“Maka hendaknya manusia itu memperhatikan makanannya, Kamilah yang telah mencurahkan air melimpah (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu di sana Kami tumbuhkan biji-bijian, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, dan kebun-kebun yang rindang, buah-buahan serta rerumputan. Semua itu, untuk kesenanganmu dan untuk hewan ternakmu.” (Q.S. ‘Abasa 24-32)
SORE ITU, AFIFAH sedang berdiri di atas dak rumah sambil menggendong Shiddiq yang masih berusia 6 bulan. Sementara Kafa, yang kini berusia 4 tahun, sedang asyik bermain dengan sekop kecil, tanah, kandang kelinci, dan selang air panjang yang biasa digunakan untuk menyiram tanaman. Kafa menarik-narik selang itu dan berimajinasi sedang menyiram tanaman.
Saya melihat mereka sedang asik bercengkerama dari teras rumah. Tidak lama kemudian, saya memopong kursi biru dari teras rumah dan menaiki tiga anak tangga besi, lalu ikut nimbrung nongkrong dan ngobrol bersama istri dan anak-anak di atas dak rumah yang penuh dengan pot dan polybag.
Ada 15 (lima belas) pot tanaman terong sudah berbuah dan telah panen beberapa kali. Ada sekitar 20 (dua puluh) cabai di dalam polybag yang sudah berbuah dan baru panen sekali. Ada juga tomat, pakcoy, kangkung, daun mint, pare, mentimun, pohon pisang, dan alpukat. Di sisi selatan dekat tembok kamar, ada satu tong besar berwarna biru yang saya gunakan untuk menampung sampah organik dari dapur. Ada juga ember besar yang sempat saya jadikan wadah untuk budidamber—budidaya ikan dalam ember. Lalu, ada tumpukan karung besar berisi tanah, pupuk kendang, dan sekam. Ada bong—penampungan air yang terbuat dari tanah liat—yang saya gunakan untuk menaruh sisa-sisa polybag yang sudah terpakai. Di sisi barat, ada tumpukan papan dan tali jemuran yang terbentang dari selatan ke utara. Sedangkan di sisi timur, ada pot bunga berjejer tidak terlalu rapi.
Dari corong mushala tepat di depan rumah, suara anak sedang mengaji terdengar jelas. Dia membaca Qur’an, juz 30, di antaranya adalah surat ‘Abasa yang delapan dari empat puluh dua ayatnya berisi tentang perintah untuk mengkaji pangan, proses produksi dan tujuan memproduksinya. Tidak lama kemudian, saya sampaikan ketertarikan untuk menulis ayat-ayat Qur’an yang menjelaskan tentang pertanian kepada Afifah—istri saya memang mempunyai keahlian dalam bidang pertanian. Ia kemudian antusias dan bersedia membantu menjelaskan istilah-istilah Qur’an yang berkaitan dengan pertanian. Sementara di udara, suara burung merpati selalu terdengar setiap sore. Burung-burung itu bersiap pulang dengan teratur. Merpati-merpati itu dipasangkan geronong (‘kalung’) di lehernya. Sedangkan di bawah, anak-anak riang gembira berlari bermain di gang jalan kecil pinggir irigasi depan rumah kami.
Irigasi Ireng Daye. Begitulah warga menamai irigasi yang terbentang dari Dusun Midang sampai Dusun Ireng itu. Saluran utama irigasi Ireng Daya bersumber dari Sungai Jangkok yang membelah Kota Mataram. Sementara itu, hulu dari Sungai Jangkok berada di Gunung Buanmangge di Kecamatan Batukliang, Kabupaten Lombok Tengah. Gunung Buanmangge itu berada pada ketinggian 2600 mdpl. Irigasi Ireng Daya kemudian menjadi saksi sejarah bahwa sebagian besar masyarakat Dusun Midang, Sesela, dan Ireng adalah masyarakat yang dulunya menggantungkan hidup mereka pada profesi petani dan peternak ikan.
Dulu, hampir setiap pagi dan sore, saya melihat petani memonggoq (‘memikul’) cangkul dari rumah pergi ke sawah. Siang hari, biasanya ibu-ibu pergi manoan (‘membawa makanan siang’) untuk suaminya yang sedang menggarap lahan. Kemudian, waktu panen padi, anak-anak bermain di tumpukan roman (‘jerami’). Sekarang, hampir sulit menemui pristiwa itu lagi: petani memikul cangkul, ibu-ibu mengeson (‘memikul barang di kepala’) makanan ke sawah, apalagi melihat anak-anak yang tumpah riah bermain ditumpukan jerami. Itu semua sudah tidak ada, bahkan rasanya tidak akan pernah kita temukan lagi karena sebagian besar lahan pertanian di kampung-kampung ini sudah beralih fungsi. Sebagian besar dari warga pemilik tanah telah menjual tanah mereka ke para pengembang. Sementara itu, pihak pengembang membuat perumahan, lalu rumah-rumah itu dijual kembali ke warga. Karena lahan pertanian perlahan-lahan mulai menipis, disusul dengan harga pupuk yang tidak menetap, sementara ketika panen, tengkulak biasanya menginginkan harga murah yang membuat petani berada dalam lingkaran permasalahan akut yang sulit ditangani, belum lagi kebijakan pemerintah setempat yang selalu pro terhadap pengusaha, bukan kepada petani, membuat profesi petani hampir di seluruh wilayah di Indonesia menjadi tidak diminati. Begitu pun dengan sebagian besar warga Midang. Tidak sedikit petani dari Dusun Midang kemudian beralih profesi; sebagian besar dari mereka memilih menjadi pedagang di daerah pusat wisata, seperti di Senggigi dan di Tiga Gili.
***

Mengaktivasi pekarangan rumah menjadi lahan produktif merupakan solusi paling sederhana dari keresahan kita (dan kalau mau, sebut saja ini juga tengah jadi keresahan pemerintah) tentang kondisi pangan. Masalahnya kemudian terletak tidak hanya pada kesadaran warga yang belum terbangun, tapi juga pada program pemerintah yang selalu terkesan asal-asalan dan tidak disosialisasikan dengan baik. Biasanya, program-program pemerintah hanya berkelindan di seputaran mereka saja. Lingkaran kesalahan ini sungguh sudah dianggap hal biasa; situasi yang kemudian membuat masyarakat akar rumput tidak percaya lagi dengan seluruh program pemerintah, kecuali: program bagi-bagi uang ketika kampanye.
Kesadaran saya untuk mengaktivasi lahan kosong menjadi lahan produktif penghasil pangan muncul pascakegiatan Mendea yang dulu pernah terselenggara di kantor Yayasan Pasirputih, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara. Tepatnya, lokakarya itu dilakukan pada tahun 2018. Sekolah Mendea, atau Kelas Mendea, begitu dulu kami menyebutnya, merupakan ruang belajar alternatif untuk mendiskusikan berbagai pengetahuan tentang pertanian. Kata mendea sendiri diambil dari bahasa lokal di Kabupaten Lombok Utara, yang berarti ‘barter’ atau menukar hasil bumi dengan barang yang lain.
Pascalokakarya Mendea 2018, saya dan beberapa kawan-kawan di Dusun Midang (di bawah payung Sanggar Midang) kemudian aktif berdiskusi tentang pertanian. Sampai pada aksi nyata, kami mengaktivasi kegiatan yang merespon lahan pembuangan sampah; kami mengalihfungsikannya menjadi “laboratorium” pertanian. Pun tidak ketinggalan, pada lahan secuil di pinggir irigasi dari timur sampai barat, kami penuhi area dengan bermacam-macam tanaman. Aktivitas Sanggar Midang itu kemudian sempat vakum beberap tahun. Barulah pada 7 Maret 2024, saya dan Afifah berinisiatif untuk mengaktifkannya kembali, dan memulainya dari dak rumah.
***
Sore, 7 Maret 2024: saya memulai kegiatan menyemai benih. Sebagian benih itu saya dapatkan dari dapur, seperti cabai dan tomat, sementara sebagian lainnya dengan memakai benih pabrikan.
“Kunci dari keberhasilan menanam itu terletak pada media tanam dan kualitas benih yang disemai,” itulah kalimat yang sering diucapkan Afifah disela-sela kami duduk ber-sile, makan di teras depan rumah.
Saya pun melakukan proses penyemaian itu secara berkala. Hari pertama, saya menyemai benih terong panjang hijau, terong bulat, dan tomat menggunakan trai semai. Kurang-lebih, ada 30 (tiga puluh) benih terong dan 15 (lima belas) benih tomat. Kemudian, hari kedua, saya menyemai timun, prie, kangkung, jagung, dan pakcoy. Sementara itu, daun mint dan buah tin adalah hasil stekan; sedangkan alpukat dan jeruk purut merupakan tanaman yang tersisa dari kegiatan menanam dua tahun yang lalu.
Proses penyemaian itu terbilang sederhana. Jika menggunakan trai semai, prosesnya sedikit lebih ribet dan menuntut ketelitian karena benih harus dimasukkan satu per satu ke lobang trai. Hasilnya tentu jauh lebih rapi dibanding dengan menabur benih dengan asal-asalan. Setelah trai semai atau wadah semai lainnya terisi, saya kemudian memindahkannya ke tempat yang lebih teduh yang tidak sepenuhnya terkena sinar matahari. Kalau di rumah pembibitan, biasanya petani akan membuat rumah semai dengan memakai atap dari paranet sebagai peredam panas.
Pascakegiatan menyemai benih, saya mengajak Kafa untuk menyiram benih dan mengontrolnya setiap pagi dan sore. Setelah menyiram, saya dan Kafa kemudian mengisi tanah ke polybag sebagai persiapan untuk wadah pindah tanam. Saya menumpah dan menumpuk tanah, pupuk kendang, dan sekam dari karung, kemudian mengaduknya dengan rata. Sementara Kafa, yang sedang sibuk menyiapkan polybag, mengambil sekop kecil dan gembor hijau berkapasitas 2 liter. Setelah media tanam tercampur semua, kami lantas memasukan media tanam itu ke polybag. Untuk tanaman cabai, terong, dan tomat, biasanya saya memakai polybag yang berukuran 30 cm. Untuk pakcoy dan kangkung, saya memakai polybag yang lebih kecil, 20 cm. Polybag yang sudah terisi kemudian diatur oleh Kafa; ia menyusunnya ke dalam baris-baris saf memanjang.
Selain untuk menyiapkan kebutuhan pangan keluarga, dak rumah kami itu kemudian juga menjadi ruang belajar Kafa untuk mengenal pertanian dan proses ketersediaan sayuran. Tidak hanya itu, dari bertani, Kafa berlatih mendisiplinkan diri, membangun kesadaran dan tanggung jawab, yaitu dengan mengingatkan waktu menyiram dan mengontrol tanaman. Ia juga berlatih untuk lebih bersabar; menikmati proses memelihara sesuatu. Secara tidak langsung, Kafa mengobservasi perubahan bentuk dari biji ke bibit, lalu bibit tumbuh besar setiap hari.

Pada satu momen—sayangnya saya lupa hari dan tanggalnya, tapi yang jelas, itu sore hari—Kafa bertanya, “Kenapa tanaman itu harus disiram setiap hari?” Mendengar pertanyaan itu, saya agak kaget (tapi bercampur kagum) karena kesulitan menjelaskannya dengan bahasa yang bisa dia mengerti dan pahami. Saya kemudian mengumpamakan tanaman itu seperti dirinya, yang butuh minum dan mandi dengan air. Menyiram tanaman artinya memberikan tanaman itu minum dan/atau memandikannya. Waktu itu, saya lihat, dia hanya menganggukkan kepalanya.
***
Setelah tujuh hari pascasemai, sebagian benih-benih itu tumbuh. Ada yang lebih dari tujuh hari, ada juga yang habis dimakan semut.
Kata Afifah, benih yang lambat tumbuh disebabkan oleh dua faktor. Pertama karena lubang tanam terlalu dalam. Kedua, karena kualitas media tanam dan benih tidak terlalu bagus.
Benih yang sudah tumbuh kemudian saya pindahkan ke tempat yang terkena sinar matahari langsung. Tanaman yang lebih cepat terkena matahari, biasanya, mempunyai akar yang lebih kokoh dan kuat. Untuk pindah tanam, biasanya saya lakukan ketika tanaman telah mengeluarkan 3-4 helai daun muda. Semakin cepat pindah tanam, maka tanaman akan lebih cepat beradaptasi pada tempat barunya.
Pakcoy dan kangkung sudah bisa dipanen 4 minggu pascasemai. Saya biasa memanen pakcoy dan kangkung tidak dengan cara mencabutnya, tapi dengan memotek ujungnya. Jadi, dua jenis tanaman itu bisa panen berkali-kali dan sesuai dengan kebutuhan. Afifah kerap mengolah kangkung darat dan pakcoy menjadi tumisan. Pakcoy pun, kadang, juga diolah menjadi jus.

Ada pun terong, cabai, dan tomat umumnya membutuhkan waktu yang lebih lama sebelum panen. Terong perlu waktu 2 hingga 2,5 bulan menuju panen. Dari 15 pot terong yang ada di rumah kami, hampir semuanya selalu berbuah. Sudah tidak terhitung buah yang dihasilkan dari pot-pot itu. Afifah gemar mengolah terong panjang menjadi beberok, terong oseng sambel manis, dan jangkelak. Kalau terong bulat, biasanya diolah menjadi jangkelak dan kadang kala saya juga membuat sambel terasi campur terong mentah. Terong repok, orang Sasaq biasa menyebutnya. Sekali menanam, bisa panen berkali-kali.
Sementara itu, cabai membutuhkan waktu 3 hingga 3,5 bulan untuk bisa dipanen. Jenis cabai yang saya tanam adalah cabai rawit khas Lombok. Tidak bisa dipungkiri, menanam cabai sedikit lebih repot dibanding menanam terong. Jika tanaman terong lebih kebal terhadap cuaca, cabai kebalikannya. Cabai juga sangat rentan terserang hama dan penyakit. Oleh karena itu, harga cabai di pasaran kadang naik sampai dengan 60 ribu/kg. Selain menjadi kebutuhan primer, proses menanam cabai juga membutuhkan pengawasan yang ekstra ketat.
Kalau tomat? Kami cuma butuh waktu 2 bulan sampai panen.
***
Selain bertani, saya menjadikan dak rumah itu ruang belajar untuk mengolah sampah organik yang dihasilkan dari dapur menjadi pupuk kompos. Inisiatif itu muncul dari keresahan kami berdua—suami-istri—melihat sampah dapur yang setiap hari diproduksi, ditumpuk, dan kadang-kadang terpaksa kami buang ke irigasi. Merasa bersalah dengan kebiasaan itu, saya memutuskan untuk memanfaatkan tong biru besar sebagai wadah daur ulang sampah organik. Caranya cukup sederhana. Sebelum memasukan sampah organik ke tong biru itu, saya isi dulu tong itu dengan tanah subur sebagai lapisan awal untuk permentasi. Barulah kemudian saya mengisi tong itu dengan sampah sampai penuh. Jika sudah penuh, sampah itu saya tiban-tutupi lagi dengan tanah subur. Isi tong lantas disiram cairan E4 dan air gula sebagai penyedia mikroorganisme. Awalnya, saya kaget melihat kondisi tong yang sudah terisi sampah itu karena banyak sekali ulat yang berukuran cukup besar mengerumuninya. Saya baru mengerti setelah sang istri menjelaskan, bahwa kondisi itu normal karena ulat-ulat itu, bersama bakteri-bakteri yang lain, beperan penting untuk mendaur ulang sampah.
Saya membutuhkan waktu 3 bulan untuk mengisi tong itu dengan sampah dapur. Artinya, selama tiga bulan proses pembuatan pupuk kompos, tidak akan ada sampah organik yang terbuang sembarangan. Lingkungan bisa terjaga lebih sehat. Jika masa panen tiba, pupuk kompos itu bisa kembali saya manfaatkan untuk menyuburkan tanaman.
Itulah manfaat dari kegiatan mengolah pekarangan rumah sendiri menjadi lahan produktif. Kebutuhan pangan keluarga bisa terpenuhi dengan baik dan lebih sehat, lingkungan di sekitar rumah juga menjadi lebih segar dan asri, anak-anak bisa belajar hal lain yang mungkin saja tidak ditemui di kota-kota besar. Yang tak kalah penting, sampah dapur yang dihasilkan setiap hari tidak menjadi beban orang lain karena bisa dimanfaatkan lagi.

Cerita saya tentang berkebun, sepertinya, tidak akan berhenti sampai di sini. Aktivitas berkebun yang saya ceritakan singkat tadi itu pun, dalam waktu dekat, tidak akan lagi hanya berupa aktivitas di dak rumah. Sebab, menjelang akhir Juli 2024, sejumlah usulan dan dorongan muncul dari beberapa kawan yang juga punya ketertarikan dengan isu pertanian: mengolah kebun baru dan membangun laboratorium pertanian yang lebih aksesibel buat semua orang. Imran, seorang kawan yang bergiat di Aksara Tani dan Pasirputih, yang kebetulan sekarang ini tinggal di Sesela, mempunyai lahan nganggur di Rembiga. Ia dan istrinya, Aceq, menawarkan kerja sama untuk mengolah lahan sebagai kebun bersama, mengaktivasi lagi laboratorium pertanian, wacana Aksara Tani, dan kegiatan-kegiatan kreatif ala Mendea.
Rencana pun sudah disusun. Beberapa langkah sudah diambil. Bersama Imran dan Aceq, serta Sibawaihi (seorang kawan lain yang tinggal di Pemenang Barat), Maria dan Zikri (dua kawan yang tinggal di Yogyakarta), dan tentu saja, juga bersama Afifah (istri saya), kami bertekad menjelang akhir tahun ini, kebun sayuran baru dapat terealisasi. Betaletan. Itulah nama yang kami pilih untuk kebun itu.
Setelah ini, saya akan bercerita banyak tentang usaha tani di Betaletan dan aktivitas-aktivitas kami di kebun tersebut. ***