Belanja ke Pasar dan Mengangkat Berugaq

SIANG TADI, 4 Februari 2019, sebelum makan siang, teman-teman Pasirputih dimintai bantuan oleh Pak Herman untuk menggeser berugaq miliknya. Pak Herman adalah tetangga sekaligus keluarga kami yang sering ikut bersantai, nongkrong bersama kami, mengelilingi tempat pembakaran sampah yang ada di depan campcraft Pasirputih, lokasi yang biasa kami gunakan untuk rapat setiap malam membahas Bangsal Menggawe yang bulan ini sedang berlangsung.

(Foto: Pakhrul Yani)

Berugaq sekenem adalah berugaq yang memiliki enam tiang, kerap menjadi pusat kumpul warga di tengah-tengah aktivitas sehari-hari.

Beberapa waktu yang lalu, saat kami mengikuti lokakarya sekolah Mendea, Pak Herman juga sering melihat-lihat kebun yang kami garap dengan menanami beberapa sayuran. Di Berugaq Pasirputih, ia bahkan pernah memberikan masukan sekalian menceritakan pengalamannya saat masih muda menjadi petani. “Lahan tempat kalian menanam di sana, gundukannya kurang tinggi,” katanya, berpendapat. “Kalau hujan, tanahnya becek dan beberapa tanaman kalian jadi layu, terutama tanaman yang tidak tahan dengan dingin dan becek.”

“Saya, dulu, di lahan yang di sana, pernah bertani seluas 5 Are,” lanjut Pak Herman, bercerita. “Saya dan beberapa teman membuat gundukan yang lumayan besar sehingga air hujan yang masuk dapat mengalir dengan baik melalui selokan-selokan kecil yang sudah dibuat. Tanaman sengon dan kacang panjang yang di sini, dekat berugaq Pasirputih, seharusnya dibuatkan tempat agar tanaman bisa menjalar dengan baik, tidak menjalar liar dan menumbuk seperti itu…” Begitulah cerita Pak Herman, lumayan menambah pengetahuan kami, partisipan Mendea saat itu, tentang pertanian.

Berugaq sekenem adalah berugaq yang memiliki enam tiang, kerap menjadi pusat kumpul warga di tengah-tengah aktivitas sehari-hari. Bahkan, berugaq jenis ini juga menjadi tempat dilaksanakannya beberapa ritual yang berhubungan dengan acara kematian dan kehidupan. Acara kematian, seperti memandikan mayit, mengkafani mayit, dan menzikirkan mayit. Menjadi tempat dilaksanakannya acara kehidupan, yaitu seperti pernikahan, ngurisan </em (‘prosesi acara pemotongan rambut bayi untuk pertama kalinya—ed.), sunatan, dan lain sebagainya. Tetapi, semua tradisi yang saya sebut itu sangat sulit ditemukan sekarang ini jika kita tidak berkunjung ke Bayan dan daerah daerah Lombok Utara bagian pedalaman.

Sehabis saya membuang sampah yang menumpuk di dalam tong bersama Izom, istri Pak Herman meminta bantuan kepada kami, untuk mambantu para tukang yang sedang membangun berugaq sekenem bagi keluarganya. Lebih tepatnya, bantuan yang diharapkan adalah memindahkan berugaq kecil yang ada di samping berugaq sekenem yang sedang dibangun tersebut. Saya dan Izom mengiyakan permintaan istri Pak Herman. Tetapi sebelum kami mulai mengangkat si berugaq kecil, Pak Herman juga mendatangi campcraft tempat berkumpulnya kawan-kawan Pasirputih, mengajak anggota Pasirputih yang lain untuk ikut membantu mengangkat berugaq kecil itu.

Usai membantu teman saya, Ipeh, membersihkan ruangan kelas Mendea yang akan dijadikan tempat tidur bagi kawan-kawan Pasirputih selama penyelenggaraan Bangsal Menggawe, saya pun mendapati bahwa beberapa orang sudah berjalan menuju si berugaq kecil yang akan dipindahkan tersebut. Saya langsung saja mengambil posisi di salah satu kaki dan tiang berugaq itu, bersiap-siap untuk mengangkatnya bersama-sama dengan teman-teman yang dimintai tolong oleh Pak Herman—di samping saya saat itu ada Harry dan Joe Datuak.

Aba-aba diteriakkan oleh Sibawaihi, “Satuuu, duaaa, tigaaa, angkaaat!”

(Foto: Pakhrul Yani)
Beberapa orang memperhatikan usaha Pak Herman memisahkan bagian berugaq kecil yang tersangkut di atap bangunan yang ada di sebelahnya. (Foto: Pakhrul Yani)

Berugaq kecil itu, sedikti demi sedikit, bergerak. Akan tetapi, usaha menggotong berugaq itu sempat terhenti karena ada kayu—bagian dari badan—berugaq yang masih tersangkut di atap berugaq di sebelah. Orang-orang pun kemudian mengalihkan kesibukannya dari menggotong ke kegiatan memisahkan bagian kayu yang tersangkut itu. Setelah bagian kayu tersebut dapat dipisahkan, kami kembali pada posisi masing-masing. Posisi saya yang tadinya sebenarnya kekurangan orang lantas dibantu langsung oleh Pak Herman sendiri. Berugaq kecil yang pada aksi menggotong sebelumnya terasa sangat berat, kini mulai terasa ringan karena tenaga manusia yang mengangkatnya mulai seimbang di setiap posisi. Merasa bahwa tenaga manusia yang menggotongnya mulai stabil dan tak masalah jika saya berhenti menggotong, saya pun menarik diri dari posisi kaki yang saya pegang tadi, melangkah mundur dan kemudian mengambil gambar peristiwa penggotongan itu dari berbagai sudut.

Makan siang telah menunggu kami yang kelelahan usai mengangkat si berugaq kecil milik Pak Herman. Siang itu, lauk-pauk bermenuutamakan ikan tongkol menyambut kami di dapur.

***

PAGI SEBELUM SIANG itu, saya bersama Ipeh pergi ke pasar membeli beras dan bahan dapur lainnya. Masi pukul 09:45 WITA, Ipeh sudah membangunkan saya dari tempat tidur untuk menemaninya berbelanja ke pasar. “Yaniii, Yaniii, Yaniii! Banguuun! Ayok kita ke pasar!” teriaknya. “Iya, Ipeh, iyaaa!” jawab saya malas. Saya bangun sebentar, dan tidur lagi. Ipeh tidak mau kalah, dia kembali lagi memanggil saya. “Yaniiii…! Oeee, ayok, sudah jam sembilan lebih, ini…!” teriaknya lebih keras, berusaha membangunkan saya.

Duuusss! Suara kaki saya yang bangun dari tempat tidur dan langsung pergi menggososk gigi dan membasuh muka.

Saat siap-siap akan berangkat ke pasar, saya dibingungkan kembali dengan keberadaan kunci motor saya yang semalam sempat dibawa oleh Izom. Ke sana ke mari saya mencari, di sekitaran tempat saya tidur, tak kunjung saya temukan kunci itu. Terlihat Ipeh sudah berdiri di depan dapur menunggu. Saya bertanya kepada Sibawaihi, “Siba, Izom tidur di mana?” Sibawaihi menjawab, “Coba cek ke rumahnya Rajib! Mungkin dia tidur di sana.” Benar, rupanya, Izom dan Albert tidur di rumah Rajib. Di sana saya mengambil kunci motor dari Izom yang masih ngantuk-ngantukkan. “Izom, Izom, Zooom! Ente bawa kunci motor saya…?!” Dengan mata terpejam, dia memeriksa saku celananya, membuat Rajib yang tidur di sampingnya terbangun.

Kunci sudah saya dapatkan, saatnya berangkat ke pasar bersama Ipeh. Di pasar, saya seperti anak yang mengikuti ibunya ke sana ke mari membeli bahan masakan. Ipeh sempat menawarkan saya untuk diam menunggunya di satu tempat, tapi saya menolak ketika memarkirkan motor di depan ruko sebelah pasar.

Lantas kami masuk ke pasar dan blusukan mencari pedagang beras terlebih dahulu, jenis beras yang tadinya Ipeh ingin beli di sebuah toko depan SD N 7 Pemenang. Ipeh membeli beras yang kelas sedang, tidak super, tidak rendah. Setelah Ipeh memeriksa contoh beras yang dipajang di depan toko dan sepakat bersama si pedagang, Ipeh berkata, “Saya bayar nanti, dah, Buk! Mau beli lauk dulu, ini.” “Oh, iya, dah, jawab si pedagang.”

Kami kembali berjalan mengitari pasar. Ipeh sepertinya tidak mau berlama-lama di pasar karena hari sudah menunjukkan pukul 10:34 WITA. Di saat ia melihat pedagang rempah-rempah, di situlah ia langsung membeli cabai, bawang merah, dan sudara-saudaranya sebagai bahan bumbu masakan. Setelah itu, kami lanjut mencari jagung yang akan dijadikan sayur. Sesekali saya, dengan kamera handphone, mengambil gambar Ipeh yang sedang memilih sayuran di pasar.

Ipeh ketika membeli sayur-mayur di Pasar Pemenang. (Foto: Pakhrul Yani)

Setelah mendapatkan rempah dan sayur-mayur, Ipeh bertanya kepada saya, “Yan, di mana kita beli ikan?” “Laaaah, tadi di depan ada pedagang ikan.” “Bukan ikan kering, tapi ikan yang masih basah.” Sambil terus berjalan, saya dan Ipeh melirik sana-sini melihat-lihat di mana si pedagang ikan. Salah satu pedagang bertanya kepada saya, karena melihat saya yang mungkin tampak kebingungan, lirik sana-sini. “Mas, mau beli apa?” “Beli ikan, Buk,” jawab saya. “Kalau pedagang ikan, di sebelah timur, Mas,” kata si ibu pedagang yang menyapa saya itu, menunjukkan jalan. “Oooh, iya, Buk, terima kasih.” Sementara itu, si Ipeh berjalan lancar menuju arah timur pasar, sepertinya ia sudah tahu di mana pedagang ikan berkumpul. Saya segera menyusulnya dan, ketika sudah di dekatnya, saya melihat Ipeh sudah bernegosiasi dengan pedagang ikan di tepi jalan raya yang padat dengan cidomo, sepeda motor, dan kendaraan lainnya, bolak-balik mengangkut barang dan penumpang.

Ipeh ketika membli ikan di Pasar Pemenang. (Foto: Pakhrul Yani)

Setelah semua bahan-bahan dapur terkumpul, saatnya pulang ke markas Pasirputih. Kami berjalan melewati jalanan pasar yang tadi kami lewati. Di tengah-tengah perjalanan, di area orang-orang berjualan pakaian, seorang ibu memanggil saya. Entah mengapa Ipeh yang mendengarnya dan memberitahu saya, “Yani, kamu dipanggil, tuh!” “Mana, mana?” saya kebingungan, melihat sana-sini, mencari ibu yang memanggil saya. Ternyata, ibu tersebut adalah istri tetangga saya dari Sesela yang berdagang di sana. Dia bertanya, “kamu ngapain di sini?” “Aaah, ini, Buk, saya menemani teman berbelanja. Saya sekarang di Pasirputih, Buk, bersama Gozali dan Sibawaihi,” jawab saya, sambil terus berjalan menghindari pertanyaan-pertanyaan lebih jauh.

Di perjalanan pulang kami dari pasar, masih di atas motor, Ipeh meminta saya berhenti sebentar di depan SD N 7 Pememang. Ia ingin membelikan Zikri, adiknya, sarapan pada pedagang nasi yang selalu menjadi buruan masyarakat dan anak-anak SD untuk sarapan mereka. Saat menunggu ditepian yang teduh, saya melihat Wafda, anak perempuan Gozali, sedang asyik bermain dengan teman-teman sekolahnya. Gadis cilik itu kemudian mengangkat tangannya, melambai ke arah saya.

Wafda melambai ke arah saya saat saya dan Ipeh singgah di sebuah warung depan SD N 7 Pemenang untuk membeli sarapan. (Foto: Pakhrul Yani)

Tak lama kemudian, kami pun sampai di markas Pasirputih. Ipeh melakukan kesibukannya, yaitu memasak di dapur, sedangkan saya bergegas membantu teman-teman anggota Pasirputih yang lain mengerjakan kesibukan kami hari ini, sebelum sampai pada peristiwa mengangkat berugaq kecil milik Pak Herman. ***


Editor: Manshur Zikri

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.