Bulan Oktober sudah tiba. Pekan Sinema pasirputih sudah menyiapkan dua buah filem yang akan diputar. Untuk pekan pertama ini, 10 Oktober 2015, pasirputih memilih sebuah film karya sutradara Luchino Visconti, Italia. La Terra Trema (Bumi Bergolak). Film ini berdurasi 154 menit. La Terra Trema sendiri sempat dilarang oleh pemerintah Itali. Hal ini dikarenakan isu komunisme yang diangkat. Filem ini diambil dari novel karya Giovanni Verga yang berjudul I Malavoglia (The By Medlar-Tree) tahun 1881. Filem ini berawal dari partai komunis yang menugaskan Visconti membuat filem propaganda untuk kampanye Pemilu 1948, namun ia mengembangkannya sebagai sebuah ‘realisme’ yang menggunakan nelayan setempat sebagai bagian dari pemberdayaan penggunaan media filem sebagai alat propaganda di masa Perang Dunia II. Film ini kemudian diputar untuk melihat sejauh mana bacaan kita terhadap isme-isme yang muncul dan menjadi perdebatan dan bergolak di dunia.
Indonesia yang juga memiliki sejarah kelam yang terjadi pada tahun 1965, dimana lebih dari satu juta penduduk Indonesia dibunuh dengan alasan ideologi yang berbeda. Pemutaran filem ini dirasa baik untuk membaca kembali sejarah kelam kita itu. Mencoba membandingkan pengetahuan generasi masa kini tentang sejarah tersebut. Apakah juga ada stigma negatif tentang komunis dan ideologi lain yang juga sebenarnya berkembang di Indonesia.
Filem Bumi Bergolak berlatar di Aci Trezza, sebuah desa nelayan kecil di pesisir timur di Sisilia, Italia. Filem ini diperankan oleh penduduk desa setempat. Bumi Bergolak berkisah tentang eksploitasi buruh nelayan oleh kaum tengkulak. Suatu ketika Ntoni Valastro meyakinkan keluarganya untuk menggadai rumah mereka demi menangkap dan menjual ikan sendiri sebagai usaha melepaskan diri dari tengkulak. Hal ini dilakukan agar mereka bisa menghasilkan lebih banyak uang dari yang mereka terima dari para tengkulak yang selama ini telah menguasai dan memonopoli harga pasar. Mulanya, semua berjalan lancer sampai badai laut menghantam perahu milik Ntoni. Setelah bencana itu, keluarga Valastro mengalami rentetan musibah, rumah disita, kematian sang kakek, dan kembalinya saudara- saudara Ntoni kepada tengkulak.
Sebelum pemutaran filem La Terra Trema dimulai, penonton diberikan angket untuk diisi. Pada angket tersebut ada dua buah pertanyaan yang kemudian audiens diharapkan memberikan tanggapan mereka. Pertanyaan pertama adalah apa yang penonton ketahui tentang komunis, Dan yang kedua, apa yang mereka ketahui tentang Tragedi Kemanusiaan 65.

Angket tersebut sengaja kami edarkan, untuk membaca fenomena sosial yang berkembang tentang komunis dan tragedi kemanusiaan 1965. keberadaan angket ini kami harapkan sebagai clue untuk menuntun audiens tentang apa yang akan mereka tonton dan materi apa yang akan didiskusikan.
Dari sekian respon audien kebanyakan menulis, bahwa komunis itu tidak mempunyai tuhan, tanpa belas kasihan kepada anak-anak dan wanita, kejam dan berbagai imej negatif. Namun ada juga tanggapan audiens yang mengatakan bahwa komunis hanya sebuah ideologi yang berkembang pada saat itu dan tidak diterima di Indonesia, karena dinilai tak bertuhan dan tidak mengakui tuhan.
Sementara untuk tragedi 65, muncul banyak kebingungan dari para audien. Diantaranya ada yang menulis, siapa saja yang masuk dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) akan di bantai, ada juga yang mengatakan terbunuhnya para jendral, ada juga yang mengatakan bahwa ada dalang misterius dan lain-lain.
Baik, itu sebagai sebuah pengantar dari saya sebelum membahas tentang filem La Terra Trema (Bumi Bergolak) dan membaca bahasa filem dalam filem tersebut lebih dalam lagi.
Sebelum diskusi dimulai, terlebih dulu kami beristirahat sejenak untuk mengembalikan fokus. Karena pada sesi diskusi, biasanya berjalan dengan durasi yang lumayan lama. Diskusi dimulai dengan pembukaan dari Siba (pemandu diskusi). Memulai diskusi dengan terlebih dahulu meminta tanggapan mengenai filem La Terra Trema dari para audien. Banyak hal yang kemudian teman-teman tanggapi mengenai filem tersebut.
Beberapa pendapat penonton terhadap filem La Terra Trema. Menurut Faris, seorang pemuda yang mengikuti program pemberdayaan dan pendampingan masyarakat dari Kementerian Pemuda dan Olahraga, yang sangat antusias menghadiri pemutaran ini, mengatakan bahwa filem ini sangat bagus dan berbeda dari film yang pernah dia tonton sebelumnya. Bagi faris, banyak kata-kata yang bermakna dan bermanfaat yang bisa ia jadikan referensi hidup, dalam hal semangat tanpa mudah menyerah terhadap keadaan hidup yang ia jalani. Bagi Faris, segala bentuk ide, gagasan dan program perlu ada follow up dan tidak mengenal kata ‘menyerah’. Faris mengutip potongan dialog Ntoni, “…lebih baik mati memakan daun kering, ketimbang kembali ke tengkulak…”
Lain lagi dengan Alif, seorang mahasiswa IAIN jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Ia melihat dari kacamata ekonomi, bahwa kenapa monopoli perdagangan bisa muncul, salah satunya adalah karena penjual terlalu banyak dan pembelinya sedikit. Hal ini kemudian merugikan penjual, sebab mereka yang berjualan, otomatis harga barang semakin tertekan. Begitulah kondisi yang ada dalam filem La Terra Trema saat itu, dimana masyarakat nelayan sebagai orang yang menjual hasil tangkapan mereka hanya ada satu tempat sebagai pembeli, yaitu para tengkulak. Dan sistem ekonomi yang dipraktekkan sangat merugikan masyarakat, dimana para tengkulak membeli dengan harga yang sangat murah.
Lain halnya Dhoom yang mencoba membaca film ini dari seni rupa dan musik. “…Sepanjang filem itu sangat keren, karena banyak juga gambar-gambar yang memperlihatkan estetika dan bloking-blokingnya juga tersusun rapi. Banyak sekali dalam setiap gambar memiliki makna-makna yang diambil, sebagai alat baca terhadap filem yang lain. Dari awal sampai akhir filem, banyak sekali penekanan-penekanan. Cuma ada beberapa yang belum saya mengerti dengan gambar-gambarnya ketika orang-orang yang mendaftar, terus si Ntoni kembali pada pekerjaannya semula yang bekerja di tengkulak ada tulisan Popollo Mushollini. Yang keren juga, ketika nyanyian tukang batu, temannya Nicola. Saat itu Nicola sedang merayu Mara. Ketukan-ketukan para pembuat tembok dan nyanyian yang dilantunkan terdengar sangat singkron, seakan-akan ketukan batu itu adalah pengiring nyanyian. Ketika kemudian kapitalis berkuasa di Aci Treeza, anak-anak sudah mulai mencoba (berlagak) seperti layaknya tengkulak, kapitalis atau penguasa pada saat itu. Walaupun awalnya yang membawa timbangan para tengkulak, pada akhir adegan, banyak juga anak-anak yang membuat, berintraksi jual beli dan bekerja sebagai tengkulak.”, begitu tanggapan Dhoom. Dhoom memandang filem ini sebagai karya seni yang karen, bagus dan baik, terutama dari segi sinematographynya, sehingga Dhoom pada saat itu bertanya, “sebenarnya Luchino Visconti ini seorang perupa atau peteater?”
Pada diskusi ini Imran menanggapi perlawanan seorang Ntoni dalam melawan kapitalis. Bagi Imran, ada beberapa hal yang dilupakan oleh Ntoni, “Kalau kita melihat Ntoni sebagai pemuda yang punya ambisi sangat besar sekali untuk melawan kapitalis saat itu. Ntoni ini, mempunyai pemikiran-pemikiran baru, tapi dia melakukannya dengan kecerobohan. Ntoni sebenarnya perlu masa untuk melawan kapitalis, tapi mungkin dia terbuai dengan keadaan masa itu yang mendadak kaya, dan dia mulai sombong dengan keadaan yang akan menghampirinya. Jadi kalau mau melawan yang berduit seperti kapitalis, kita akan butuh masa dan Ntoni lupa untuk harus memanfaatkan orang-orang di sekitarnya dan membicarakan strategi yang tepat secara bersama”.
Kemudian dari Oka, tanggapannya hampir sama dengan Imran dalam melihat filem ini, “Kalau kita melawan sendiri, kita tidak akan bisa, malah kita akan terjerumus, yang paling keren ketika keluarga Ntoni bergegas ke bank, dan juga orang tua yang mengatakan dalam dialog ,“…kalau orang tua itu bicara harus didengerkan…”. Namun pada kenyataannya, pepatah orang tua itu tidak berlaku lagi bagi Ntoni.
La Terra Trema sebagai sebuah karya Neo Realisme, disampaikan oleh Hadi. Menurut hadi, “…Filem ini membuat kejiwaan kita punya sifat optimis. Kenapa kemudian akhirnya filem Neo Realisme menjadi film yang penting sebagai sebuah pembelajaran film. Sisi penceritaan dari filem Neo Realisme juga membuat kita ingin terus menontonnya. Sebab ia semacam wujud dalam hidup kita. Seperti ketika kita sedang down, bangkit lagi,down lagi, bangkit lagi.
Film ini sangat banyak yang dibicarakan, mulai dari seni budaya, komunis, sosialis, kapitalis, agama dan fenomena sosial. Jadi di filem ini padat isi. Walaupun panjang, tapi kita tidak jenuh menontonnya. Keterampilan Visconti cukup apik dan mencoba memberikan penonton suguhan-suguhan yang mampu membuat kita terhibur, tegang dan bahkan membuat kita tertawa dengan beberapa adegan dan dialog atau candaan-candaan ringan dan penuh makna. Ketika kita tegang, maka ada adegan atau dialog yang mencoba meredam ketegangan penonton. Saya juga melihat keberadaan tokoh agama yang hanya bertugas seperti itu-itu saja, sama seperti saat ini, dimana tokoh agama seakan-akan tidak tanggap terhadap fenomena sosialnya. Seperti misalnya posisi hukum dalam kehidupan masyarakat Itali saat itu. Dimana aparat yang semestinya menjadi penengah dalam problematika sosial, justru menjadi aib dalam masyarakat. Realitas hidup yang dihadirkan Visconti sangat nyata terjadi dalam kehidupan kita saat ini.
Kemudian pembicaraan yang berkembang dalam diskusi ini menjurus ke komunis dan ideologi-ideologi yang berkembang di Indonesia atau di dunia. Namun secara lebih spesifik, kami membahas mengenai ideologi yang ada kaitannnya dan pernah berkembang di Indonesia, yakni komunis. Inilah memang yang menjadi fokus pembahasan pada diskusi ini.
Apa sebenarnya Komunis? Bagimana perkembangannya dan kemusnahannya di Indonesia? Lalu apa yang terjadi sehingga jutaan pengikut Partai Komunis dibantai pada tahun 1965?
Diskusi coba diarahkan untuk tidak melihat masalah itu dari sudut pandang ideologi, namun dari sudut pandang kemanusiaan. Apakah pantas menghilangkan nyawa manusia atas nama ideologi? Jika kita merujuk kepada hasil angket yang dibagikan kepada audien, terlihat jelas bahwa ada dinding tebal yang membuat jarak atas pengetahuan kita terhadap komunis. Sehingga misalnya, seorang audien yang hadir saat itu, mewanti-wanti kemunculan Neo Komunisme untuk masa-masa ini yang diisukan akan muncul di Indonesia.