KelasWah Edisi Menajamkan Mata Pena

KelasWah edisi kedua kali ini, mencoba mendiskusikan tentang bagaimana kedekatan masyarakat dengan aktivitas membaca dan menulis. Kedua hal ini menjadi sangat penting untuk dibahas mengingat keterkaitannya dengan gerakan Komunitas pasirputih, yang juga bergerak pada bidang literasi. KelasWah kali ini mengangkat tema Menajamkan Mata Pena dengan niatan setelah materi ini selesai, akan ada pengimplementasianbaik dan keseriusan membaca dan menulis yang lebih baik. Teruatama yang ditekankan adalah keinginan untuk saling membagi pengetahuan yang sudah didapatkan dari KelasWah ini dengan orang lain. Adapun narasumber yang diajak untuk berdiskusi dalam kesempatan ini adalah Kiki Sulistio dan Datu Danu Winata.

Kiki Sulistyo
Kiki Sulistyo
Datu Danu Winata
Datu Danu Winata

Kiki langsung saja memulai pembicaraannya dengan statement penting, bahwa kelas yang seperti ini (KelasWah) tidak meski melibatkan orang banyak. Kehadiran banyak orang tak jarang membuat pola belajar ataupun konsentrasi belajar menjadi pecah. Biasanya dengan jumlah peserta yang banyak, membuat pserta sibuk sendiri dari pada mendengarkan paparan yang sedang berlangsung dari pemateri.

SASTRA DAN JURNALISME

Kiki melanjutkan, bahwa jika kita berbicara tentang penulisan itu berarti kita juga harus berbicara tentang membaca. Penulisan yang baik hanya akan terlahir dari pembaca yang baik pula. Membaca menjadi salah satu penentu baik buruknya tulisan seseorang. Membaca merupakan suatu proses melatih daya serap otak terhadap bacaan. Semakin banyak yang dibaca, maka tuisan akan semakin baik. Saat pembaca menulis, dengan sendirinya buku-buku yang pernah dibacaa atau apa yang sudah diserap oleh otak akan membantu merangkai kata demi kata sampai menjadi tulisan yang baik serta menarik untuk di baca.

Belakangan, yang menjadi perhatian adalah berdirinya toko buku dimana-mana. Ini kemudian menjadi pertanyaan besar, ’’apakah dengan semakin banyaknya toko buku, juga menambah minat baca masyarakat?” Bagi Kiki, hal ini menarik untuk di gali.

Kiki pernah mengadakan riset kecil terkait hal ini. Ia ingin tahu buku apa saja yang di jual di toko-toko buku yang ada. Hitungan kasar yang Kiki dapatkan bahwa, Toko-toko buku yang ada, rata-rata menawarkan buku pelajaran sekolah. Mulai dari sekolah dasar sampai tingkat menengah atas dan perkuliahan. Selanjutnya buku  yang mendominasi setelah buku-buku pelajaran adalah buku aplikasi, misalnya tentang bagaimana menjadi kaya, atau buku-buku motivasi bagi orang-orang yang kehilangan gairahnya. Ironisnya, buku-buku yang memang seharusnya dibaca sebagai proses berpikir, kunatitasnya sangat minim. Apalagi buku Sastra, kalau sastra secara global masih banyak, namun yang banyak itu adalah novel-novel pop. Jika dipersempit pencarian kita, misalnya buku puisi, sangat sulit sekali menemukannya di toko-toko buku. Kalaupun ada satu atau dua buku, itu akan tetap bertahan di satu toko sampai satu tahun kedepan, artinya sedikit sekali peminatnya. Hal ini menunjukkan masyarakat kita masih lemah pada teks.

03

04

Jika kita merujuk pada fenomena yang disebutkan di atas, maka wajar sekali kita katakana bahwa masyarakat kita bukan masyarakat baca, namun masyarakat menonton. Kiki mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Sapardi, bahwa peradaban keaksaraan tidak selesai di masyarakat kita. Awalnya masyarakat kita mulai dari tradisi lisan, lalu berkembang menuju tradisi tulis, belum merata tradisi tulis kita yang ditandai dengan perbedaan jumlah aksara disetiap tempat di Indonesia, muncul lagi percetakan, yang kemudian menghasilkan, salah satunya seperti Koran. Belum sempurnanya tradisi tersebut, muncul lagi  budaya audio-visual, yang dengan sangat cepat menyingkirkan tradisi keaksaraan tadi, sehingga kita menjadi gagap aksara.

Belum lagi jika kita berbicara tentang sistem pendidikan yang ada di sekolah. Dimana pengajaran tentang literasi tidak ada sama sekali. Bahkan ketika seseorang mengajar tentang sastra, ia tidak mengajarkan sastra dalam bentuk literasi, namun lebih kepada bentuk yang sangat mekanis. Misalnya potongan cerpen. Seorang guru biasanya memberikan tugas untuk mencari pesan moral yang terdapat dalam cerita. Kemudian yang terjadi, manakala anak-anak telah lulus sekolah,lalusuatu ketika membaca karya sastra, dan mereka tidak menemukan pesan moral dalam bacaan mereka,  maka dengan cepat mereka mengatakan tidak mengerti atas apa yang mereka baca.

“Justru hal-hal yang seperti ini membuat saya bingung. Satu contoh misalnya puisi. Banyak orang yang setelah membaca puisi, mengatakan tidak mengerti. Bagaimana mungkin itu tidak bisa di mengerti sementara bahasa yang digunakan dalam puisi tersebut, adalah bahasa yang digunakan sehari-hari. Kemudian orang terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa mereka tidak mengerti. Padahal kalau kita pikirkan, kita hanya belum terbiasa melatih otak kita untuk berpikir”, ungkap Kiki.

Kita memang perlu memperhatikan apa yang kita baca. Dan tidak semua buku itu layak untuk dibaca. Dan hanya dalam membaca karya sastra, pembaca itu menjadi  produsen bukan konsumen. Sebab ketika  membaca karya sastra, apa yang dibaca akan disaring lagi oleh si pembaca. Di sinilah akan terjadinya interpretasi yang sifatnya bebas, sehingga antara creator dan apresian posisinya sejajar. Beda dengan karya-karya pop misalnya. Pembaca berposisi sebagai konsumen, menerima saja apa yang telah di bacanya seola-olah itu yang dibutuhkan dan dibenarkan.

Kiki berpendapat bahwa hal demikian, sering ia jumpai di Lombok. Dimana generasi-generasi kehilangan keotentikannya. Hal ini dibuktikan oleh Kiki manakala ia menjadi pemateri wokshop menulis. Biasanya kiki meminta peserta untuk menulis  tentang ibu. “Semuanya pasti sama dan seragam seolah-olah ibu mereka sama, padal beda. Kenapa demikian? Karena konsep ibu itu, mereka dengar dari luar dan di anggap menjadi sebuah kebenaran. Misalnya mereka menulis, Ibu.. Kaulah matahariku. Engkau adalah pelita dalam hidupku. Semua seragam. Padahal belum tentu ibu Si A sama dengan ibu Si B”, jelas Kiki sambil tersenyum. Maka sekali lagi, bahwa penulisan yang baik didukung oleh bacaan yang baik pula. Jika ingin menajamkan tulisan, maka seorang penulis pun wajib menjamkan bacaan-bacaan mereka.

JURNALISME WARGA

Setelah Kiki selesai memeaparkan gagasannya pada sesi yang pertama, Gozali yang bertindak selaku moderator memberikan kesempatan kepada Datu Danu untuk menyampaikan ide-idenya terkait KelasWah kali ini. Langsung saja Datu Danu membahas bagaimana posisi jurnalisme warha dalam kerangka berfikir jurnalisme konvensional.

Jurnalisme Warga sudah seharusnya memiliki mekanisme penulisannya sendiri di luar  jurnalisme Konvensional, misalnya tidak harus baku menggunakan metode penulisan 5W + 1H. Metode penulisan seperti itu bukanlah harga mati atau Sesutu yang suci, sakral yang tidak bisa di bongkar, sebab itu hanya aturan yang dimiliki oleh Jurnalisme Konvensional. Jurnalisme warga bisa lebih liar dan lebih kaya dalam konteks metode penulisan.

Penulisan jurnalisme warga yang tepat adalah gaya penulisan opini. Dia tidak perlu merujuk pada kebenaran luar tapi kepada dirinya sendiri karena dia bersifat pengalaman pribadi maupun kegelisahan pribadi. Oleh karenanya, seorang penulis jurnalisme warga, tidak bisa lepas dari membaca, sebagai bahan untuk meliterasi dirinya sendiri. Maknanya adalah penulis jurnalisme warga memang harus cerdas, dan memiliki banyak referensi bacaan.

Keterikatan dalam penulisan jurnalisme konvensional, membuat kadang wartawan dilemma dalam penulisan-penulisan beritanya. Sebab, kadang realitas berbeda dengan kebutuhan Iindustri media.

05

06

Maka, posisi jurnalisme warga menjadi sangat urgent untuk mengungkap fakta-fakta sosial masyarakat. Mulai dari hal-hal yang kecil, yang oleh media konvensional tidak dilirik. Sebab memang, kalau kita melihat sekarang, dunia ini sedang merujuk kesana, artinya sejarah itu tidak di lihat lagi dari narais besar tapi dari narasi kecil seperti keluarga, tetangga atau teman.

Sama dengan Sastra, sastra juga merupakan catatan pribadi. Para sastrawan besar, tidak pernah berfikir menulis untuk siapa, siapa yang akan membaca tulisan mereka. Dalam pidato-pidato para peraih nobel dalam bidang sastra, mereka selalu mengatakan bahwa mereka menulis untuk diri sendiri. Salah satu kasus seorang tawanan perang Nazi, yang setiap hari menulis derita dalam penjara, menulis siksaan-siksaan yang ia terima setiap saat. Belakangan, catatan itu menjadi penting. Dia sendiri tidak pernah menyangka bahwa catatannya menjadi referensi sejarah, yag digunakan banyak peneliti untuk melihat sejauhmana kekejaman Nazi terhada orang Yahudi. Inilah pendekatan sastra, yang dalam jurnalisme warga sama-sama sebagai suara personal yang otentik.

Perkembangan jurnalisme warga di kancah dunia internasional, menjadi penting dengan ketersediaan tekhnologi informasi dan ruang yang di sediakan kepada orang-orang biasa. Beruntungnya lagi  jurnalisme warga tidak terikat oleh lembaga pers manapun, sehingga tidak terkekang oleh peraturan-peratura baku, meski memang setiap penulis jurnalisme warga harus juga mengedepankan etika seorang

Datu Danu, memberikan sebuah contoh tentang bagaimana tindakan masyarakat Internasional yang lebih mempercayai jurnalisme warga dari pada jurnalisme konpensional. Tentu hal ini bukan tanpa sebab. Media konvensional atau mainstream, sering kali alpa dalam banyak hal, yang tentu hal ini disebabkan oleh kepentingan media atau industri media. Bagaimanapun, kerja jurnalisme konvensional adalah untuk kepentingan industrinya. Maka, semakin hari masyarakat menjadi semakin tidk percaya atas kebenaran-kebenaran pemberitaannya. Harusnya, masyarakat kita juga menyadari hal ini. Pada tahun 2004, manakala agresi atau infansi Amerika ke Irak. Banyak pemeberitaan media mainstream yang tidak sesuai fakta. Masyarakat amerika banyak yang tidak puas dengan hasil pemberitaan media mainstream, hingga akhirnya banyak masyarakat Amerika rela mengeluarkan banyak uang untuk mengirim orang-orang kepercayaannya sebagai bloger di lokasi perang, yang kemudian mempublikasikan tulisan-tulisan mereka lewat media online: blog atau website. Kejadian serupa tidak hanya terjadi di Amerika, Iran, Uni Soviet, Afganistan atau beberapa daerah konflik lainnya. Namun juga hal serupa terjadi di Eropa.

Sejatinya meski hampir sama dengan jurnalisme konvensional, jurnalisme warga murni muncul dari keinginan atau kegelisahan masyarakat biasa untuk menghadirkan fakta, sehingga tidak ada kepentingan dalam informasi yang di sampaikan.

Jurnalisme warga sudah sangat booming di Eropa, Indonesia baru mulai pada tahun 2004, manakala terjadi bencana Tsunami di Aceh. Saat bencana terjadi, warga mendokumentasikan kejadian Tsunami tersebut, lalu oleh media mainstream digunakan dalam pemberitaan. Disini, jika kita mengamati, kehadiran warga dalam situasi dan kondisi tertentu, dimana ketika media konvensional tidak bisa hadir saat itu, menjadi sangat penting. Oleh karenanya, penting sekali untuk meliterasi masyarakat dalam hal penggunaan media itu sendiri. Bagaimana agar masyarakat bisa menggunakan media: alat rekam, penulisan, smartphone dengan lebih baik dan lebih bijak. Sebab banyak sekali sekarang ini, apa yang kemudian menjadi headline di media konvensional, sebelumnya adalah isu-isu kecil yang lahir dari kesadaran warga atas hal tersebut. Yang semakin hari, berita kecil tersebut menjadi besar dan mendapat perhatian dari media konvensioal.

Datu Danu menjelaskan, bahwa saat ini banyak tokoh-tokoh jurnalis dunia memberikan apresiasi kepada kegiatan jurnalisme warga, dan mereka juga mengakui bahwa jurnalisme warga tidak bisa dianggap remeh, terutama peran dan fungsi dari jurnalisme warga dalam konteks mengawasi dan  mengkritisi jalannya pemerintahan dan kondisi sosial yang terjadi di sekitarnya.

07

08

Salah satu contoh, ketika melakukan interview, penulis jurnalisme warga akan lebih bebas daripada para jusnalis konvensional. Sebab dalam interview pun, jurnalis konvensional sudah memiliki aturan. Kalau jurnalisme warga, kan tidak. Ia bisa mengalir seperti air. Bisa sangat fleksibel. Ngobrol biasa, yang membuat narasumber tidak tertekan, atau tidak perlu menyembunyikan informasi. Inilah kelebihan-kelebihan jurnalisme warga, yang teman-teman para penulis dalam bidang ini harus sadari. Bahwa juga jurnalisme warga memiliki peluang yang sangat terbuka. “Maka jangan berhenti menulis,” ungkap Datu Danu.

Lalu apa sebenarnya yang sering alpa dari jurnalisme warga itu sendiri?

Sepanjang materi dan diskusi, peserta dan narasumber memberikan banyak sekali sisi-sisi positif dari jurnalisme warga. Namun sedikit sekali yang mengkritisi tentang maraknya jurnalisme warga. Siba, kemudian meminta pendapat dari semua yang hadir saat itu untuk mencoba memberikan argument mereka tentang sisi negatif dari jurnalisme warga.

Kiki berargument bahwa yang perlu diwaspadai oleh para penulis jurnalisme warga adalah kebebasan jurnalisme warga itu sendiri. “itu musuh…”, ungkap Kiki. Sebab jika saja kemudian kebebasan ini tidak disikapi dengan baik, maka jadinya kebablasan. Kadang apa-apa menjadi buram. Lebih-lebih muncul wacana bahwa setiap orang bebas menulis, bebas mengkritik dengan alasan ekspresi. Boleh saja, asal kritik dan penulisan itu berdasarkan pengetahuan dan etika.

Oleh karenanya, bagi para penulis jurnalisme warga, pengetahuan, etika, bacaan dan kepekaan terhadap realitas sosial memang harus ditajamkan, jika ingin menjadi penulis-penulis yang handal.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.