tarik wisatawan. Seperti misalnya kasus Rumah Adat Segenter, Bayan. Meski sebenarnya juga memiliki kondisi yang sama, tapi keberadaan rumah adat disana, masih bisa dinikmati.  Seharusnya setiap orang, bisa menjaga adat istiadat yang mereka miliki. Jika saja, ada waktu untuk duduk bersama, baik antara warga, pemilik modal dan pihak pengambil kebijakan, tentang bagaimana seharusnya membuat Gili menjadi indah dan menarik, namun bukan dengan mengorbankan kesitimewaan yang ada. Apalagi sampai terjadi tradisi ‘ikut-ikuta’. Mengikuti gaya orang. Sehingga yang terjadi adalah kehilangan akar budaya dan identitas.

_____________________________

Tulisan ini dibuat dalam rangka Program AksaraMedia Komunitas pasirputih. Sebuah upaya penyadaran masyarakat terkait bagaimana kerja media, dan memanfaatkan media untuk kepentingan warga. Silahkan kunjungi Blog AksaraMedia.

1 Comment

  1. makanya para pelaku pariwisata salah kaprah sebenarnya para touris itu mencari kebenaran impormasi tentang keadaan pada puluhan tahun yang lalu..salah satunya ya rumah adat itu.
    tapi menurut beberapa warga yang mengaku terpaksa merubah bangunannya menjadi bangunan batu bata karna enggan untuk mengeluarkan biaya lebih,
    contohnya harga kayu mahal dan sulitnya kayu yang mempunyai kualitas bagus,pemeliharaannya susah karna kalau gag bener-bener di pelihara kayu-kayunya di makan rayap.
    sekarang kira-kira mau gag masyarakat/pelaku pariwisata mempertahankan budaya tapi mengeluarkan biaya lebih banyak.
    dan salahsatunya masyarakat juga gag mau di bilang primitive.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.