Kelas Wah kali ini edisi ke 5, Minggu 17 april 2016, dengan tema Politik Dan Kuasa Massa, mencoba mendiskusikan tentang Politik dan Kuasa massa. Saya rasa tema ini tidak terlepas dari asumsi yang dibangun dalam kegiatan Bangsal Menggawe. Sebuah kegiatan pesta rakyat yang digagas sebagai ruang dan panggung bagi masyarakat untuk menunjukan kekuatan dan ke-berdaya-an mereka. pasirputih bergerak bersama warga Pemenang untuk membuat sejarah baru, membuktikan bahwa masyarkat sebenarnya memiliki kekuatan untuk merubah kondisi mereka sendiri. Oleh karena itu, Kelas Wah menghadirkan pemateri yang konsen dengan ilmu politik dan mengamati politik di sekitar masyarakat. Anhar Putra Iswanto, seorang pemuda yang berasal dari Dusun Leong, Kecamatan Tanjung, Lombok Utara. Ia dikenal cukup intens menggeluti ilmu politik dan dikenal akrab sebagai pengamat politik muda di Lombok Utara. sepengetahuan pasirputih, ia sangat mengerti kondisi perpolitikan di Lombok Utara. Dalam berbagai kesempatan, ia sering menulis status-status seputar kondisi sosial-poltik di Lombok Utara. Pun dari buku Nihilisme Demokrasi Dan Keadaban Politik, ia banyak menulis juga tentang Lombok Utara.

Kelas Wah dimulai jam 9:00 WITA, dihadiri banyak warga dari sekitar Pemenang dan dari luar Pemenang. Selain anggota pasirputih yang menghadiri Kelas Wah, ada juga beberapa elemen atau komunitas yang juga cukup merespon kegiatan tersebut, antara lain Bomb Of North (BON) salah satu komunitas di Pemenang yang menggeluti bidang mural dan graffiti, Rahmat Marzoan, salah satu Tokoh Masyarakat Pemenang dan juga aktif di Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI), Husnul Munadi (ketua JPKP Lombok Utara), Kongso Sukoco (mantan Ketua Dewan Kesenian Nusa Tenggara Barat) dan beberapa rekan remaja yang berasal dari Pemenang.
Anhar sendiri membuka kelas wah dengan salah satu ungkapan dari seorang filosof Alain Badiou, “Filsafat sedang sakit, Barangkali sekarat, tetapi saya yakin Dunia (Dunia, bukan tuhan atau Nabi, tapi dunia) sedang berkata filsafat “Bangkitlah dan berjalanlah”. Mengutip apa yang ia utarakan dalam makalahnya bahwa memasuki abad 21, muncul berbagai judul buku, artikel, jurnal, yang terbit dengan judul “Matinya Ilmu Komunikasi”, “Matinya Politik” dan “Matinya Filsafat”. Oleh karena itu Anhar pada ungkapannya lagi bahwa politik saat ini sudah usang atau sesuatu yang telah mati.
Ia menceritakan bagaimana pemikiran Plato yang akhirnya menjadi sangat anti pati terhadap politik. Hal ini disebabkan karena gurunya; Socrates, mati terbunuh gara-gara politik. Sikap kritis Socrates menyebabkan dia diburu oleh kekuasaan Atena, maka dengan kekuasaannya, sang raja membunuh Socrates. Plato menyebut itu sebagai kekuasaan politik dan sikap tersebut menghantui pemikiran Plato “Kenapa politik semena-mena?”, “Kenapa politik seenaknya sendiri?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat Plato sampai pada satu kesimpulan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan politik, ada yang mati dengan politik. Yang mati itu adalah ide, raja-raja tersebut tidak mencintai ide dan membuat mereka semena-mena. Ide dalam penafsiran Plato dimaknai sebagai akal budi atau kebajikan-kebajikan, maka Plato merumuskan, yang menjadi raja itu yang mempunyai ide dan kebajikan-kebajikan.
Dari pemaparan Anhar, ada beberapa pernyataan atau pertanyaan di lontarkan oleh audien, yang pertama, dari Rahmat Marzoan. Dari sudut pandang bapak Marzoan mengatakan bahwa ia setuju dengan beberapa pemaparan materi tentang politik dan kuasa massa yang di sampaikan oleh Anhar Putra Iswanto. Yang pertama tentang politik Lombok Utara saat ini adalah politik yang kacau balau. Kedua, Pak Marzoan sependapat ungkapan bahwa sisitem pemerintahan harus diperbaiki. “Jadi, siapapun yang duduk di legislatif maupun pengusaha dan lain sebagainya, kalau sistem kita kuat , maka itu akan terjamin apa yang menjadi tujuan kita.” Ungkap Pak Marzoan. Dan yang ketiga, Pak Marzoan mengajak semua yang hadir untuk merebut perubahan-perubahan yang diharapkan bersama tersebut.


Selanjutnya dari Kongso Sukoco memulai dengan membahas tentang wacana-wacana, bahwa kita sekarang sudah terkepung dengan wacana, soal bagaimana narasi-narasi besar, misalnya perubahan, tentang politik, tetapi bagaimana menanamkan perubahan itu dalam suatu tindakan yang massif. “Generasi-generasi sekarang ingin menjadi tokoh-tokoh masyarakat. Jika menjadi bupati kemudian membicarakan perbaikan system, itu kan hanya omong kosong! Dia hanya meningkatkan statusnya. Para intlektual juga ingin menjadi staf ahli Bupati, karena itu seolah-olah menjadi puncak, terutama di daerah, menjadi puncak itu ketika kita lekat di kelembagaan formal, di pemerintahan dan kita menjadi berharga itu ketika sudah masuk di sana. Sekarang kalau kita cermati di mataram, aktivis-aktivis atau LSM-LSM yang dulu getol itu, kemudian malah merapat di partai politik. Kenapa? Karena merasa sia-sia selama ini berjuang untuk masyarakat,” Ungkap Kongso.