Membuat Dapur dan Urusan-urusan Penting Lainnya

HARI KAMIS PAGI-pagi sekali, 31 Januari 2019, kami berlima orang mengunjungi markas Pawang Rinjani, Desa Gondang, Kecamatan Gangga, mengambil bambu dan atap daun kelapa untuk bahan pembuatan dapur. Oka (Muhammad Rusli), Izom (Fahrul Izomi), dan Oji (Khairun Muji) berboncengan tiga orang dengan motor thunder biru, sedangkan saya membonceng Khatif. 50 menit perjalanan, kami sampai di barak hijau markas Pawang Rinjani.

Mengangkut Bambu dan Atap Daun Kelapa

SEPERTI PENGALAMAN SEBELUMNYA, saya merasa bahwa markas Pawang Rinjani masih kental dengan aroma hutan. Pepohonan kayu sengon besar berdiri tegak di atas tanah yang luasnya +/- 10 are (1000 m2). Ciki (Pramoehardi), ketua Pawang Rinjani, sewaktu memberikan materi tentang konservasi air di salah satu program Sekolah Mendea, pernah berkata bahwa pohon-pohon itu bisa menampung air dengan jumlah besar dan mengolahnya menjadi oksigen. Makanya, satu pohon yang kita tanam akan menghidupi dua nyawa manusia. Karena Lombok dalam beberapa minggu ini diguyur hujan besar dan angin kencang, pemandangan halaman markas Pawang Rinjani terlihat sedikit berantakan: dedaunan dan reranting pohon berserakan tidak karuan.

Mengambil bambu dan atap daun kelapa ke markas Pawang Rinjani. (Foto: Muhammad Rusli).

Lima menit setelah kedatangan kami berlima di Pawang Rinjani, Gozali (ketua Pasirputih) dan Anggraeni (anggota Forum Lenteng, Jakarta) juga datang. Tidak ada obrolan waktu itu. Setibanya di sana, Oka langsung mengarahkan semua kawan-kawan untuk mengangkat bambu dan atap daun kelapa ke atas mobil yang sudah disiapkan.

Bambu dan atap daun kelapa itu pun siap dibawa ke kantor Pasirputih di Dusun Karang Subagan Daya, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang. Markas Pasirputih pindah ke daerah itu setelah gempa Lombok. Sebelumnya, markas komunitas ini berada di Jalan Raya Senggigi, Dusun Mekar Sari, Desa Pemenang Barat. Di perjalanan pulang, saya dibonceng Oka karena Khatif menemani supir mobil pick up yang tidak tahu arah jalan ke Pasirputih.

Ketika tiba di dekat markas, bambu dan atap daun kelapa itu diturunkan dari mobil pick up di pinggir jalan, depan SD Negeri 7 karena mobil tersebut tidak bisa masuk ke halaman kantor Pasirputih. Setelah beberapa menit istirahat, kawan-kawan pun mulai mengangkat bambu dan atap menuju halaman kantor. Ada 30 biji bambu yang kami bawa dari markas Pawang Rinjani, itu pun tidak semuanya terpakai karena ada bambu yang bengkok dan tidak layak pakai. Sebelum sore, semua bambu dan atap daun kelapa sudah berhasil dipindahkan.

Tidak seperti biasanya, sore itu cuaca sangat cerah. Padahal, sore-sore sebelumnya kecamatan ini selalu diguyur hujan. Saat hujan turun, kantor Pasirputih kerap kebanjiran karena tidak kuatnya tanah menyerap air. Sore itu, saya, Oji, Izom, dan Ciki berusaha merampungkan kerangka dapur sementara Anggra, Siba, dan Gozali menuju rumah Maestro Rudat, Pak Zakaria, untuk membahas senam rudat yang akan dijadikan bagian dari kegiatan Bangsal Menggawe 2019.

Memancang Tiang dan Menyiapkan Talang Air Dapur

DIMULAI DENGAN MENGUKUR luas lahan yang akan dijadikan dapur, kemudian menggali lubang sebagai tiang dapur, dan terakhir menaruh talang-talang yang berguna sebagai penopang atap dapur. Luas dapur yang kami buat +/- 4 x 3 m2. Untuk tiang dapur, saya dan Izom menggali empat lubang. Di setiap lubang itu, kami taruh bambu sebagai tiang yang akan menopang dinding dan atap dapur. Bambu yang dipilih menjadi tiang itu pun harus yang lebih besar dan lebih kuat. Tiang di bagian depan dapur haruslah lebih tinggi dibanding tiang yang bagian belakang supaya, jika hujan turun, air yang menyentuh atap akan mengalir turun ke tanah melalui tiang belakang.

Membuat dapur umum untuk panitia Bangsal Menggawe 2019. (Foto: Afifah Farida)

Saat tiang-tiang sudah terpasang, Oji pun memaku beberapa talang. Sementara kami juga memaku, sesekali Ciki mengajak bercanda. Sore itu, Ciki, yang dikenal di kalangan kawan-kawan dengan “bahasa perasaan”-nya (maksudnya, selalu ngomongin rasa), terlihat sangat cair dan lepas. Beberapa kali dia meledek Izom yang tidak sekali-duakali gagal memaku.

Taman Bundar Asap, Kamar Mandi Sederhana, dan Taman Sayur

KAMI KEMUDIAN BERISTIRAHAT dan ngopi di “taman bundar asap” setelah semua tiang dan talang bangunan dapur selesai terpasang. Saya menyebutnya “taman bundar asap” karena di taman itu, yang letaknya di depan dua bangunan campcraft Pasirputih, ada bundaran tempat membakar sampah dan reranting kering, yang hampir setiap sore hingga malam—jika hari tidak hujan—apinya selalu kami nyalakan.

Duduk santai menjelang maghrib di taman bundar depan campcraft Pasirputih. (Foto: Muhammad Sibawaihi).

Ciki-lah yang mengawali ritual pembakaran itu. Katanya, asap bisa menunda hujan turun. Entah teori apa yang sudah dia baca, tapi yang jelas dia selalu punya alasan, melalui perspektif kebudayaan, atas apa-apa yang dilakukannya. Seperti senja hari itu, misalnya, di tengah-tengah waktu istirahat kami, 20 menit sebelum azan maghrib terdengar, saya duduk di sampingnya. Saat itu Ciki memulai obrolan pendek dengan berkata, “Agama dan budaya itu saling berkaitan.” Bagaimana mungkin agama itu bisa berkembang dan meluas tanpa adanya peran kebudayaan? Saya hanya mengangguk dan mengiyakan semua ucapannya. Bagi saya, memang benar apa yang diucapkan Ciki, bahwa agama dan kebudayaan seharusnya saling kait-mengkait satu sama lain. Tentunya, budaya yang tidak bertentangan dengan norma-norma agama; budaya yang bisa diterima oleh akal sehat manusia, bukan sebaliknya.

Azan maghrib terdengar, cuaca pun berubah menjadi agak sedikit lebih dingin. Belum usai Ciki berbicara, saya izin untuk mengerjakan shalat maghrib. Kamar mandi Pasirputih pada masa pasca-gempa sangatlah sederhana. Hanya ada ember dan selang. Kamar mandi darurat yang terbuat dari triplek dan usuk (‘rusuk bangunan’—ed.) itu mempunyai dua ruangan. Di depan kamar mandi, ada bekas jejak Laboratorium Sekolah Mendea—sekolah alternatif bidang pertanian yang digagas oleh Pasirputih, bekerjasama dengan Sayurankita, dalam rangka Program Aksaratani. Sementara itu, di depan sebelah barat kamar mandi, ada taman sayur milik Pasirputih. Ada banyak sayuran yang ditanam di sana: komak, tangon, pakcoy, terong, tomat, kangkong, dan sebagainya. Taman sayur itu cukup mengirit perekonomian kawan-kawan Pasirputih selama ini.

Setelah shalat magrib, saya membuka laptop dan membuat beberapa surat untuk persiapan Bangsal Menggawe yang akan berlangsung selama bulan Februari hingga minggu pertama bulan Maret. Malam itu, hanya dua surat yang perlu saya selesaikan untuk kebutuhan esok harinya. Pertama, surat undangan turnamen Bangsal Cup. Turnamen ini menjadi bagian dari rangkaian kegiatan Bangsal Menggawe tahun ini. Kedua, surat izin lokasi untuk diserahkan keada Kepala Desa Pemenang Timur.

Bangsal Cup dan Lapangannya

SURAT UNDANGAN TURNAMEN itu, esok paginya, Jum’at, 1 Februari 2019, diantarkan oleh Rajib—ketua panitia Bangsal Cup 2019—dan Izom ke kelompok-kelompok pemuda di berbagai dusun di Kecamatan Pemenang. Sementara saya, Ipeh (Afifah Farida, Ketua Sayurankita), Oka, dan Anggraeni menuju Kantor Desa Pemenang Timur untuk mengantar surat izin penggunaan lokasi. Surat izin penggunaan lokasi itu dibuat karena sebelumnya kami mendengar dari Kepala Dusun Karang Petak, Pak Halawi, bahwa lahan yang akan kami jadikan lapangan bola untuk turnamen Bangsal Cup adalah milik Pemda Lombok Utara. Beliau menyarankan kami untuk membuat surat izin penggunaan lokasi yang ditujukan ke Kantor Desa dan tembusannya langsung ke Camat Pemenang. Lapangan itu sendiri terletak di pinggir jalan di antara gedung Syahbandar dan KUA Kecamatan Pemenang, tak jauh dari Pelabuhan Bangsal.

Mengurus surat izin lokasi turnamen Bangsal Cup ke Kantor Desa Pemenang Timur. (Foto: Afifah Farida)

Setibanya kami di Kantor Desa Pemenang Timur, lagi-lagi kami bertemu dengan Pak Halawi. Seperti biasa, gaya Pak Kadus muda yang satu ini ini selalu ceria dan banyak pertanyaan. Kami tidak melihat batang hidung Kades; hanya Sekretaris Desa yang bersedia menemui kami hari itu dan sedikit berdialog mengenai rencana pelaksanaan Bangsal Cup 2019. Surat izin yang sudah kami buat dibaca oleh Pak Sekretars Desa dan beliau pun bersedia untuk langsung menuliskan surat balasan agar bisa diberikan ke Kapolsek Pemenang. Surat balasan itu nantinya menjadi pegangan kami.

Mengurus surat izin lokasi lapangan turnamen Bangsal Cup ke Polsek Pemenang. (Foto: Ahmad Nawawi)

Sembako Masih Tersisa di Kantor Desa

RUANGAN TEMPAT KAMI berbincang dengan Sekretaris Desa itu dipenuhi bahan-bahan sembako, sumbangan dermawan untuk korban gempa. Saya heran, mengapa masih ada banyak sembako di Kantor Desa Pemenang Timur. Keheranan itu pun saya utarakan ke Oka untuk ditanyakan langsung nanti ke Sekretaris Desa tersebut atau bapak-bapak Kadus yang lain. Karena waktu itu, pak halawi dan pak sekdes meninggalkan kami guna membuat surat balasan dan menangani urusan-urusan lain.

Setelah Pak Halawi datang kembali ke ruangan sembari membawa surat balasan itu, Oka kemudian menanyakan soal banyaknya sembako yang, sepertinya, belum tersalurkan itu. Tidak ada jawaban dari Pak Halawi kecuali senyuman yang tergoret malu dari bibirnya. Kami tidak ingin memperpanjang urusan itu, dan akhirnya, Oka pun menanyakan hal lain.

“Kenapa Epe (‘Anda’—ed.) tidak merokok, Pak?” Tanya Oka.

“Saya dulu merokok, pas umur 15 tahun,” jawab Pak Halawi, sambil memukul-mukul pelan pundak si Oka. “Tapi sempat sakit akibat rokok makanya saya berhenti merokok sampai sekarang.”

Setelah surat balasan itu diberikan oleh Pak Halawi, kami pun meminta izin untuk pulang karena akan menyiapkan beberapa hal mengenai Bangsal Menggawe.

Kedatangan Pegiat Budaya dari Jakarta dan Sumatera Barat

KELUAR DARI KANTOR Desa Pemenang Timur, Ipeh kemudian memberitahu kami bahwa Hamdani (salah seorang anggota Pasirputih) dan Zikri (salah seorang anggota Forum Lenteng) sudah sampai di Pelabuhan Bangsal. Mereka berangkat dari Jakarta menuju Lombok lewat jalur darat dan laut, melintasi Surabaya dan Bali. Katanya, hari itu juga akan datang dua anggota Forum Lenteng lainnya, yaitu Dhuha dan Maria, serta seorang anggota Komunitas Gubuak Kopi dari Sumatera Barat, bernama Joe Datuak. Kawan-kawan dari Jakarta dan Sumatera Barat ini datang ke Lombok Utara untuk ikut terlibat dalam kegiatan Bangsal Menggawe 2019.

Saya dan Oka pun bergegas menuju Pelabuhan Bangsal sementara Ipeh dan Anggra terpaksa harus berjalan kaki dari Kantor Desa Pemenang Timur ke markas Pasirputih. Setiba di Bangsal, saya tidak melihat tanda-tanda kedatangan Zikri dan Hamdani. Saya dan Oka lumayan lama menunggu kabar dari mereka. Kemudian, disela-sela menunggu, datanglah pula bang Imran (anggota Pasirputih yang mengurus Program Aksaratani) dengan tujuan yang sama: menjemput Zikri dan Hamdani. Kira-kira 50 menit kami menunggu, Hamdani dan Zikri pun tiba di Pelabuhan Bangsal. Mereka turun dari fastboat yang datang dari Bali. Zikri kemudian dibonceng Imran sementara Hamdani dibonceng Oka. Saya waktu itu hanya membawa tasnya Zikri yang berwarna hijau. Setelah sholat Jum’at, barulah kemudian Maria, Joe Datuak, dan Duha tiba di Pasirputih.

Latihan Senam Rudat dan Menutup Hari dengan Merampungkan Dapur

SORE HARINYA, KAMI melanjutkan kegiatan latihan senam rudat yang sudah dimulai sejak beberapa hari sebelumnya. Latihan itu dipimpin langsung oleh Pak Zakaria, sang Maestro Tari Tradisional Rudat, yang berasal dari Terengan, Lombok Utara. Senam rudat ini sendiri merupakan hasil modifikasi yang dilakukan oleh Pak Zakaria, dalam rangka usahanya mempopulerkan tradisi rudat ke masyarakat.

Latihan senam rudat di halaman markas Pasirputih.

Latihan senam rudat hari itu berlangsung di halaman Pasirputih. Sementara beberapa warga dan pegiat Sanggar Seni Panca Pesona asyik latihan senam rudat, di area sebelah kiri (di depan campcraft Pasirputih), Ciki, Oji, dan Amaq Cung (tiga pegiat Pawang Rinjadi) sibuk memasang atap untuk dapur baru kami. Sore itu, memang ada dua kegiatan dalam satu lokasi. Latihan senam rudat dan pemasangan atap dapur. Belum juga selesai latihan senam rudat, Imran menyuruh saya untuk menjemput Ipeh yang waktu itu sedang menjaga Zikri di puskesmas. Zikri jatuh sakit dalam perjalanannya menuju Lombok dan harus mendapat perawatan. Saya ke puskesmas bersama Imran. Setelah Ipeh selesai mengurus administrasi, kami membawa Zikri ke rumah Gozali agar dia bisa beristirahat. Ia dibonceng oleh Imran sementara saya bersama Ipeh.

Setibanya di Pasirputih, latihan senam sudah selesai. Sementara itu, dapur pun sudah tampak akan segera rampung. Tinggal beberapa atap yang belum terpasang. Sembari menunggu azan maghrib, saya melihat cara Amaq Cung memasang atap dapur. Atap dapur yang Amaq Cung pasang itu terbuat dari daun kelapa yang diulat (‘dirangkai’). Atap daun kelapa itu disusun rapi agar tidak tembus air. Setelah tersusun rapi, atap itu pun dipaku dengan paku-paku yang tidak terlalu besar supaya tidak merobek atap dan bambu yang menyangganya. Ketika atap selesai digarap, kami tinggal membuat pagar yang berfungsi untuk menghalangi tempias air hujan.

Dapur inilah yang nantinya akan menjadi pusat kegiatan masak-memasak para pegiat Bangsal Menggawe 2019 selama satu bulan ke depan. ***


Editor: Manshur Zikri

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.