Bagi beberapa orang, mungkin makan tanah seperti sebuah informasi aneh dan tidak masuk akal. Mungkin juga ada yang berpendapat, itu karena kondisi kelaparan atau krisis yang menuntut orang akhirnya mengkonsumsi tanah untuk menyambung hidup. Iya, aku salah satu mugkin dari sekian orang yang berpikiran seperti itu. dan sepengetahuanku di Pemenang pada khususnya atau di Lombok Utara pada umumnya, tidak terdapat hal yang seperti itu. Mendengar penjelasan dari Masha Ru waktu mempresentasikan penelitiannya di beberapa tempat di dunia, termasuk Jatiwangi. Aku mulai terheran-heran, bahkan dulu di Eropa ada semacam tablet dari tanah suci yang biasanya dikonsumsi setelah makan bernama Terra Sigillata, yang ternyata harganya setara dengan emas. Bahkan kini tradisi yang terlupakan tersebut tumbuh lagi, setelah mengetahui (hasil riset laboratorium) bahwa tanah juga memiliki kandungan zat mineral yang dibutuhkan tubuh. Tapi, bukan berarti semua tanah bisa dimakan, karena tanah juga mengandung zat-zat yang berbahaya. Demikian penjelasan Masha Ru yang kemudian membawa kami pada informasi yang luar biasa, yang tidak kami tahu sebelumnya, kalau di Pemenang juga terdapat tradisi seperti itu. Masyarakat Pemenang mengenal tanah yang bisa dimakan tersebut dengan sebutan Tanak Ampan atau Batu Ampan. Kami akhirnya mengolahnya bersama Masha Ru dan Olga (Seniman dari Rusia yang kini tinggal dan bekerja di Belanda) menjadi beberapa masakan, yaitu Pisang Goreng Tanak Ampan, Tahu Goreng Tanak Ampan, Tempe Goreng Tanak Ampan dan Bergedel Tanak Ampan. Masakan tersebut kami suguhkan ketika konser Ary Juliyant di Pasirputih.
Pada hari itu, Selasa, 27 Desember 2016, tepat pukul 9 pagi, Pak Rianom (Kabid. Kebudayaan Dikbudpora KLU) datang menjemput kami di Kantor Pasirputih. Karena memang dua hari sebelumnya, saat Konser Gerilya Ary Juliyant dan demontrasi pembuatan kue berbahan dasar Tanah Ampan di Pasirputih. Saya dan Pak Rianom beserta Masha dan Olga membuat janji untuk bertemu. Berawal dari penuturan Pak Rianom saat itu, bahwa sebenarnya dulu beberapa tempat di Lombok Utara memiliki kebiasaan dan tradisi makan tanah, tapi diperuntukkan untuk ibu hamil (ngidam). Pak Rianom juga sempat menikmati makan tanah karena diyakini juga oleh masyarakat sebagai obat. Informasi ini menggelitik kami untuk menelusuri jejak-jejak yang masih terdengar tersebut. Jejak tradisi yang bahkan di beberapa tempat di dunia kini mulai dilupakan, yaitu Memakan Tanah.
Yang akhirnya berkesempatan mengikuti perjalanan tersebut kami berenam; Pak Rianom, Masha, Olga, Ahmad Rasidi (Dhoom), Hamdani dan aku sendiri. Perjalanan diawali dengan mengunjungi keluarga Pak Rianom di Dusun Karang Bayan – Tanjung, yang sedang memperingati Maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Di Berugak Sekenem kami menikmati suguhan hidangan khas maulid dan beberapa buah segar. Kami juga ditawari Mamak (Makan Sirih) oleh si empu-nya rumah dan Olga pun mencobanya. Penjelasan Pak Rianom, Mamak pada zaman dulu sebagai salam penyambutan mungkin istilah sekarangnya Welcome Drink– bagi tamu yang baru datang. Tidak lama kami di tempat ini, setelah Pak Rianom berbisik dengan seorang perempuan yang belakangan kami tahu sebagai ketua Sanggar Tari Callysta Kandang Kaoq, Tanjung. “Kita akan berkunjung ke rumahnya nanti sore, setelah kita balik dari Bayan.” Tutur Pak Rianom sambil membuka pintu mobil.
Mobil kemudian meluncur memecah keramaian jalan Lombok Utara dengan berbagai aktifitasnya. “Kita langsung ke Senaru dulu yah…” Sapa Pak Rianom yang kemudian selalu setia ditranslet oleh Dhoom kepada Masha dan Olga. Ditengah perjalanan, Pak Rianom berhenti “Tunggu sebentar, saya ada urusan.” Kami menunggu sambil sesekali mengambil gambar dengan kamera yang dibawa Olga dan Hamdani. Cukup lama kami menunggu, sekitar 15 menit. Sampai akhirnya perjalanan kami lanjutkan menuju Kampung Tradisional Senaru yang berada di kaki Gunung Rinjani. Kami disambut oleh seorang laki-laki bersama keluarganya. Dari pakaiannya, bapak tersebut sepertinya punya posisi penting di kampung itu dan dia sangat fasih berbahasa Inggris. Begitu juga dengan seorang anak perempuan yang usianya sepertinya tidak terlalu jauh denganku. Dia cukup lihai untuk menjelaskan beberapa hal kepada Masha dan Olga dengan menggunakan Bahasa Inggris. Apalagi ketika memberikan penjelasan tentang bangunan dan ruang dalam rumah yang mereka tempati.



Sembari menikmati kopi dan teh, Pak Rianom mulai menjelaskan kepada mereka maksud kedatangan kami. Kemudian disusul oleh Masha sembari mengeluarkan sampel Tanah Ampan yang kami temukan di Dusun Bentek, Desa Pemenang Barat dan Kue Tanah “Ampo“ yang didapatnya dari pasar tradisional di Jawa. Mereka secara bergantian mencicipi dua kue tanah tersebut secara bergantian. Bapak itu mengakui bahwa masyarakat Senaru, Bayan juga dulu punya kebiasaan itu, mereka menyebut tanah tersebut dengan istilah Tanak Kole. Biasanya tanah ini diperuntukkan khususnya bagi ibu yang sedang hamil. Bapak itu menambahkan, dia pun sempat memakan tanah tersebut karena diyakini juga bisa sebagai obat. Ketika ditanya oleh Masha kenapa kebiasaan itu hilang, bapak itu menjawab singkat “Sekarang sudah ada banyak obat, tinggal datang ke puskesmas atau rumah sakit”. Lokasi yang jauh dan jalan yang sudah tertutup semak-semak karena sudah cukup lama tidak dilakukannya kebiasaan itu, membuat si bapak tidak bisa menyanggupi permintaan kami untuk menunjukkan lokasi dimana tanah tersebut berada. Ditengah asyiknya obrolan kami, bapak tersebut ingat dengan tanah yang dibawanya dari gunung bernama “Tanak Beak”. Tanah ini kerapkali digunakan oleh masyarakat untuk mengobati luka dan penyakit rematik. Caranya sederhana, tanah tersebut ditumbuk sampai lembut, kemudian dicampur air dan dioleskan. Bapak tersebut mengizinkan Masha membawa tanah tersebut sebagai sampel.

Merasa cukup dengan informasi itu, kami pun melanjutkan perjalanan dan kali ini kami mampir dulu di rumah Pak Rianom menikmati kelapa muda dan pisang goreng. Setelah istirahat cukup, kami ke Bayan Beleq, dimana Masjid Kuno Bayan berada. Cerita yang sama juga kami dapatkan dan masyarakat juga menyadari bahwa kebiasaan itu kini terlupakan. Tidak mengherankan jika remaja dan anak muda tidak banyak yang tahu akan tradisi ini. Dipenghujung perjalanan kami mampir ke Sanggar Tari Callysta Kandang Kaoq Tanjung. Sekelompok anak remaja membawakan tari tradisi Bisoq Beras dan Tari Prajurit dengan baik. Mereka notabenenya anak SMA dan berasal dari dusun tersebut. Pada kesempatan ini pula Masha berkesempatan untuk mensosialisasikan risetnya tentang tanah. Para anggota komunitas sanggar itu juga mencicipi kue tanah Ampo dan tanah yang kami dapatkan dari Dusun Bentek, Pemenang Barat.




Anak-anak tersebut merasa aneh dengan informasi tersebut, sama sepertiku saat pertama kali mendengarnya. “Perjalanan yang menarik, semoga saya bisa datang kembali kesini” tutur Masha dan Olga sesampainya kami di Pasirputih.

