Perang Aljazair dan Bela Negara

Pada Pekan Sinema #4 Komunitas pasirputih, kami memutar sebuah film karya Gillo Pontecorvo, La Battaglia Di Algeri (Perang Aljazair). Film ini merupakan film yang membut nama Pontecorvo melejit. Kecendrungan Pontecorvo membuat film-film peperangan, penindasan, revolusi, dilatarbelakngi oleh dirinya yang juga adalah seorang tentara.

Pada tahun 1941, Pontecorvo bergabung dengan Partai Komunis Italia dan keluar dari partai tersebut, manakala Soviet mengintervensi Hongaria pada tahun 1959. Pontecorvo, pada Perang Dunia II, menjadi pimpinan perlawanan di Milan. Dan setelah berakhirnya Perang Duia II, barulah ia memutuskan untuk menjadi wartawan, dan mulai membuat film. Maka tidak heran kiranya, jika melihat latarbelakang Pontecorvo, ia mampu membuat sebuah film perjuangan rakyat Aljazair dengan sangat luar biasa. Nampak sekali kecerdasan Pontecorvo dalam merancang strategi pengrebekan, strategi penyerangan dan berbagai jenis strategi perang lainnya. Begitu detail. Saking detailnya, para petinggi Pentagon, Amerika, mempelajari film ini dengan seksama sebelum melakukan invansi ke Irak dan juga ikon musuh baru pasca berakhirnya perang dingin, terorisme.

01

02

Dhoom menyampaikan pengantar kuratorial.
Dhoom menyampaikan pengantar kuratorial.

Dalam buku kurasi DVD untuk semua, dijelaskan bahwa film  ini merupakan film politik yang sangat berpangaruh dalam sejarah. Pontecorvo mengangkat sebuah rentan waktu yang penting, tatkala Aljazair memperjuangkan kemerdekaan dari Prancis. Saat itu, kekerasan menjadi sangat lumrah. Anak-anak menembak tentara dalam jarak dekat. Wanita-wanita membawa bom bunuh diri. Tentara Prancis yang terus menyiksa tawanan-tawanan perang guna untuk mendapatkan informasi tentang pergerakan Front de Liberation Nationale (FLN) yang semakin hari semakin besar dan terus masuk ke tengah ibukota Aures dari sebuah desa yang bernama Kabylia.

Tentara Prancis yang terlihat kewalahan dan menuai banyak kerugian secara materi, kemudian memilih untuk meledakkan Desa Kabylia, yang akhirnya membunuh banyak masyarakat yang tidak berdosa. Yang kemudian dibalas juga dengan hal yang sama oleh FLN dengan meledakkan tiga tempat sekaligus di wilayah tempat tinggal orang-orang Eropa.

04 05

Dalam diskusi setelah pemutaran film, Sibawaihi mencoba melihat bagaimana strategi Kolonial untuk melemahkan atau lebih tepatnya mengontrol rakyat yang mereka jajah. Dipisahkannya antara kaum Eropa dan Kaum Timur (Arab). Untuk menegaskan bagaimana posisi antara orang timur dan orang barat. Orang Barat, hidup di wilayah yang tertatata baik, rapi dan seperti bermartabat. Sementara Orang timur hidup dalam wilayah yang tidak teratur dan kumuh.

Dalam film ini juga dijelaskan bagaimana rakyat dibuat tidak berdaya dengan strategi menyebarkan obat-obat terlarang (candu). Secara psikologi, obat-obatan ini digunakan untuk melemahkan dan memperdaya masyarakat. Selain itu, marak pelacuran-pelacuran sebagai bentuk kesulitan ekonomi masyarakat, yang biasanya dimonopoli oleh kaum penjajah. Tidak sedikit, dalam film ini, kita melihat bagaimana rakyat Aljazair yang kelaparan, melarat, tidur di jalan, mengemis dan lain sebagainya. Sementara mereka, orang orang Eropa, hidup dalam kemewahan.

Maka tidak heran, jika masyarakat Aljazair memberontak dan ingin terbebas dari tirani tersebut. Tradisi Kolonial yang selalu memakasakan budaya dan tradisi mereka kepada masyarakat, sangat tercermin dalam film  ini. Kolonial tidak mau bernegosiasi terhadap tradisi dan budaya lokal.

06

07

Film yang diambil terinspirasi oleh dari pengalaman Yacef Saadi, seorang komandan militer FLN ini, begitu jelas menggambarkan kepada kita tentang bagaimana seharusnya membela Negara. Dalam diskusi ini kemudian dikaitkan dengan isu Bela Negara yang belakangan banyak sekali muncul di Indonesia. Bagaimana selayaknya Bela Negara itu? Pertanyaan itu dilontarkan kepada para hadirin yang hadir saat diskusi.

Seorang peserta diskusi, melayangkan sebuah argument yang cukup cadas. “Layakkah kita membela negara, manakala negara sendiri tidak membela rakyat-rakyatnya? Butuh berapa banyak korban lagi dan butuh berapa juta kesengsaraan hingga akhirnya Negara turun tangan meihat penderitaan rakyatnya?…” Statement itu cukup jelas menggambarkan posisi Bela Negara. Siapa yang tidak akan berjuang untuk negaranya? Tidak ada satupun rakyat Indonesia yang rela melihat negaranya hancur. Siapapun mau melakukan itu, namun tidak untuk kepentingan segelintir orang yang ada di pemerintahan. Rakyat Aljazair, menumpahkan darah mereka untuk membayar kemerdekaan dan harga diri mereka sebagai sebuah bangsa. Para wanita akhrinya turun ke jalan meneriakkan nasionalisme dan harkat diri mereka, meski moncong senapan laras panjang yang siap memuntahkan peluru ada dihadapan mereka. Mereka berjuang untuk kepentingan banyak orang, anak-cucu mereka, bukan untuk kepentingan pribadi atau keuntungan rezim, atau bahkan bukan untuk keuntungan FLN yang kala itu menjadi motor penggerak perlawanan. Menurut Hadi, salah seorang peserta diskusi malam itu, isu bela negara, yang saat ini dimunculkan oleh pemerintah semacam akan menjadi tameng. Menandakan pemerintah yang tidak mau di kritisi.

Muncul pertanyaan menarik, dalam diskusi kami. Siapa sebenarnya musuh Negara ini, sehingga kita harus membela?

Onyong, yang sekarang sedang berproses membuat video tentang maraknya pembangunan Alfamart di Lombok Barat, menjelaskan tentang bagaimana dampak dari hadirnya monster-monster kapitalis di kampong-kampung dan di dusun-dusun. Onyong merasa penting mengajak masyarakat menyadari dan menolak hal tersebut. Sebab, ia menilai semakin marak berdirinya monster-monster itu, akan mengalahkan dan memonopoli perdagangan orang-orang yang menjalankan usaha kecil.

Dhoom kemudian memberikan argument tentang pernyataan Onyong. “Bahwa untuk melawan kapitalis, tidak mudah dan kita masih sangat lemah. Umpamanya, ketika kita stop dunia ini berputar, dan kita bagikan uang sama rata kepada semua manusia. Beberapa saat kemudian kita play lagi, maka pasti akan ada lagi mereka yang kaya dan mereka yang miskin. Sebab, tidak semua orang memiliki kepandaian untuk megelola keuangan atau bisnis. Yang terpenting saya rasa bukan masalah kapitalis atau tidak kapitalis. Sebab, jika kita mencoba membuka usaha dan kita mampu menjadi besar, secara otomatis kita pun akan menjadi seperti kapitalis. Yang terpenting adalah memandang permasalahan secara lebih manusia. Kita misalnya, mempekerjakan orang, maka kita bayar sesuai pekerjaan mereka, jangan mengeksploitasi. Toh juga saat ini, perjuangan-perjuangan kaum buruh, tidak lagi tentang perjuangan kelas. Demo- demo yang mereka lakukan menyoal masalah gaji. Bukan masalah harga diri. Belum lai jika dilihat dari segi agama, Islam saja, secara jelas mengatakan bahwa Muslim yang kuat itu lebih baik dari Muslim yang lemah. Kuat dalam arti segalanya, termasuk kuat dalam segi ekonomi…”

08

Kami tutup diskusi kami malam itu, dan juga tulisan ini dengan sebuah statement dalam adegan film Perang Aljazair, manakala Ali berbicara dengan M’Hidi.

“Ketahuilah Ali! Sangat sulit untuk memulai revolusi. Lebih sulit lagi mempertahankan itu, dan yang paling sulit adalah memenangkannya. Tapi hanya setelah itu, saat kita menang, barulah kesukaran-kesukaran yang nyata dimulai. Intinya masih banyak yang harus dilakukan. Kamu tidak lelah, Ali?”

“tidak!”

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.