PEREMPUAN MORICKO, MENJADI lagu pertama dari Wing Sentot WIrawan, seorang musisi yang dikenal dengan pengembaraannya ke mana-mana menggunakan sepeda. Semalam, tanggal 3 Februari 2019, dia menyelenggarakan konser mini di Pasirputih, menyumbangkan beberapa lagu yang diciptakannya sendiri. Dia sampai di Pasirputih kemarin siang—kami baru saja selesai makan bersama di berugaq—dengan sepedanya yang dipenuhi barang-barang di kiri-kanannya dan ragam bendera yang menghiasinya.

Konser malam itu merupakan konser kali kedua yang saya saksikan dari Mas Sentot. Sebelumnya, dia juga pernah konser di Pondok Banu Sanusi. Saat itu, dia membawakan beberapa lagu bersama teman-teman semusiknya. Begitu juga malam kemarin, dia menyanyikan musik yang biasa dia bawakan bersama teman-temannya itu, membuat suasana menjadi adem, mungkin karena alat musik yang dia gunakan hanyalah gitar, sebagaimana ia berseru menjawab request dari Sibawaihi, “Woooh, kalau lagu yang itu harus pakai gendang.”
Malam semakin larut dan suasana sekitar kami juga semakin hening. Mas Sentot beristirahat sejenak setelah menyumbangkan dua lagu, yang berjudul Perempuan Moricko dan Jatuh Cinta. Cara dan posisi duduk orang-orang mulai berubah-ubah dari posisi mulanya. Saya melihat sekitaran lokasi tempat konser: di sebelah kanan, di teras rumah tetangga, ada beberapa orang warga yang ikut menikmati malam—mereka duduk bersama, entah apa yang mereka bicarakan; sedang di sebelah kiri kami, terlihat seorang ibu sedang mendendangkan lagu untuk anak perempuannya sambil menggutuk (mengambil kutu dari kepala)—si anak terlihat senang kepalanya dimainkan oleh ibunya sambil dia memainkan handphone yang kedengaran suaranya di telinga saya (suara film kartun anak-anak yang sering ditonton oleh anak-anak seumurannya).
Zikri (anggota Forum Lenteng yang datang ke Pemenang untuk mengikuti kegiatan Bangsal Menggawe) yang duduk di depan saya, bersampingan dengan Sibawaihi (Direktur Program di Pasirputih), tiba-tiba bangun dari posisinya dan berjalan menuju campcraft Pasirputih yang baru saja selesai pembangunannya kemarin. Dia kembali duduk di samping Sibawaihi dengan membawa laptop. Saya perhatikan dia dari awal ketika membuka laptop. Saya kira, dia akan melakukan video live menggunakan laptop, tetapi ternyata dia membuka halaman kosong Microsoft Word dan jari-jemarinya mulai menari di atas keyboard, mengetik sesuatu. Zikri menulis dan saya masih begitu penasaran dan bertanya-tanya, kira-kira apa yang ditulis Zikri pada momen itu?
Selain saya tetap menikmati jalannya acara konser mini tersebut, terutama saat Mas Sentot beristirahat sejenak, sesekali saya melihat ke Zikri. Dalam hati, saya benar-benar ingin tahu apa yang sedang diketiknya. Beberapa kali, dia mengangkat kepalanya dari layar laptop dan melihat sekitarnya. Di suatu waktu, sampailah saya pada kesempatan yang tepat untuk mendekatinya, melongok ke layar laptop dan mengintip tulisan yang sedang dibuat oleh Zikri. Sementara itu, Sibawaihi, bersama Oka (Direktur Bangsal Menggawe) dan Hamdani (anggota Pasirputih) mengisi panggung yang kosong, menggantikan sementara posisi Mas Sentot yang sedang beristirahat. Mereka berdua berniat menyumbangkan dua lagu milik kelompok mereka, Tree O Amphibi—kelompok musik yang legendaris di kalangan warga lokal Pemenang. Penampilan mereka cukup pas sebagai selingan di waktu istirahat Mas Sentot, si musisi utama pada konser itu.
Lanjut ke rasa penasaran saya, saya pun mengambil alih tempat duduk Sibawaihi. Saya lebih lekat mengarahkan pandangan ke layar laptopnya Zikri. Hanya beberapa kata yang saya dapat baca: “…kalau di Forum Lenteng kami mengetik di kelas…”
Karena memang sangat sulit jika hanya melirikkan mata tanpa benar-benar fokus melihat keseluruhan layar laptop, saya tidak bisa membaca seutuhnya. Saya sendiri ragu untuk bertanya langsung kepada Zikri karena dia terlihat begitu serius. Ada satu kalimat lagi yang saya sempat baca ketika Zikri melihat ke arah bangunan dapur yang kemarin sore pembangunannya baru saja selesai. Ipeh, selaku koordinator dapur umum Pasirputih selama pelaksanaan Bangsal Menggawe, sudah mulai menggunakannya untuk memasak makan malam kami. Ketika ia menoleh ke arah dapur itu, ekspresi Zikri tampak seperti mendapat ilham, lalu dia lanjut mengetik. Dan ternyata memang benar, dia mengetik: “…bangunan dapur yang sudah rampung…”

Kemudian, dua lagu pun telah selesai dinyanyikan oleh Tree O Amphibi. Mas Sentot sempat bertanya kepada Sibawaihi dan Oka tentang lirik salah sebuah lagu yang baru saja mereka nyanyikan, yang berjudul Cerita Selepas Makan Siang.
“Apa, sih, maksud ‘sayur dimasukkan ke dalam karung’?” celetuknya, bercanda. “Itu, mah, nggak etis. Seharusnya, sayur diplastikin, supaya rapi. Lah, kalian malah bernyanyi ‘sayur dimasukin ke karung’…?”
Dari posisinya, Hamdani dengan cepat menjawab kebingungan Mas Sentot. “Kalau di sini, beda, Mas. Orang-orang di pasar menggunakan karung sebagai wadah…,” kata Hamdani, menjelaskan. Pada saat mengisi waktu jeda istirahat Mas Sentot tadi, Hamdani berperan sebagai drummer Tree O Amphibi, menggantikan Onyong yang tidak hadir karena sedang sekolah di Forum Lenteng. Oka juga mencoba menerangkan apa maksud dari lirik lagu yang telah mereka nyanyikan kepada Harry, seorang kurator independent dari Inggris, yang kebetulan juga datang dan tinggal di Pasirputih selama beberapa hari, melihat proses pelaksanaan Bangsal Menggawe. Oka menjelaskan dengan bahasa Inggris seadanya, wajahnya mulai kelihatan molek, lebih banyak tertawanya daripada benar-benar menjelaskan isi lagu itu kepada Harry. Si Zikri, dari kejauhan, mengangkat kepalanya dan memanggil Sibawaihi. “Translate dulu untuk si Harry!” kata Zikri, meminta ke Sibawaihi. Akhirnya, Sibawaihi mengambil alih penjelasan Oka yang tadinya terbata-bata berbahasa Inggris, kemudian ia menjelaskan maksud dari lagu tersebut. Si Harry mengangguk-angguk sambil tertawa, sepertnya dia mulai paham maksud dari lagu yang sudah dinyanyikan oleh Tree O Amphibi. Lagu yang membuatnya tertawa itu, berjudul Ternyata Oh Ternyata. Lagu itu berkisah tentang ungkapan kekesalan seorang pegiat kultural terhadap pejabat daerah yang tak bisa ditemui gara-gara si pejabat pergi ke Cina untuk bertugas (dan tentunya, seperti kebiasaan birokrat yang umum diketahui, juga sekalian plesiran).
Acara selingan di konser mini Mas Sentot itu cukup dua lagu saja dari Tree O Amphibi, karena panggung ini spesial memang untuk Mas Sentot (begitulah kata Oka, sebelum ia kembali duduk sebagai penonton bersama kami). Mas Sentot kembali beraksi. Kali itu, dia menyanyikan lagu yang sudah di-request oleh Sibawaihi, yang berjudul Wek Wek Wek.

Di tengah-tengah konser yang berlangsung, Mintarja (salah seorang warga di Pemenang, tokoh pemuda, dan akan menjadi partisipan utama di Bangsal Menggawe tahun ini) datang menggunakan sepeda motor bersama Maria dan Anggraeni (dua perempuan anggota Forum Lenteng, Jakarta) dan Pak Kadus Atong. Kedatangan mereka sempat mengalihkan perhatian tema-teman yang lagi asyik mendengarkan dan ikut menyanyikan lagu Mas Sentot. Hanya beberapa dari kami yang berdiri menyambut kedatangan mereka. Sibawaihi-lah yang paling dulu berdiri menghampirinya, baru kemudian teman-teman yang lain. Mintarja dan teman-teman yang baru datang tersebut langsung mengambil posisi duduk yang sudah disediakan, ikut menikmati lagu terakhir dari Mas Sentot yang berjudul Silent.
Konser mini Mas Sentot pun akhirnya selesai. Saya kemudian bergegas mengambil laptop, ingin segera menulis kegiatan yang sudah saya lakukan sejak pagi, mulai dari membersihkan lahan untuk turnamen Bangsal Cup, membantu Om Husna membangun dapur umum, hingga konser mini Mas Sentot.
Eeeh…! Ternyata, saat saya kembali dari mengambil laptop ke tempat dilaksanakannya konser mini itu, Oka si Direktur Bangsal Menggawe malah baru mulai membuka rapat, yaitu rapat rutin setiap malam, membicarakan kegiatan-kegiatan yang sudah dilaksanakan dan akan dilaksanakan.
Oka menyampaikan bahwa, pembersihan lahan untuk Bangsal Cup yang seharusnya ditargetkan akan selesai kemarin sore, tapi ternyata tidak sesuai dengan harapan. Rumput-rumput masih memenuhi lahan tersebut. Padahal, kami sudah mencoba membersihkannya menggunakan mesin pemotong rumput. Sayang, mesinnya rusak karena batang-batang rerumputan yang lumayan keras dan besar-besar.
Selain itu, rapat tersebut juga membahas perihal produksi tulisan atau reportase dari tim Bangsal Menggawe terkait kegiatan-kegiatan yang akan kami lakukan selama satu bulan ke depan. Untuk soal tulis-menulis ini, Sibawaihi dan Oka memutuskan untuk mengalihkannya kepada Zikri—sebelumnya, adalah Ipeh yang kerap menjadi editor di kegiatan tulis-menulis Pasirputih. Sebab, Zikri menyarankan agar Ipeh, Nawawi, Ijtihad, Izom, dan saya untuk fokus membuat tulisan jika tidak ada pekerjaan-pekerjaan berat yang harus diselesaikan bersama.
Di sesi membahas sistematika produksi karya tulis selama Bangsal Menggawe itu, Zikri juga sempat melihat ke arah semua teman-teman yang mendapat tanggung jawab untuk menulis. Ia mengucapkan kata “nulis” berulang-ulang kali, bahkan dia berguyon kepada si Albert, menggunakan bahasa Minang, yang artinya kira-kira: “Kamu juga menulis, dong, Bert! Sudah bikin satu buku, masa nggak ikutan menulis, sih…?” Sibawaihi lantas merespon candaan Zikri dengan berkata, “Albert akan menulis tentang rudat, dia fokus di sana.”
Ketika berbicara, Zikri belum menyadari keberadaan Mintarja yang duduk di belakangnya. Saat itu, Anggraeni ingin mengisi ulang batre handphone-nya di laptop. Akan tetapi, karena daya dari laptop tersebut tidak begitu kuat, saya beranjak dari posisi saya duduk, membantu Anggraeni mengambilkan cokrol (stop kontak). Saat saya kembali ke tempat rapat, saya sudah melihat Zikri berpindah posisi; ia duduk menghadap Mintarja yang kala itu bertanya ke forum rapat, apakah di hari puncak Bangsal Menggawe tahun ini juga akan diadakan arak-arakan sebagaimana Bangsal Menggawe “Membasaq” (2016) dan “Siq-siq O Bungkuk” (2017)?
Sibawaihi, selaku ko-kurator Bangsal Menggawe 2019, mencoba menjelaskan bahwa tahun ini tidak akan ada arak-arakan besar—meskipun Ana, istri Gozali (Ketua Umum Pasirputih) sempat mempunyai ide akan mengajak para ibu-ibu di Kecamatan Pemenang untuk menakil (‘membawa’—ed.) nasi dan lauk-pauk dari rumah masing-masing menuju Bangsal. Menurut keputusan rapat malam itu, acara puncak Bangsal Menggawe tahun ini diadakan dengan sangat sederhana, berupa kegiatan berdoa bersama oleh tiga pemeluk agama (Hindu, Buddha, dan Islam) tetapi tetap sesuai dengan cara dan keyakinan mereka masing-masing. Doa ini dilakukan oleh semua warga lokal Kecamatan Pemenang, dan akan dilaksanakan di Pelabuhan Bangsal. ***
—
Editor: Manshur Zikri