SUATU siang di bulan Agustus 2024, Siba memberi saya sebuah berkas PDF berisi kumpulan tulisan beberapa kawan di Pasirputih. Judul bukunya: Memataq. Buku elektronik itu, katanya, diproduksi tahun 2023 dalam rangka lokakarya yang berbentuk laboratorium terbuka (open lab), mengajak para partisipan usia kuliahan. Rata-rata dari mereka sekarang menjadi anggota aktif di Pasirputih.

Sekarang ini, saya sedang menggarap website Pasirputih. Pekerjaan dadakan dari Siba dan Gozali; tawaran yang justru sangat saya sukai. Menata ulang tampilan sebuah website pasti punya urusan dengan peninjauan kembali arsip di dalam website tersebut, terutama unggahan-unggahan (posts). Menerapkan tema (theme) yang baru pada website berarti mengharuskan pengaturan ulang format teknis setiap unggahan, misalnya menyesuaikan tata letak huruf di dalam unggahan tulisan dengan ketentuan fitur-fitur yang disediakan oleh tema website yang baru itu. Konsekuensinya, saya mau tak mau pasti membaca tulisan-tulisan yang ada di dalam website yang sedang saya perbaiki. Saya menyenangi pekerjaan ini karena merasa seakan berselancar ke masa lalu: melihat perkembangan kegiatan Pasirputih lewat layar komputer di meja kerja saya hari ini.
Bagian arsip yang sedang saya obrak-abrik sejak dua hari yang lalu adalah “arsip Tanah Harapan”. Lokakarya berbentuk open lab yang saya sebut tadi merupakan salah satu agenda Tanah Harapan, sebuah proyek yang dimulai Pasirputih sekitar pertengahan tahun 2023. Di unggahan Instagram @mediapasirputih bertanggal 19 Oktober 2023, disebutkan bahwa proyek Tanah Harapan diadakan untuk menggiatkan kerja organisasi dalam rangka Pekan Kebudayaan Nasional 2023, sebuah acara besar yang direalisasikan atas kerja sama antara Kemendikbudristek dan jaringan Lumbung Indonesia. Dari unggahan itu jugalah saya tahu kalau proyek Tanah Harapan punya nama yang lebih lengkap, yaitu “Tanah Harapan: Mengoma, Meramo, Merame”, sedangkan lokakarya open lab yang diselenggarakan sebagai salah satu bagian acaranya menggunakan sebuah tajuk berbahasa Sasaq: “Ngibukang”.
Kemarin malam, 4 September 2024, saya bertanya ke Siba, Oka, dan Khalid via Whatsapp group chat, apa arti dari istilah-istilah berbahasa Sasaq tersebut: mengoma, meramo, merame, memataq, dan ngibukang…? Siba menjawab:

***
TANAH Harapan adalah sebuah proyek pemanfaatan lahan. Sejak lebih dari satu tahun yang lalu, dari Yogyakarta, saya sudah mendengar kabar bahwa Pasirputih mendapatkan hak kelola atas area lahan yang tidak terlalu luas, tapi cukup mewah jika diukur dari sudut pandang masyarakat kelas prekariat pegiat kebudayaan seperti kami ini. Tanah itu, berkali-kali Gozali berkata kalau bercerita kepada saya, ada di hutan Kerujuk. “Ente harus ke sana, Heib!” serunya. Pasirputih memutuskan untuk mengelola lahan tersebut menjadi “kebun hutan”.
Saat mendapatkan kesempatan untuk melihat area hutan di Dusun Kerujuk, Desa Menggala, bersama Siba saya bertemu dengan Pak Idris (dan juga beberapa orang lainnya) di sebuah pondok di tengah hutan, tempat di mana para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) Mekar Sari biasanya beristirahat dan mengaso. Karena hari itu kami datang sore menjelang maghrib, saya tidak punya cukup waktu untuk melihat area seluas 0,7 ha yang dikelola Pasirputih, yang katanya ada di dalam area hutan itu, tidak jauh dari pondok tempat di mana saya mendengar cerita dari para petani tentang upaya mereka menjaga hutan tersebut dari kontaminasi wacana kepariwisataan.
Dari dulu, memang, banyak area di Lombok Utara selalu dicecar dengan isu “potensi pariwisata”. Bukan hanya pantai, hutan-hutan pun menjadi sasaran. Area-area ini didekati banyak investor dan pengusaha; para pemilik aslinya ditawari uang dalam jumlah yang besar agar mau merelakan “tanah potensial” mereka dibikinkan ini dibikinkan itu, dengan iming-iming “demi membuka lapangan pekerjaan untuk warga”. Oleh para pengembang, pariwisata dihadirkan menjadi semacam solusi tunggal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Solusi yang ngawur, jelas saja.
Tapi ilusi itu disadari oleh para petani hutan, seperti Pak Idris, Andi Yusuf, Agus Transitono, Muzaffar, Mukhlis, Ahyadi, Suhaimi, dan H. Ramli. Walaupun kerap mendapat tuduhan (yang secara licik disebarkan oleh para pengembang) bahwa mereka adalah petani liar yang merusak hutan (karena, katanya, pembukaan lahan hutan untuk perkebunan akan membabat tanaman-tanaman hutan), Pak Idris dan kawan-kawannya tetap istiqomah: bertani itu, menurut mereka, jika dilakukan dengan arif, justru akan merawat hutan.
Kita tahu bahwa, di dalam ilmu pertanian, ada satu disiplin yang disebut agroforestri, atau wanatani. Disiplin ini mempelajari dan mengembangkan pengetahuan tentang “…sistem pengelolaan hutan yang memperhatikan aspek sosial dan ekologis yang dilaksanakan melalui kombinasi pepohonan dengan tanaman pertanian dan peternakan” (S. A. Dzulfa, F. A. A. Sulistyo, & C. K. A. Permatasari, 2022). Sebagaimana yang dikutip oleh Dzulfa, dkk. dari Utami (2003) dan Andriansyah, dkk. (2021), wanatani adalah sebuah pendekatan terencana yang, di samping menyadari produktivitas lahan, lebih menekankan aspek perlindungan berkelanjutan terhadap hutan, yaitu dengan “mempertahankan keanekaragaman hayati, ekosistem sehat, serta konservasi tanah dan udara” (S. A. Dzulfa, F. A. A. Sulistyo, & C. K. A. Permatasari, 2022). Dengan kata lain, wanatani pada dasarnya adalah sebuah cara berladang yang menerapkan teknik tumpangsari dan asas-asas pertanian subsisten.
Jika ada yang bilang bahwa petani hutan adalah pelaku perusakan lingkungan hutan, tentunya itu hanyalah fitnah para pengembang yang ingin menghadirkan kambing hitam. Nyatanya, jika kita mengingat kasus-kasus yang sudah dan sedang terjadi, kita tahu bahwa yang sering kali merusak hutan adalah justru para pengembang karena merekalah yang mengganti popohonan dengan bebetonan. Atau, orang-orang yang katanya mau membuka “situs wisata”, yang senang mengundang turis-turis “bertamasya” ke hutan. Tak jarang, kita saksikan pula bagaimana kegiatan-kegiatan “mempariwisatakan” hutan semacam itu malah mendatangkan masalah baru: sampah kota berpindah ke hutan.
KTH Mekar Sari, sebagaimana yang saya lihat sendiri kala itu, atau yang saya dengar ceritanya dari teman-teman Pasirputih, melakukan kegiatan-kegiatan pertanian yang menerapkan prinsip-prinsip wanatani. Mereka juga melakukan hal-hal di luar kegiatan berladang yang bisa memperkuat sistem perlindungan hutan di Kerujuk. Contoh konkretnya, bulan Juli 2024, mereka membuat awig-awig hutan Kerujuk. Sederhananya, awig-awig itu adalah “ketentuan yang mengatur tata krama pergaulan hidup dalam masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan yang ajeg di masyarakat” (I. W. Surpha, 2002, sebagaimana dikutip dalam Risey junia, 2023). Dengan adanya awig-awig itu, KTH Mekar Sari berharap supaya orang-orang yang datang ke hutan Kerujuk tidak bertindak semena-mena terhadap lingkungan dan alam.
Pembuatan awig-awig tersebut direalisasikan dalam kolaborasi antara KTH Mekar Sari dan Komunitas Gubuak Kopi. Dalam rangka Bangsal Menggawe 2024: “Montase Air”, Komunitas Gubuak Kopi yang berasal dari Solok, Sumatera Barat, datang ke Lombok Utara dan menetap dari bulan Juni hingga Juli, untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang ilmu-ilmu pertanian. Di kampung mereka sendiri, Gubuak Kopi mempunyai program kegiatan, bernama Daur Subur, yang juga fokus mengkaji arsip-arsip lokal yang berhubungan dengan pertanian dan pangan.

***
BARANG kali karena saya tengah menata ulang website Pasirputih, yang konsekuensinya juga menata ulang arsip portfolio organisasi ini, saya jadi memikirkan istilah-istilah Sasaq yang digunakan dalam proyek Tanah Harapan: mengoma, meramo, dan merame. Akhirnya, setelah berdiskusi dengan Siba, Oka, dan Khalid kemarin malam, tiga kata tersebut, yang awalnya hanyalah tagline proyek, akan digunakan sebagai nama bagi tiga jenis platform yang akan dioperasikan Pasirputih dalam kerangka proyek Tanah Harapan di waktu-waktu mendatang. Tapi ketiga kata itu, mengoma, meramo, dan merame, bukan sekadar nama saja. Ketiganya juga merupakan suatu konseptualisasi atau pembingkaian (framing) atas praksis Pasirputih dalam mengelola lahan 0,7 ha di hutan Kerujuk dan dalam menanggapi isu-isu terkait agraria, pembangunan, dan adat-istiadat di Lombok Utara secara umum.


Kalau kita jabarkan, beginilah kira-kira konseptualisasi kegiatan dalam proyek Tanah Harapan:
Berada di bawah payung program Aksara Tani, proyek Tanah Harapan mengombinasikan metode riset pertanian, riset kemasyarakatan, strategi-strategi vernakular, literasi media, dan kesenian untuk secara kolektif mengelola sepetak lahan di hutan Kerujuk sebagai kebun, pada satu sisi, dan ruang eksperimen kreatif, pada sisi yang lain. Pengelolaan itu akan dikerjakan melalui tiga platform.
Yang pertama, platform Mengoma, yaitu kegiatan berladang di kebun. Anggota Pasirputih dan KTH Mekar Sari menanam dan merawat komoditas pertanian yang diyakini dapat mendukung pelestarian tanaman hutan, dengan menggunakan teknik tumpang sari. Dari kegiatan berladang sehari-hari ini, Pasirputih akan memproduksi tulisan-tulisan yang bercerita tentang apa-apa saja yang terjadi pada atau berhubungan dengan kegiatan berladang tersebut. Ceritanya bisa tentang alam, bisa tentang subjek-subjek, ataupun tentang peristiwa massa lainnya yang dirasa menarik dan merepresentasikan dinamika dari proses proyek.
Rencananya, tulisan-tulisan itu akan dikumpulkan ke dalam sebuah “rubrik” khusus, bernama Jurnal Mengoma. Tulisan yang Anda baca sekarang ini adalah inisiatif saya untuk memulai kegiatan produksi tulisan bagi Jurnal Mengoma. Tulisan-tulisan yang terkumpul di dalam buku berjudul Memataq (yang saya sebut di awal tulisan ini) adalah contoh lainnya dari gaya tulisan-tulisan yang akan dimuat di rubrik Jurnal Mengoma itu nanti. Namun, bukan berarti Pasirputih akan membuat portal baru untuk Jurnal Mengoma. Pemuatan tulisan-tulisan Jurnal Mengoma sangat bersifat fleksibel: bisa di situs web Berajahaksara (portal jurnalisme warga yang dikelola Pasirputih), bisa di situs web Sayurankita (organisasi rekanan Pasirputih), atau bisa juga di situs web official Pasirputih ini. Yang jelas, kata “Jurnal Mengoma” berfungsi sebagai “pengenal” bahwa tulisan-tulisan yang dimaksud adalah produk media dalam kerangka kerja proyek Tanah Harapan.
Platform kedua, platform Meramo. Secara harfiah berarti ‘meramu’, istilah yang digunakan platform ini merepresentasikan kegiatan-kegiatan di dalamnya, antara lain:
- Laboratorium Hidup Wanatani (atau agroforestry living laboratory) yang akan dikoordinir oleh Afifah Farida (pegiat Sayurankita, yang juga anggota Pasirputih). Selain melakukan penelitian ilmiah terhadap tanah dan tumbuhan-tumbuhan di hutan Kerujuk, platform ini juga akan memproduksi berbagai karya atau produk media berdasarkan penelitian-penelitian tersebut. Beberapa di antaranya yang mungkin adalah:
- Herbarium Kerujuk, yaitu koleksi spesimen tumbuhan-tumbuhan di Kerujuk yang diawetkan, yang dilengkapi dengan data-data terkait yang bisa digunakan untuk keperluan penelitian ilmiah.
- Katalog Tanaman, yaitu daftar informasi tentang jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan di kebun Tanah Harapan. Berbeda dengan herbarium yang koleksinya berkaitan erat dengan konteks lokasi di mana suatu tanaman yang dikoleksi itu tumbuh (dan ditemukan), katalog yang dimaksud di sini bersifat lebih lentur karena terbuka kemungkinannya untuk memuat informasi-informasi lain, seperti bagaimana jenis tanaman yang sama (yang ada di kebun Tanah Harapan) dinamai, dimanfaatkan, dan dibudidayakan di lokasi yang berbeda di belahan lain dunia. Katalog Tanaman juga akan memuat informasi tentang kandungan nutrisi suatu tanaman yang didata, serta penjelasan tentang aspek-aspek sosiokultural yang melekat pada tanaman tersebut.
- Esai-esai Ilmiah, Semi-Ilmiah, dan Non-Ilmiah, yaitu tulisan-tulisan mendalam yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lab Wanatani, yang bisa juga terkait dengan isu-isu ekonomi-politik dan kebijakan lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan tulisan-tulisan di Jurnal Mengoma yang lebih berupa rekaman aktivitas proyek, esai-esai dalam kategori ini agak lebih analitis (kalau bukan ilmiah) dan/atau ilmiah (empirik, mencakup paparan metodologis, dan menggunakan rujukan teoretis, dll.).
- Karya Seni Berbasis Riset [Pertanian]. Berhubung Pasirputih adalah organisasi yang juga produktif di ranah kesenian, upaya-upaya penciptaan karya seni selalu nongol di segala jenis proyek dan program mereka. Pelaksanaan proyek Tanah Harapan membuka kemungkinan itu pula. Saya masih ingat bagaimana Siba dengan bersemangat bercerita kepada saya soal mimpinya untuk mengurasi beberapa “teknologi pertanian” buah tangan Pak Idris yang ada di hutan Kerujuk. Salah satunya, teknologi sederhana yang memanfaatkan gerak batang dari pohon bambu yang tertiup angin (pohon bambu itu dirakiti tali kawat, kaleng, dan jas hujan), yang berguna untuk mengusir hama (monyet peganggu kebun). “Ente bayangin itu dibingkai jadi karya seni instalasi, Heib! Pak Idris benar-benar seniman,” kata Siba.
- Buku. Ya, apa lagi kalau bukan buku sebagai output utama sebuah proyek kemasyarakatan. Inilah produk terpenting dan final dalam agenda-agenda yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Segala jenis tulisan yang dihasilkan dalam proyek Tanah Harapan, entah itu tulisan dari Jurnal Mengoma ataupun tulisan dari kategori esai-esai ilmiah, jika dikumpulkan menjadi buku, maka akan menjadi output dari platform Meramo. Buku Memataq, dengan kata lain, adalah output dari platform Mengoma dan platform Meramo sekaligus.

- Lokakarya, yaitu kegiatan dalam rentang waktu tertentu, berupa kelompok belajar bersama, yang melibatkan orang-orang dari berbagai latar belakang, baik sebagai partisipan maupun fasilitator. Lokakarya Open Lab Ngibukang, sebagaimana yang tertera di poster Tanah Harapan tahun 2023, adalah salah satu contohnya. Tajuk “Ngibukang” yang dipakai dalam lokakarya itu, agaknya, mewakili gagasan tentang inisiasi awal; lokakarya ini sengaja diadakan untuk membangun basis kerja proyek Tanah Harapan ke depannya. Pada satu sisi, lokakarya semacam itu memang dilakukan untuk mengaktivasi fitur-fitur di platform lain. Misalnya, demi konten atau materi ajar di lokakarya, pengurus platform Meramo (seperti Afifah) akan memanfaatkan arsip Lab Wanatani sebagai rujukan-rujukan aktual untuk memperkaya pemahaman partisipan lokakarya. Atau, dalam kegiatan observasi di lapangan, partisipan lokakarya juga bisa ditugasi PR untuk membuat catatan lapangan, yang nantinya bisa diolah menjadi tulisan-tulisan di Jurnal Mengoma. Namun, pada sisi yang lain, lokakarya itu sangat penting untuk diadakan demi upaya produksi-distribusi pengetahuan secara langsung. Maksudnya begini: lokakarya berperan untuk memproduksi pengetahuan (karena lokakarya selalu akan membuat produk, seperti tulisan atau karya seni), tetapi pelaksanaan lokakarya itu sendiri pun sebenarnya juga untuk menularkan ilmu-ilmu yang sudah dan sedang didalami oleh proyek Tanah Harapan kepada orang-orang baru (atau orang-orang di luar kepengurusan proyek Tanah Harapan), baik yang terlibat sebagai partisipan maupun sebagai pengajar tamu di dalam lokakarya yang sedang berlangsung. Ini adalah penularan secara langsung: lewat pengalaman praktik yang nyata dan berbasis masalah riil.

- Forum, yaitu kegiatan diskusi reguler, bisa bulanan atau mungkin mingguan, yang diadakan di hutan Kerujuk atau di lokasi lain, dengan tema seputar agroforestri. Pelaksanaan forum diskusi oleh platform Meramo, tentunya, sangat bisa berkolaborasi dengan Program Kelas Wah, yaitu salah satu program utama Pasirputih yang khusus mengadakan kegiatan-kegiatan diskusi.
Platform ketiga, platform yang terakhir, ialah platform Merame. Seperti kata Siba, merame berarti ‘bikin keributan’ secara harfiah. Tapi, istilah ini juga menggemakan hal yang bisa kita sebut “perayaan” atau “meramaikan”. Dalam skema konseptualisasi dan pembingkaian aktivitas di dalam proyek Tanah Harapan, Merame adalah platform khusus bagi pengadaan acara-acara perayaan yang merupakan bentuk presentasi publik dari hasil kerja teman-teman di Tanah Harapan. Platform Merame-lah yang nantinya akan mengadakan acara-acara semacam pameran, penayangan film (jika misalnya nanti proyek Tanah Harapan memproduksi film — amin!!!), acara pertunjukan (musik, tari, teater, dll.), atau bahkan festival. (Tidak masalah, toh, kalau Pasirputih membuat festival baru lagi, selain festival Bangsal Menggawe dan Be-Young Art Camp…?).


Saya pribadi meniatkan tulisan ringan ini sebagai pemantik dan pengajak agar teman-teman di Pasirputih dan orang-orang lainnya mau menulis lebih banyak tentang Kerujuk, tentang aktivisme petani hutan, dan tentang proyek Tanah Harapan. Di mulai dari semester akhir tahun 2024 ini, menggaungkan aktivitas proyek Tanah Harapan secara lebih serius dan konsisten adalah hal yang sungguh-sungguh perlu kita wujudkan. Sebab, Tanah Harapan adalah proyek yang meletakkan konsentrasinya pada seputaran isu agraria, isu yang paling meresahkan di Indonesia. Tanah Harapan ada sebagai cara Pasirputih untuk terlibat secara sosial, politik ekonomi, dan budaya di dalam isu tersebut. Memproduksi tulisan dari, tentang, dan untuk proyek Tanah Harapan adalah langkah awal pengaktifannya. Saya percaya — dari dulu — bahwa menulis adalah cara terarif untuk merefleksikan ulang berbagai hal, kalau bukan menata perilaku kita, terkait masalah-masalah masyarakat yang sarat dengan kesenjangan, ketidakadilan, dan… keedanan. ***
Referensi:
- Dzulfa, S. A., Sulistyo, F. A. A., & Permatasari, C. K. A. (2022). Agroforestri. Diakses dari situs web HIMABA FKT UGM: https://himaba.fkt.ugm.ac.id/2022/10/12/biodiversitas-4/, tanggal 5 September 2024.
- Risey junia, I. L. (2023). Mengenal Hukum Adat Awig-Awig di Dalam Desa Adat Bali. Jurnal Hukum Dan HAM Wara Sains, 2(09), 828~844. https://doi.org/10.58812/jhhws.v2i09.636