21 Agustus 2015, aku resmi menempati kamar kosku yang berada di Seganteng, Cakranegara, salah satu daerah di kota Mataram, NTB. Aku memilih menjadi anak kos karena rumah ku yang jauh dari kampus tempatku melanjutkan pendidikan. Orangtuaku berfikir dari pada pulang pergi dari rumah yang berjarak sekitas 30 km dari kampus lebih baik mencari kos yang lebih mempermudahkan ku, salah satu alasannya adalah hemat biaya dan tenaga. Ngekos menjadi salah satu alternatif siswa, mahasiswa atau pun pegawai yang sekolah atau tempat kerjanya jauh dari tempat tinggal mereka.
Sebelum memilih kos biasanya mereka memiliki kriteria tertentu, seperti mempertimbangkan masalah harga, ada juga yang mempertimbangkan masalah keamanan dan kebersihan, apakah kos tersebut dekat dengan tempat kerja atau sekolah mereka, bahkan ada pula yang mempertimbangkan kebebasan mereka untuk melakukan aktifitas tanpa ada peraturan dari pemilik kos.

Sama seperti orang tuaku yang sebelum memilih kos, mereka bertanya kepada orang yang lebih tau tentang daerah dimana kosku berada, apakah disana banyak penjahat, apakah daerahnya rawan pencurian dan tentu juga pertimbangan masalah harga. Mamak dan bapakku tidak mengizinkanku membawa kendaraan. Aku tidak tau alasan mereka tidak mengizinkan ku, aku pun bertanya kepada mereka “ngak se dek cang kanggo njauk honda? (Kenapa aku gak boleh bawa motor?)”. Mamakku pun menjelaskan alasannya dengan nada yang lembut dan agak sedikit tegas , “ Dek pe dengah okat loek tau sik palingin honda kon kos neh? tebin anak nak Paridah no ya bak kos, baroknya tama semendak bait barang bak kamarnya selun-selun dek arak ito hondanya, ono se takutang ta neh. Dit misal pe njauk honda ati mbe sik adin epe lalo sekolah? (Kamu belum denger banyak pencurian motor di kos? Kemarin anak Bu Paridah pergi ke kos, padahal cuma sebentar, dia masuk ke kamar untuk mengambil baranya tiba-tiba motornya sudah gak ada, itu yang kita takutkan. Dan kalo kamu bawa motor, adikmu ke sekolah pakai apa?) . “O geh wah” (O ya sudah)”, jawab ku dengan nada yang pasrah. Dengan alasan tersebut orang tua ku mencarikan kos yang aman dari kejadian yang mereka takutkan dan tentunya dekat dengan kamps ku.
Orang-orang di kos ku cukup ramah, begitu pun ibu kosnya. Jadi aku merasa lingkungan di kos cukup nyaman sebagi sebuah lingkungan baru untukku. Sebelum masuk kamar, aku membaca selebaran yang di tempel di pintu kamar ku. Ternyata selebaran tersebut juga ada di semua pintu kamar-kamar kos yang lain. Selebaran tersebut adalah tata tertib kos. Selayaknya tata tertib, selebaran tersebut mengatur kami untuk disiplin baik dari jam kunjungan tamu, tamu yang menginap, jam keluar dan tentang kebersihan kos.
Ketika masuk kuliah , aku banyak menjumpai teman-teman baruku yang datangnya dari luar pulau lombok seperti Sumbawa, Bima dan Flores. Mereka ada yang tinggal dengan keluargnya di Lombok dan ada juga yang sama sepertiku, yaitu menjadi anak kos.
Suatu hari aku pergi ke kos teman ku untuk mengerjakan tugas kelompok. Ketika aku sampai di sana, aku mendapati pemandangan yang berbeda dari kos ku. Tempatnya bersih, hanya ada 3 kamar kos yang berada di samping rumah pemilik kos. Kos-kosan tersebut terlihat agak kumuh dan temboknya sudah retak.
“Tur, berapa kamu bayar kos disini?”, tanyaku kepada Fatur.
“5.5 juta pertahun, Tik.”
“O, sama seperti kosku dong. Tapi kosku agak lebih bagus dan kamar mandinya di dalam. Kalau disini kamar mandi di dalam juga, ya?”.
“Gak, kamar mandinya di situ (Fatur menunju kamar mandi yang berada di pojok bangunan kamar kos tersebut).”

Aku pun heran kenapa Fatur memilih nge kos di sana. Selain bangunannya yang agak kumuh, kamar mandi berada di luar, harganya yang cukup mahal , jarak dari kos ke kampus juga cukup jauh, sekitar 1 kilometer. Hal ini sangat berbeda dengan tempat kos ku yang hanya berjarak 300 meter.
“Kok kamu mau ngekos disini? Siapa yang nyariin kamu kos?” tanya ku kepada Fatur. Dengan wajah cengengesan Fatur menjawab seolah ia tidak mementingkan hal tersebut. “Aku dicariin sama kakak teman ku. Waktu dia nyari kos sebagian besar sudah full kos-kosan didekat kampus, jadi mau gimana lagi?”
“Oh, kosku juga kayak gitu. Tiga bulan sebelum masuk kuliah sudah habis di booking semua. Bayangin aja! Untung bapakku sudah dari jauh hari mencarikanku tempat ngekos.”
Dalam mendapatkan kos-kosan yang sesuai dengan keinginan kita, sistem yang berlaku adalah sistem siapa cepat dia dapat. Jadi alangkah beruntungnya yang lebih gesit mencari kos-kosan.
Lain halnya dengan teman ku Nevi yang kosnya berada di daerah Udayana, Mataram. Dia ngekos berdua dengan kakaknya yang lulusan IKIP Mataram, ketika aku bertanya kenapa dia memilih kos yang lumanyan jauh dari kampus, dia memiliki beberapa pertimbangan.
“ Kalo kos deket kampus ka, banyak yang gak cocok dengan harganya.”
“Iya sih, lebih bagus kos mu dari pada kos ku.” , aku meng iya kan Nevi karena memang kondisi kos Nevi lebih bagus dari pada kos ku. Di kos Nevi sudah disediakan tempat tidur, lemari dan bak mandi, sedangkan kos ku tidak ada fasilitas apa pun yang tersedia.
“ Berapa bayar setahun di kos mu, Nev?”
“Cuma 3 juta, ya tapi itu dah masalah jaraknya yang agak jauh dari kampus makanya mungkin agak murah, untung ada motor Tik.”
“ Serius 3 juta? Murah banget, lengkap lagi.” , harga kos Nevi terbilang murah, karena mungkin jaraknya yang jauh dari kampus sekitar 10 km, tetapi kosnya lebih bagus dari kos ku. Kos ku hanya berjarak sekitar 100 m dari kampus dan memang harganya tidak sesuai dengan kamar yang ku dapatkan dibandingkan kos Nevi.

Jarak dari kos ke kampus atau tempat kerja juga menjadi salah satu indikator penentuan harga, karena jarak dari kampus atau tempat kerja yang agak jauh, jadi harganya akan lebih murah karena peminatnya sedikit, dan otomatis harganya pun akan jauh berbeda dengan kos yang dekat dengan kampus atau tempat kerja, walaupun kondisi kos yang tidak sesuai harganya.
Menjadi anak kos merupakan salah satu alternatif yang mempermudah para perantau. Walaupun jauh dari kedua orang tua dan keluarga, mereka siap tidak siap harus menjalaninya, agar tercapainya apa yang mereka cita-citakan. Banyak diantara teman-teman saya yang ngekos, merasakan kesan mereka ngekos itu tidak seenak berada dirumah tetapi ada juga yang lebih menyukai menjadi anak kos, dengan alasan bisa lebih bebas dari pada berada di rumah, baik bebas dari pekerjaan rumah, bebas mau pergi kemana pun dan ada pula yang mau bebas dari omel-omelan dan nasihat orang tua mereka.