KelasWah merupakan program reguler yang diinisiasi pasirputih dalam membaca situasi kekinian di Lombok pada khususnya, NTB dan Indonesia pada umumnya, terkait perkembangannya dari segi budaya, politik, agama, dan sosial, dengan mendatangkan para pakar yang menaruh perhatian di bidangnya masing-masing untuk berdiskusi bersama masyarakat sembari menggagas solusi atau wacana baru terhadap fenomena sosial yang ada.
KelasWah #1 yang dilaksanakan pada Minggu, 4 Oktober, 2015 mengangkat tema “Kekinian Lombok Dalam Eksperimentasi Seni”. Pertemuan itu menghadirkan dua orang pemateri, yaitu Kongso Sukoco (Ketua Dewan Kesenian NTB saat itu) dan Syamsul Fajri Nurawat (Ketua SFN Labs). Kedua tokoh ini, sebagai pelaku proses berkesenian di Nusa Tenggara Barat, sangat penting dihadirkan untuk melihat sejauh mana proses berkesenian mewarnai dan diwarnai oleh sebuah daerah yang bernama Lombok.
Perkembangan seni saat ini telah menuntut para pegiatnya untuk terus berusaha menghadirkan hal-hal baru dalam karyanya. Berbagai cara pun dilakukan untuk memperkuat esensi karyanya agar bisa diterima masyarakat dengan mudah. Mulai dari riset, pencarian referensi yang sesuai, dan banyak hal yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan karya atau wacananya itu. Saya beranggapan, bahwa dalam bereksperimen, bukan hanya eksperimen bentuk yang dilakukan, tetapi eksperimen wacana juga sangat dibutuhkan. Sebab, hal itu akan memberikan bacaan baru dalam menanggapi fenomena sosial sehingga dapat menawarkan solusi atau pengetahuan baru pada masyarakat.
Dalam tema kali itu, pasirputih membaca Kekinian Lombok Dalam Eksperimentasi Seni dalam konteks pertanyaan dasar: apa yang sudah dilakukan seniman dalam membaca fenomena sosial yang berkembang di Lombok? Bukan hanya para akademisi atau para kaum intelektual, peneliti-peneliti independen, pemerintah dan masyarakat saja yang telah melakukan berbagai macam aksi untuk menemukan solusi dan sudut pandang alternatif terhadap fenomena sosial, tetapi seniman juga melakukan kegiatan yang menekankan kepekaan dalam memberikan solusi terhadap persoalan yang ada.
Media yang berkembang saat ini telah menuntut kita (seniman, para peneliti, kaum intelektual, para akademisi dan masyarakat) untuk terus memberikan hal baru dalam menyikapi persoalan-persoalan yang ada di Lombok dengan pendekatan yang sesuai dengan bidang masing-masing. Terutama yang dekat dan akrab di masyarakat, yakni kesenian.
Kemampuan seorang seniman dituntut untuk mencoba, atau membuat percobaan-percobaan, sehingga mampu melahirkan karya atau wacana baru dalam berkesenian itu sendiri, terutama di Lombok. Timbul pertanyaan kemudian, apakah di Lombok sudah ada eksperimentasi seni yang sudah dilakukan oleh seniman-seniman Lombok dalam membaca fenomena atau realitas sosialnya?
Kongso Sukoco mengatakan, “Dalam membaca kekinian Lombok, banyak persoalan yang timbul, yaitu persoalan seperti pengangguran, korupsi, hubungan sosial yang terjadi di tengah-tengah kita. Demikian juga perubahan nilai. Nilai-nilai lama belum kita pegang dengan teguh, nilai-nilai baru pun sudah datang. Di sisi lain, banyaknya informasi yang kita serap sehari-sehari, sakan-akan membuat persoalan yang kita hadapi seragam dengan persoalan yang terjadi di mana-mana. Terkait dengan eksperimentasi seni, di sini lebih kepada bagaimana seni itu menanggapi relitas sosial. Tulisan saya ini, saya pikir, masih relevan dengan topik yang sedang kita bicarakan. Itu saya tulis saat Taman Budaya mengajak saya berkumpul dengan seniman-seniman di Lombok, kalau dalam pertemuan ini, saya lebih memaknainya dengan pikiran, dengan memahami seni itu seperti apa, seni itu berfungsi untuk apa, kemudian karya seni yang dihasilkan oleh seniman berperan apa dalam menjawab persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat.”
Pertanggungjawaban terhadap karya seni sangat menjamin kualitas signifikansinya terhadap perkembangan dan fenomena sosial. Berkaitan dengan itu, Kongso Sukoco menambahkan, “Setiap apa saja yang digeluti oleh orang, harus mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia. Seniman tidak ubahnya seperti ahli-ahli yang lain, seperti ahli komputer dan lain-lain. Seniman punya kemampuan dan kecakapan menghadapi fakta-fakta yang mampu menggerakkannya untuk berpikir, untuk berimajinasi dan mencoba maupun mencari solusi, atau kalau tidak bisa, dia hanya memberi aksentuasi kepada masyarakat, misalnya menghadapi korupsi, ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Paling tidak, dia berkata atau menjadi saksi zaman. Untuk memberi kesaksian itu maka ada personalisasi sehingga dia terlahir sebagai karya seni. Setiap seniman juga berbeda dalam mengungkapkan situasi-situasi yang tejadi.”

Meninjau tanggapan dari Kongso Sukoco, bahwa seniman dan proses berkeseniannya sangat membutuhkan kedekatan dengan masyarakat sehingga karya yang dihasilkan tidak terkesan eksklusif dan berjarak dengan masyarakat sebagai penikmat hasil karya seni, dapat kita sadari ironi yang sedang terjadi di Lombok, bahwa terlihat perkembangan kesenian di Lombok saat ini terkesan begitu berjarak dengan masyarakat, keekslusivitasan seniman terasa dalam perjalanan proses berkesenian di Lombok.
Berbicara kekinian Lombok dalam eksperimentasi seni sangat menarik, saya rasa, karena perkembangan eksperimentasi seni sudah banyak dilakukan di daerah lain. Nah, berbicara Lombok, ada dua pendapat mengenai perkembangan eksperimentasi seni, mulai dari masuk dan perkembangannya (yakni dari Kongso Sukoco yang menanggapi perkembangan eksperimentasi seni di Lombok). “Seni eksperimentasi hadir di Lombok ketika masa teater modern masuk ke Lombok,” ungkapnya. Sementara itu, Syamsul Fajri Nurawat berpendapat bahwa, “Melihat perkembangan eksperimentasi seni di Lombok, dari awal saya di Lombok dan sekarang sudah mencapai enam tahun saya di sini, lima tahun belakangan saya merasa ada atmosfir sunyi yang terjadi, dan itu berbeda dengan atmosfir yang saya rasakan ketika saya di Bandung, di mana saya pernah mendiaminya. Di Bandung, saya melihat orang sudah melakukan banyak eksplorasi dan eksperimentasi di banyak medium, termasuk di Jogja dan di Jakarta. Di sini, terasa sangat sepi”.

Saya pribadi kemudian tidak bermaksud untuk membandingkan dua pendapat itu terhadap perkembangan eksperimentasi seni di Lombok. Tapi, saya justru mendapat beberapa pertanyaan mengenai persoalan itu:
Pertama, apakah eksperimentasi seni di Lombok hanya merupakan bentuk eksklusivisme seniman dalam setiap karyanya? Kedua, apakah Lombok tidak memiliki sejarahnya sendiri sebagai daerah yang mengembangkan bentuk seni eksperimentasi khas (lokal)-nya?
Melihat Lombok saat ini, terasa bahwa bentuk-bentuk (aksi) baru dalam menjawab persoalan masyarakat memang jauh. Ini terlihat dari proses berkeseniannya, di mana masyarakat hanya dijadikan objek atau penikmat semata, bukan menjadi subjek aktif yang turut berkontribusi pada pembentukan wacananya. Padahal, seniman adalah masyarakat juga, dan seni pada esensinya berasal dari masyarakat. Tapi masyarakat justru terasa selalu berada di “posisi awam” dan berjarak dengan perkembangan berkesenian di Lombok. Eksperimentasi yang dapat dicoba, mungkin dengan mengembalikan esensi berkesenian ke asalnya, yaitu masyarakat, sehingga wacana dalam berkesenian akan terasa semakin srek.
Proses yang dilakukan pasirputih selama ini telah mencoba mengimplementasikan berbagai aksi dalam rangka menanggapi [kalau bukan menemukan solusi bagi] fenomena sosial yang terjadi, salah satunya dengan cara belajar bersama dan membuka ruang diskusi yang bersifat umum, yang membahas mengenai perkembangan dan fenomena sosial yang ada, kemudian mencoba untuk berkarya secara bersama dengan masyarakat. Inilah yang melatarbelakangi penginisiasian KelasWah oleh pasirputih.
Seperti yang dikatakan oleh Kongso Sukoco dalam pertemuan Kelas Wah edisi 4 Oktober 2015: “Perkumpulan ini merupakan bagian dari eksperimentasi, sebenarnya.” Di waktu yang sama, Muhammad Sibawaihi juga berkomentar mengenai kegiatan ini: “Kegiatan ini merupakan eksperimen, di mana masyarakat berkumpul untuk membicarakan fenomena sosial yang terjadi melalui sudut pandang masyarakat itu sendiri, dan KelasWah ini akan terus mencoba belajar secara bersama, memecahkan masalah bersama, berkarya bersama dan kami rasa itu sangat penting dilakukan untuk menjawab persoalan-persoalan di masyarakat.”
Tulisan yang seharusnya lebih menarik, dan mampu menjawab pertanyaan essensial pada paragraph terakhir. “Lalu mengapa masyarakat susah memahami sebuah karya seni. Even, dia lahir, mengakar dan melibatkan masyarakat itu sendiri dalam proses kreatifnya?”
Gue lebih tertarik pada sebuah cukilan, yang juga gue dengar di Pasir Putih, jelang acara puncak malam itu. Bahwa, sejatinya setiap manusia itu berkesenian.
Hal yang sama juga mungkin berlaku untuk sebuah proses interpretasi atau pemahaman. Seperti sebuah bahasa universal, undimentional, dan sangat bisa dimengerti… 🙂