Catatan Pilkada Lombok Utara 2015
Zulfikar, teman sekelas saya ketika masih duduk di Bangku Sekolah Dasar, tiba-tiba menelpon. Waktu itu, saya baru saja tiba di markas kawan-kawan Forum Lenteng, Jakarta. “Kapan ente pulang?” Tanya Zulfikar. “Kayaknya dua hari lagi.” Aku menjawab sambil merapikan barang bawaan. “Tugas kita banyak nih! Undangan DPT belum disebar.” Tut… Tut.. Tut.. Panggilan Zulfikar berakhir. Telponnya mengingatkan saya akan sebuah tugas yang diamanahkan oleh Bapak Kepala Dusun Karang Subagan kepada saya beberapa waktu yang lalu. Tugas itu adalah tugas penting, berkaitan dengan peristiwa besar bagi sejarah perjalanan Kabupaten Lombok Utara. Zulfikar, saya dan beberapa kawan lainnya ditugaskan menjadi KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara).
Rabu, 9 Desember 2015, merupakan hari yang bersejarah bagi Lombok Utara. Dimana hari itu, secara nasional diadakan pemilihan serentak kepala daerah di beberapa tempat di Indonesia, termasuk Lombok Utara. Saya berpendapat, hari tersebut merupakan hari yang memang dinanti oleh masyarakat Lombok utara, dalam rangka mengharapkan pemimpin yang mampu membawa perbaikan signifikan bagi kemajuan Lombok Utara.
Ada dua calon yang secara legal sudah diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Lombok Utara. Pasangan pertama adalah H. Djohan Sjamsu dan Mariadi, sedangkan pasangan yang kedua adalah H. Najmul Akhyar dan Syarifudin.
Sebelum saya meninggalkan Lombok, sekitar sebulan yang lalu, kedua pasangan calon sudah gencar berkampanye. Menarik perhatian masa untuk memilih mereka. Karena tidak berada di Lombok, saya hanya mengikuti perkembangan pesta politik Lombok Utara dari media sosial. Toh juga, saya dan kawan-kawan pasirputih tidak terlibat secara fisik dalam kegiatan itu. Kami hanya sebagai orang yang merayakan pesta demokrasi dengan banyak belajar dan berdiskusi.
Di media sosial, kedua kubu pun gencar menarik perhatian publik. Dengan memposting foto-foto para calon yang sedang dalam agenda ‘merakyat’. Selain foto, tim-tim pemenangan juga kerap kali memposting visi dan misi dari kedua pasangan. Tentu, pemanfaatan media sebagai alat kampanye ini sangat baik, untuk mensosialisasikan program masing-masing calon. Selain itu, tentu, pertimbangan generasi muda yang lebih banyak menggunakan media sosial, yang selama ini terlihat acuh dalam proses politik, bisa menjadi solusi untuk mengurangi angka golput.
Namun barang pasti, tidak selamanya isi media sosial yang dikelola oleh tim-tim tersebut, seringkali bergesekan dalam banyak hal. Apalagi ruang media sosial merupakan ruang bebas. Siapa saja boleh menjadi apa saja dan merespon bagaimana saja. Maka, tidak jarang terjadi perdebatan sengit antar kedua kubu, saling gunjing, sumpah serapah, saling menjelekkan bahkan saling tuduh-menuduh. Untung saja, selama yang saya tahu, tidak terjadi bentrok fisik secara langsung yang barang tentu akan merugikan kedua belah pihak.
Masa-masa tegang kampanye sudah hampir usai. Ketika Zulfikar menelpon saya, tanggal di hanphone saya menunjukan tanggal 6 Desember 2015. Artinya dalam 3 hari lagi pelaksanaan pemungutan suara akan dilaksanakan.

Saat itu jam menunjukan kira-kira pukul 6 sore. Saya duduk diruang tengah kantor Forum Lenteng, sembari membuka salah satu media sosial. Saya membaca-baca beberapa informasi yang saya anggap penting. Diantaranya berita-berita terkait Kongres Kesenian III di Bandung yang saya ikuti. Hari itu, saya baru saja check out dari Hotel Panghegar, tempat dilaksanakannya kongres. Saya berangkat dari Bandung ke Jakarta menggunakan kereta api. Saya tiba di Stasiun Gambir, Jakarta sekitar pukul 14.00 WIB. Maka saat membaca-baca, badan saya terasa sedikit pegal-pegal karena duduk selama sekian jam di kereta dan taxi dari Stasiun Gambir ke Forum Lenteng.
Dengan sentuhan yang agak sedikit malas, saya mengoatak-atik mencari iformasi-informasi lain. Yang saya temukan justru banyak sekali postingan dari kawan-kawan saya tentang kampanye-kampanye terakhir kedua pasangan calon bupati Lombok Utara tersebut. Bahkan di beberapa postingan, saya melihat bagaimana foto-foto calon yang berpose bersama para artis ibu kota. Ada yang mengundang Ridho Rhoma, ada yang mengundang Bily (saya tidak tahu nama lengkapnya) adiknya Alm. Olga Syahputra. Dan beberapa artis ibu kota yang saya pernah lihat wajahnya di televisi. Saya menggeleng-gelengkan kepala. Melihat pengorbanan para calon dalam upaya mendapatkan antusias warga Lombok Utara, sampai-sampai menyewa selebritis ibu kota, yang samasekali tidak ada hubungannya dengan Pilkada di Lombok Utara. Mereka hanya dijadikan umpan untuk mendapat simpati rakyat.
Mungkin juga rakyat memang benar-benar sudah terhipnotis oleh tayangan-tayangan televisi, sehingga kehadiran selebriti dalam kampanye-kampanye calon, benar memicu keingin warga untuk datang. Cuman saya berfikir, “apa masyarakat datang untuk calon atau untuk para selebritis?”
Beberapa postingan yng lain, justru membuat saya ‘muak’, karena isinya cuma sumpah serapah, saling menghina dan menjelekkan satu sama lain.
***
Hari berganti, tanggal berganti. 8 Desember 2015, tibalah saya di Lombok. Jam 18.50 Wita pesawat mendarat dengan selamat, setelah selama satu jam lebih, saya deg-deg-an karena cuaca kurang baik. Saat itu, saya bersama kawan saya, Manshur Zikri. Zikri sendiri adalah salah seorang anggota Forum Lenteng Jakarta. Dari Praya Lombok Tengah menuju Pemenang, saya dan zikri menggunakan mobil travel dengan ongkos Rp. 250.000,-. Saya duduk di depan dan Zikri duduk di belakang.

Sopir mobil ini sangat ramah. Sepanjang perjalanan ia mengajak saya berbicara mengenai sejarah Lombok. Ibunya adalah seorang keturunan ningrat Lombok yang terbuang dari keluarganya. Hal ini menyebabkan ia mempelajari tentang ningrat Lombok dan sejarah Lombok lebih dalam. Ia menyampaikan pandangan-pandanganna tentang kelas sosial, tentang bagaimana posisi ningrat Sasak dalam budaya modern saat ini, juga yang menarik adalah manakala pembicaraan kami melebar kea rah politik.
“Selama ini, ketika saya memilih dalam Pilkada, saya tidak pernah kalah. Selalu, mereka yang saya pilih itu menang. Karena memang saya memilih dengan realistis.” Kira-kira begitu yang ia sampaikan. Ia memberikan saran dan masukan kepada saya, tentang bagaimana memilih calon yang benar. Diantaranya adalah pertimbangan visi dan misi yang realistis, program-program yang sederhana namun menyentuh ke dalam persoalan masyarakat. Namun yang paling ia tekanan adalah memilih dengan hati nurani, bukan berdasarkan uang yang kita kenal dengan istilah money politics.
Wejangan dari sopir travel ini panjang-lebar. Tanpa terasa kami sudah berkendara cukup jauh, dan mendekati Pemenang. “Berhenti di depan saja! Di depan gang itu! Ya, di dekat mobil open cup putih itu!” Pintaku, sambil menunjukkan posisi yang pas untuk turun. Rp. 250.000,- saya bayarkan, dan tak lupa saya mengucapkan terimakasih kepadanya, atas kesediaannya mengantar kami dan atas diskusi yang menarik sepanjang perjalanan.
Di rumah, sudah menunggu kawan-kawan Komunitas pasirputih. Lengkap semua. Ada Gozali, Imran, Oka, Dhoom. Bapak dan Ibu sedang makan malam di ruang makan. Saya langsung mengajak Zikri makan malam. Sebab memang perut saya sedang keroncongan. Makanan yang diberikan di pesawat tidak sempat saya makan. Saya memang tidak tenang makan, selama di dalam pesawat.
Setelah makan, saya, Zikri, Gozali dan beberapa kawan komunitas pasirputih ngobrol di luar. Beberapa saat kemudian datang Hadi. Hadi juga termasuk salah seorang anggota pasirputih. Ia datang membawa beberapa lembar kertas. Kertas-kertas tersebut ada hubungannya dengan pemilihan besoknya. Saya ingat bahwa Hadi juga termasuk daam anggota KPPS.
Setelah cukup lama ngobrol, saya memutuskan untuk mengunjungi TPS (Tempat Pemungutan Suara), tempat saya bertugas. Namun saya tidak sampai di sana. Dalam perjalanan ke sana, saya melewati rumah Zulfikar. Di sana, saya lihat beberapa anggota KPPS yang lain. Sayapun memutuskan untuk ke sana saja. Kawan-kawan langsung saja menyerang saya dengan banyak pertanyaan. Ada juga yang menggurutu, karena saya tidak sempat membantu mereka mengatur TPS. Akhirnya, saya membantu beberapa hal yang belum diselesaikan oleh teman-teman.
Setelah selesai, Zulfikar masuk ke rumahnya. Ia keluar dengan membawa sebuah tas plastik transparan yang berisi baju KPPS dan sebuah buku panduan pelaksanaan pemungutan suara. Saya mengambil tas tersebut dan membuka buku panduan. Sya baca buku tersebut lembar demi lembar. Belum saja selesai saya baca, kawan-kawan mengajak ke TPS. Saya langsung menyetujui.
“Kita masuk TPS berapa?” Saya bertanya kepda Zulfikar.
“TPS 21.” Jawab Zulfikar.
“Sekarang, apa yang musti kita kerjakan?” Saya bertanya, karena tidak merasa tidak enak karena belum membantu apa-apa.
“Sekarang kita temple kertas-kertas ini.” Zulfikar menunjukan beberapa buah kertas yang bertuliskan Ketua, KPPS 2, KPPS 3, KPPS 4, KPPS 5, KPPS 6, KPPS 7, Keluar, Masuk, Saksi dan PPL. Saya mulai menempel kertas-kertas tersebut dengan steples tembak yang dibawa Hadi.
“Saya KPPS berapa?”
“Ente KPPS 4. Tugas ente mendata para pemilih yang datang. Minta surat undangannya, lalu cek di DPT (Dafta Pemilih Tetap). Jika ada, maka tandai. Nanti ente dibantu oleh Hadi. Hadi jadi KPPS 5. Kalau mau lebih lengkap baca di buku panduan.” Jawab Zulfikar. Ia menjelaskan dengan terperinci. Maklum, ia adalah ketua KPPS yang bertanggung jawab kepada seluruh anggota KPPS yang lain.

Setelah semua selesai, saya memohon pamit untuk pulang lebih dahulu. Karena memang saya sangat capek dan ngantuk. Dan tentu saja, besok kami membutuhkan tenaga ekstra karena bekerja dari pagi sampai sore. Kawan-kawan yang lain pun menyetujui, bahwa mala mini kami harus istirahat cepat, agar besok pagi bisa datang lebih cepat dan bekerja dengan penuh konsentrasi. Apalagi pekerjaan ini menyangkut hajat dan kebutuhan serta masa depan masyarakat Lombok Utara.
“Ingat!!! Besok pukul 6.30 pagi kita sudah di sini!” teriak Zulfikar kepada kami.
***


9 Desember 2015. Pagi sekali, alarm di handphone ku sudah berbunyi. Semalam, sebelum tidur, aku ingat untuk mengaktifkan alarm handphone pukul 6 pagi. Aku sedikit takut, kalau-kalau aku bangun terlambat. Kupaksakan diri menuju kamar mandi, meski mataku masih ingin dimanjakan, dan badanku pun masih ingin berbaring di atas kasur. Semoga saja, rasa kantuk dan malas ini akan hilang, manakala ar sudah menyentuh mukaku. Aku putar keran kamar mandi. Pelan-pelan kusentuhkan ujung jemariku pada air dingin pagi itu. Sontak rasa kantukku hilang. Kuberanikan diri menyentuhkan tubuhku, “wah… sejuk sekali badan ini.” Fikirku dalam hati.
Aku memang tipe lelaki yang tidak berlama-lama mandi. Cukup beberapa kali bilas saja-tentunya juga tidak lupa menggunakan sabun mandi- rasanya sudah cukup. Segera aku berlari ke kamar dengan tubuh sedikit menggigil. Kuambil tas plastic yang semalam diberikan Zulfikar kepadaku. Baju itu bertulis KPPS di sebelah kanan, dan logo KPU di sebelah kiri. Antara jelas dan tidak, aku mencoba menebak warna baju itu. Mungkin hijau tua atau orange. Terserah lah. Yang jelas ukuran baju ini cocok untukku. Toh juga, baju ini sepertinya hanya sekali pakai. Sebab, sama sekali tidak lucu jika baju itu digunakan untuk jalan-jalan atau kencan.

Selesai berpakaian, aku langsung berlari menuju TPS. Sebelum keluar dari pekarangan rumah, ibuku berteriak, “kamu tidak sarapan?” aku berlari saja, karena takut terlambat. Sambil membuka gerbang aku menjawab pertanyaan ibu, “nanti saja Bu.” Baru sampai depan gerbang, Ibu kembali bertanya, “Atau ngopi dulu?” Mendengar kata kopi, aku langsung berbalik arah dan menemui Ibu. Ku hirup kopi di atas pelangkan yang Ibu sediakan untuk kakakku. Seteguk saja, dan aku kembali berlari menuju TPS.
TPS kami terletak di pinggir jalan. Tepatnya di bangunan, yang oleh masyarakat Dusun Karang Subagan dikenal dengan sebutan Dangar. Sebelumnya, tempat ini merupakan bengkel mobil dan motor. Dangar sendiri diambil dari nama bengkel yang pernah berdiri di sana, yaitu Dangar Motor. Di gerbang danger, sebuah kertas putih dipajang untuk menandakan bahwa Dangar sedang diperuntukkan sebagai lokasi pemilihan. Kertas putih itu bertuliskan ‘TPS 21’. Di sisi kanan digambar sebuah kotak suara, dengan sebuah tangan yang sedang memasukkan kertas suara ke dalamnya. Di bawahnya lagi, icon KPU Lombok Utara, dengan senyum sumringahnya seolah mengajak masyarakat untuk turut serta mensukseskan Pemilihan Kepala Daerah ini, dan seolah mengucapkan ungkapan ‘Sah’. Tak lupa saya mengambil gambar kertas putih tersebut.
Saya langsung masuk dan menyapa beberapa kawan yang sudah hadir. Kami menyiapkan beberapa hal yang mungkin masih belum siap. Saya langsung duduk di meja KPPS 4 yang sudah disiapkan tadi malamnya. Hadi, rekan saya, belum datang. Saya mencoba menghubunginya, namun tidak ada jawaban. Beberapa warga sudah ada di lokasi pemungutan suara. Beberapa yang saya ketahui adalah para buruh yang bekerja di Pasar Pemenang. Mereka datang lebih awal, dengan alas an agar pekerjaan memburuh di pasar tidak terganggu.

“Ayo, mulai saja!” Ungkap salah seorang warga kepada kami. “Saksi belum datang satu orang lagi,” Saya menjawab beliau. Memang, salah seorang saksi salah satu calon belum datang pagi itu. Sementara Zulfikar, yang bertugas menjadi ketua KPPS masih sibuk menempel foto calon dan DPT di salah satu tembok di dekat TPS.
Sembari menunggu, saya mengambil DPT dan daftar hadir pemilih. Karena memang, dalam Buku Panduan, tugas KPPS 4 adalah mencatat kehadiran pemilih, dan KPPS 5 yang kebetulan diemban oleh Hadi, bertugas untuk mengecek surat undangan pemilih. Jika pemilih tidak memiliki surat undangan, maka warga bisa menunjukan KTP. Hadi datang beberapa saat kemudian. Sebagai orang yang lebih dahulu datang, saya menjelaskan apa yang akan dilakukan oleh Hadi.
Beberapa saat kemudian, saksi yang kami tunggu sudah hadir. Langsung saja kami mengambil sumpah, sebelum melaksanakan tugas. “Berat juga tugas menjadi KPPS,” Fikirku dalam hati. Dalam sumpah yang dibaca oleh ketua KPPS dan diikuti oleh semua anggota KPPS, tercantum kalimat-kalimat yang cukup berat, terutama jika dilanggar. Jika benar sumpah ini dijalankan oleh semua KPPS, mungkin tidak aka nada kecurangan-kecurangan yang terjadi. Apalagi memang, kecurangan di tingkat KPPS kerap terjadi.
Selesai bersumpah, kami membuka kotak suara yang disaksikan saksi dan seluruh anggota KPPS, termasuk dari pihak Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Ketua, KPPS 2 dan KPPS 3 menghitung jumlah kertas suara. Sementara anggota KPPS yang lain, sudah siap di tempat masing-masing, begitupun saya. Saya mengambil pelantang, dan mulai mempersilahkan warga yang sudah datang untuk mendaftar. Dengan suara lantang, saya memanggil pemilih pertama, “RUSDAH!!!” Saya berteriak agar suasana pagi itu tetap semangat. Satu persatu warga mulai memasuki bilik suara, kemudian menuju kotak suara yang dijaga KPPS 6, dan menuju tinta untuk mencelupkan jari pertanda sudah mencoblos, yang dijaga oleh KPPS 7. Sementara petugas Linmas dua orang, masing- masing berada di pintu masuk dan pintu keluar.
Satu persatu, warga masyarakat berdatangan ke TPS 21. Semakin siang, warga semakin banyak. Di TPS 21 ini, jumlah wajib pilih sekita 470-an. Namun sampai jam 1 siang, waktu terahir yang ditetapkan untuk berpartisipasi menggunakan hak pilih, hanya 371 warga yang hadir. Berarti sekitar 100-an warga yang tidak menggunakan hak pilih mereka.


Suasana kondusif sempat menjadi tegang, manakala salah seorang warga menanyakan bagaimana dengan hak pilih orang tuanya yang tidak bisa datang ke TPS. Warga tersebut meminta pandangan kepada KPPS. Kawan-kawan KPPS yang sudah memberikan keterangan kepada warga tersebut tidak bisa berbuat apa-apa, manakala ia bersikeras untuk tetap menggunakan hak pilih orang tuanya. Untung saja, lama-kelamaan ia memahami kondisi dan setuju dengan peraturan yang sudah ditetapkan oleh KPU, bahwa warga yang tidak bisa hadir ke TPS, berarti bahwa ia sudah menghilangkan hak nya menjadi pemilih. Sebab, untuk Pilkada kali ini, tidak ada yang namanya TPS berjalan. Dimana pada pemilihan sebelumnya, KPPS beserta saksi mendatangi rumah warga yang meiliki undangan dan hak untuk memilih. Untuk kali ini, kotak berjalan hanya bisa dilakukan oleh pihak KPU dengan mengunjungi rumah sakit atau rumah tahanan. Jadi KPPS tidak memiliki hak untuk datang ke rumah warga.
Sekitar pukul 1 siang, kami memulai penghitungan suara. Penghitungan suara diiringi suara rintik hujan dan suara gemuruh yang menggelegar. Saya sendiri bertugas mencatat di kertas C1 jumlah suara yang didapat oleh masing-masing pasangan calon.
Satu persatu kertas suara dibuka dan diperiksa oleh ketua KPPS.
“Nomor 2, Sah!”
“Nomor 1, Sah!”
Teriak Zulfikar dengar lantang.
“Nah, ini dibolongi dengan rokok. Bagaimana ini para Saksi dan Panwas?
“Menurut panduan, ini tidak sah!” Ungkap Panwas dengan tegas.
“Oke, bagaimana para Saksi?
“Tidak sah!”
“Suarat suara tidak sah!”

Penghitungan berjalan dengan lancar. Jam 3 sore itu, semua proses pemungutan suara tingkat TPS sudah selesai kami laksanakan. Syukurnya, semua proses berjalan dengan lancar. Dari 371 pemilih, 6 diantaranya dinyatakan tidak sah. Sebab, ada yang mencoblos kedua pasangan. Ada juga yang mencoblos keempat orang yang ada di kertas suara.
Setelah penghitungan selesai, Zulfikar, Hadi dan saya mengantarkan hasil di tingkat TPS tersebut ke tingkat kecamatan. Jika dulu, hasil tingkat TPS dibawa ke desa. Tapi kali ini, langsung dibawa ke kecamatan. Di kecamatan, banyak petugas tingkat PPK dan aparat kepolisian berjaga-jaga.

Setelah selesai dari kecamatan, kami langsung pulang. Sepanjang jalan, saya saksikan banyak masyarakat tumpah-ruah ke jalan. Terutama masyarakat pendukung salah satu calon. Hal ini tentu dikarenakan oleh tersebarnya isu hasil penghitungan cepat oleh beberapa lembaga survey. Di satu sisi, hal ini bisa berdampak kepada hal-hal yang negatif. Tapi sepertinya, masyarakat masih pada batas kewajaran. KLU sepertinya semakin dewasa. Syukurlah semua kondusif dan aman.

Begitulah catatan Pilkada KLU 2015. Bagi siapa saja yang terpilih, maka ia adalah pilihan rakyat. Dalam setiap pertarungan pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Yang menang jangan jumawa, dan yang kalah harus berlapang dada.
Setelah ini, yang terpenting adalah bagaimana membangun Lombok Utara bersama. Lupakan sengketa selama proses kampanye dan proses pemungutan suara. Pilkada ini, merupakan langkah pendewasaan untuk masyarakat Lombok Utara. Semakin dewasa, maka daerah kita yang tercinta ini akan semakin baik dan sejahtera.
Semoga tidak ada lagi politik balas budi. Mereka yang terpilih, hendaknyalah melihat masyarakat ini, sama saja. Tidak ada beda. Mereka yang mendukung dan tidak mendukung, merupakan masyarakat Lombok Utara yang juga memiliki hak yang sama.