Tanah dan ruang-ruang kita bukanlah tanah dan ruang bermuka “horor”, seperti yang dialami orang-orang macam Banksy di seberang lautan sana. Tanah di lingkungan masyarakat kita masih ada tradisi “pemakluman” asalkan “saling mengenal”.
Bangsal ini merupakan aset dan gate, pintu gerbang pariwisata Lombok Utara menuju Tiga Gili itu. Dalam satu hari, ratusan juta bisa didapat. Jika tidak dikelola dengan baik, maka kita akan menjadi penonton di Bangsal.
Janganlah heran jika suatu ketika datang seorang pengemis bertanya kepada Anda—seperti sebuah lelucon yang pernah saya baca dalam sebuah komik—dan berkata, "Maukah Anda menukarkan mobil mewah Anda dengan sandal jepit saya?"
Maka, setelah pertumbuhan pesat industri motor, terminal dan pelabuhan Bangsal dipenuhi oleh kekisruhan perebutan lahan operasi mobil-mobil transportasi umum akibat pesatnya industri wisata, saya kembali pada pertanyaan semula: lalu kemana kuda-kuda itu pergi?
Jika kalangan pihak berkepentingan tidak benar-benar memikirkan betapa perlunya mempertimbangkan kualitas sumber daya manusia, kesiapan sumber daya alam dan kematangan strategi pembangunan yang baik, maka hal yang diharapkan oleh semua pihak tidak akan bisa terwujud dengan maksimal.
Konsep yang saya maksud di sini, bukan hanya tentang Bangsal adalah pelabuhan, Terminal Bangsal adalah tempat perhentian sementara sebelum wisatawan tiba di Bangsal, Tiga Gili adalah aset pariwisata yang baik untuk meningkatkan pendapatan daerah dan menopang ekonomi masyarakat.
Pelabuhan Bangsal merupakan tempat penyebrangan menuju Three Islands (Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air). Bangsal juga menjadi salah satu tempat mata pencaharian masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.