Berbagi Cerita di Lingkar Seni Wallacea

Terciptanya wacana berkesenian diawali dari kesadaran untuk mengekspresikan hasrat manusiawi. Pelataran ekspresi yang bermacam-macam menjadi kualifikasi unik yang membentuk keserasian maksud setiap individu dan kemudian menyulut kerja-kerja kolektif. Kelompok kerja kesenian sejatinya terbentuk atas kesamaan pandang terhadap suatu persoalan sosial, pendidikan, ekonomi, budaya, dan lingkungan walau dalam aplikasi berkesenian diekspresikan dengan cara yang berbeda-beda. Hal ini tentu memunculkan pikiran-pikiran kreatif dan kritis serta terbangun secara kolektif dalam sebuah kerja berkesenian di suatu tempat.

2015 lalu, pewacanaan kerja berjejaring Indonesia Timur tercipta di Gorontalo dalam kegiatan Tadarus Puisi yang diusung oleh para pegiat kebudayaan dan kesenian Gorontalo dengan nama Lingkar Seni Wallacea. Kata “Wallacea” itu terbentuk secara geografis mencakup sekumpulan pulau-pulau dan kepulauan di wilayah Indonesia Bagian Tengah, terpisah dari paparan benua-benua Asia dan Australia oleh selat-selat yang dalam. Kawasan Wallacea meliputi pulau-pulau Sulawesi, Lombok, Sumbawa, Flores Sumba, Timor, Halmahera, Buru, Seram serta banyak pulau-pulau kecil di antaranya.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa kawasan Wallacea memuat seluruh pulau Sulawesi, Nusa Tengggara, dan Maluku. Wilayah ini terletak di antara paparan sunda atau Dangkalan Sunda di barat dan Dangkalan Sahul di timur dengan total luas daratan kawasan Wallacea sekitar 347.000 Km­2. Nama Wallacea sendiri diambil dari seorang naturalis Alfred Russel Wallace yang telah mendeskripsikan batas-batas biologis kawasan zoogeografis yang dikenal dengan garis Wallace

Pewacanaan jejaring kesenian Lingkar Seni Wallacea ini pun berkembang menjadi sebuah ikatan kekeluargaan sejak masa terbentuknya dua tahun lalu. Kegiatan silaturahmi dan simposium yang digagas oleh kawan-kawan pegiat budaya dan kesenian ini memperkenankan Pasirputih sebagai tuan rumah untuk mengundang dan temu kangen antara satu komunitas dan komunitas kesenian lain  yang ada di lingkar Wallacea.

Dalam pelaksanaannya, Pasirputih sebagai tuan rumah mengkombinasikan kegiatan simposium Lingkar Seni Wallacea dengan kegiatan Be-Young Art Camp yang merupakan salah satu program tahunan Pasirputih. Be-Young merupakan sebuah kegiatan kemah seni yang di dalamnya terbuka ruang bagi remaja untuk belajar dan berbagi pengalaman, menelaah persoalan remaja yang secara spesifik menekankan pada bagaimana para remaja mampu menemukan, menggali, dan mengembangkan potensi yang dimiliki sebagai bentuk ekspresi positif dalam merespon isu-isu keremajaan era ini.

Kegiatan silaturahmi dan simposium Lingkar Seni Wallacea yang dikombinasikan dengan program Be-Young Art Camp diselenggarakan di Kerujuk selama empat hari, terhitung dari 22 hingga 26 September 2017, dengan rangkaian silaturahmi komunitas seni ini, yang terdiri oleh beberapa komunitas perwakilan setiap daerah di antaranya: Gorontalo, Maluku, NTT, Palu, dan NTB dengan masing-masing komunitasnya.  Ada pula yang berasal dari daerah lain seperti; akumassa dan Koalisi Seni Indonesia dari Jakarta dan Sayurankita dari Pekanbaru.

Setelah pembukaan kegiatan kemarin, Jum’at, 22 September 2017, kegiatan Lingkar Seni Wallacea diawali dengan presentasi dari masing-masing daerah/komunitas. Pada sesi ini, setiap komunitas berbagi dan bercerita tentang kondisi atmosfer berkesenian dan kebudayaan di daerah masing-masing yang difasilitasi oleh Rudi Fofid (Opa) dari Maluku dan Zulkifli dari Gorontalo, dengan moderator Muhammad Sibawaihi dari Pasirputih.

Rudi Fafit tengah berbagi dan bercerita tentang giat keseniaan dan kebudayaan di Maluku.

Opa membuka percakapan dengan sebuah kutipan: “Melakukan hal besar dari kampung,” sembari bercerita tentang bagaimana problematika berkesenian di Maluku, terutama di ranah sastra. Ia bercerita tentang bagaimana sastra menjadi salah satu seni yang cukup diminati oleh para pemuda di Maluku. Meletakkan sastra sebagai salah satu ruang ekspresi dan mengklaim bahwa pergerakan sastra mulai tumbuh secara kuantitas dan berkembang secara kualitas.

Zulkipli, dari Gorontalo, menceritakan bagaimana realita berkesenian di daerahnya.

Fasilitator kedua, Zulkifli dari Gorontalo, menyampaikan persoalan seni secara umum. Berdasarkan pengamatannya, ia menyatakan bahwa gerakan kesenian Gorontalo mulai berkembang secara dinamis. Hal menarik yang ia sampaikan adalah tentang nilai toleransi yang tinggi dan keadaan alam Gorontalo yang mendukung munculnya kebudayaan-kebudayan besar. Selain itu, ia juga berbagi cerita tentang beberapa komunitas, seperti Komunitas Kelapa Batu yang  gerakannya fokus pada upaya penyelamatan danau Lamboto, dengan acara Tadarus Puisi yang dilakukan selama tujuh hari tujuh malam dengan proses  bertahap yang cukup lama, yang diawali dengan satu, tiga, hingga tujuh malam kegiatan tadarus puisi tersebut.

Setelah para fasilitator tersebut menyampaikan beberapa hal terkait gerakan-gerakan kesenian dan kebudayaan yang mereka geluti, dimulailah satu per satu perwakilan komunitas setiap daerah bercerita tentang upaya-upaya yang digalakkan sebagai gerakan-gerakan kesenian dan kebudayaan. Tanggapan bergilir itu diawali dari Pasirputih, yang disampaikan oleh Muhammad Gozali.

Dalam penyampaiannya, Muhammad Gozali bercerita tentang gerakan-gerakan kesenian di Lombok yang mulai dipandang sebagai gerakan yang penting untuk dilirik. Upaya-upaya penerjemahan terhadap konteks dengan kekaryaan secara baik dan positif. Ia juga menyebutkan beberapa hal terkait pencapaian kawan-kawan pegiat seni di Lombok, khususnya seperti festival musik jazz yang kini tengah berlangsung di Senggigi, batu layar dan festival teater pelajar yang secara konsisten beberapa tahun selalu diadakan oleh sejumlah pegiat seni Lombok. Selain itu, Gozali juga bercerita tentang bagaimana percepatan pesat pembangunan di Lombok, khususnya di daerah pariwisata, terutama tentang rencana pembangunan pusat niaga maritim (Global Hub) di Lombok Utara, yang menelan lahan seluas 12.000 ha, termasuk di dalamnya pemukiman, persawahan, dan sebagainya.

Setelah itu, microphone di berikan kepada Adam dari Gorontalo yang berasal dari komunitas pelawak daerah (KOPDAR) Gorontalo yang bercerita tentang persoalan tradisi di mana anak muda di daerahnya mulai mengaburkan penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa kearifan. Namun, lebih jauh saya memandang bahwa bahasa yang dimaksud adalah bagian kecil dari luasnya pengaburan tradisi di Gorontalo. Selain itu, ia juga bercerita tentang upaya mereka yang mulai mengekspresikan “kegelisahan” melalui seni pantomim. Setelah itu, pendapat dilanjutkan oleh Arnold (Komunitas Kelapa Batu), Frangky (KOPDAR), Arifin (penulis), dan Abdul Qadir (musisi musik tradisi) yang merupakan bagian dari pegiat kesenian di Gorontalo yang berkesempatan menghadiri silaturahmi ini.

Dan selanjutnya, yang juga hadir pada kegiatan tersebut adalah Manshur Zikri (Akumassa, Jakarta). Akumassa merupakan aktivasi kegiatan akar rumput dengan metode literasi media. Sementara itu, ada juga Mario Lawi, Linda Tagie, dan Lani Koroh dari NTT, yang basis gerakanya berada di Dusun Flobamora dengan berbagai macam kegiatan, seperti diskusi karya sastra yang melibatkan siswa dan ibu rumah tangga, dan teater perempuan biasa. Selain itu, hadir juga Afifah Farida, dari komunitas Sayurankita, Pekanbaru yang bergerak di bidang pertanian dan sosiokultural masyarakat. Ada pula Rahmadiyah Tria Gayatri (Ama) dari Palu, mewakili Forum Sudutpandang yang lahir karena kegelisahan eksistensi terhadap komunitas-komunitas, di mana banyak komunitas yang ingin unjuk gigi tapi dengan manajemen yang belum tertata rapi. Terakhir, ada perwakilan dari Koalisi Seni Indonesia (KSI) yang diwakilkan oleh Olin Montero yang aktif di bidang produser film dokumenter.

Setelah menceritakan kondisi komunitas di masing-masing daerah, setiap perwakilan komunitas diminta untuk menceritakan apa saja kendala-kendala yang dihadapi di daerah.

Kawan-kawan Lingkar Seni Wallacea tengah bercerita terkait perkembangan kesenian dan kebudayaan di daerah masing-masing

Opa menceritakan bagaimana membuat suatu kegiatan tanpa mengharapkan bantuan dari pemerintah. Opa berpendapat bahwa dana dari pemerinta banyak yang tidak jelas. Bisa jadi dana yang diberikan adalah dana hasil korupsi untuk pencucian uang, maka untuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan opa dan komunitasnya, mereka “mengharamkan” meminta bantuan dari pemerintah.

Berbeda dengan kegelisahan yang ditemukan di NTT, Mario bercerita tentang sulitnya berjejaring antar komunitas di NTT, bahkan ia bercerita adanya indikasi keterpecahan antarkomunitas di daerahnya itu. Sedangkan di Palu, Ama menyatakan bahwa Forum Sudutpandang sendiri sudah lelah berhubungan dengan pemerintah yang lebih sering berbenturan. Selain itu, Palu diklaim menjadi WAR AREA, daerah yang rentan konflik sehingga memberikan keterbatasan dalam ruang untuk berkomunitas dan berkarya. Sedangkan Gorontalo, sepakat dengan Maluku yang memilih untuk lebih mandiri dalam melakukan kegiatan daripada mengharapkan bantuan pemerintah, namun tidak menolak jika pemerintah ingin membantu kegiatan yang akan dilakukan. Pasirputih memiliki sudut pandang yang berbeda. Menurut Pasirputih, meminta bantuan kepada pemerintah adalah hak komunitas seni karena hal itu justru bisa menjadi suatu tawaran wacana kepada pihak pemerintah.

Zikri dari Akumassa berpendapat bahwa mendapatkan dana dari pemerintah adalah kewajiban kita sebagai pegiat di komunitas yang berbasis seni dan budaya. Karena, menurutnya, justru dengan kegiatan tersebut kita dapat membantu pemerintah menggunakan anggarannya pada sesuatu yang tepat. Terkait dengan eksistensi komunitas, Zikri berpendapat, ada pertanyaan-pertanyaan yang perlu kita tinjau dan jawab kembali. Apakah esensi dari berkomunitas? Apakah hanya sebagai batu loncatan untuk mendapatkan eksistensi yang lebih atau berkomunitas untuk mendapatkan esensi yang sesungguhnya? Tidak dipungkiri bahwa generasi millennial (yang lahir di dekade 90-an) lebih mengedepankan pencapaian karir dengan komunitas daripada memahami esensi dari komunitas tersebut. Zikri juga berpendapat tentang salah satu cara untuk meredam kecemburuan individual antarkomunitas: hal itu bisa direspon dengan kegiatan-kegiatan yang dikemas dengan manajemen pengetahuan yang dimiliki masing-masing komunitas.

Olin sepakat dengan pertanyaan Zikri tentang atas dasar dan tujuan apa komunitas dibentuk? Ketimpangan-ketimpangan pengetahuan pada komunitas-komunitas yang terbentuk sering terjadi karena komunitas tersebut tidak memahami maksud, tujuan, dan fokus dari komunitas yang dibentuk.

Dari diskusi sesi pertama tersebut, dapat disimpulkan bahwa kerja berkomunitas hampir selalu  berbenturan dengan pemerintah karena memang, pemerintah memiliki syarat dan cara-cara sendiri untuk melaksanakan suatu kegiatan baik kegiatan yang dibentuk sendiri atau berkolaborasi dengan instansi lain, termasuk komunitas. Selain itu, kecemburuan yang terjadi antar komunitas sering disebabkan karena individu-individu dalam komunitas tersebut belum memahami esensi dan fokus utama dari terbentuknya komunitas tersebut. Komunitas masih dilihat sebagai alat untuk pencapaian karir. Lalu bagaimana kelanjutan dari forum Lingkar Seni Wallacea yang sedang dikerjakan saat ini? Apakah hanya sebatas pada pertemuan tahunan atau seperti apa?

***

Setelah di sesi pertama membahas tentang hambatan-hambatan dan kendala-kendala yang dihadapi komunitas-komunitas seni di masing-masing provinsi, maka di sesi kedua ini, diskusi lebih difokuskan pada apa yang seharusnya dilakukan oleh forum Lingkar Seni Wallacea untuk langkah selanjutnya.

Diskusi ini diawali dari harapan mbak Lani agar dapat saling mendukung antar komunitas. Menurut mbak Lani, kondisi komunitas di NTT sendiri masih kurang sehingga banyak komunitas yang hanya terbentuk dalam kondisi tertentu yang kemudian hilang dan tidak berkelanjutan. Dengan adanya kegiatan simposium dan silaturahmi ini salah satu cara yang bisa kita lakukan untuk menyebar virus-virus berkomunitas yang baik. Menurut mbak Olin, komunitas yang baik tidak terlepas dari perencanaan-perencanaan yang matang. Karena rencana dan strategi yang sudah disusun dapat menjadi tolak ukur bagaimana keseriusan komunitas tersebut.

Setelah ISOMA, diskusi dilanjutkan di berugak.

Menanggapi harapan mbak Lani, Opa Rudi mengatakan bahwa selama ini kita sudah saling memberikan dukungan. Namun, dukungan yang diberikan masih belum konkret sehingga dukungan tersebut belum memberikan dampak yang terasa oleh komunitas-komunitas lain. Kadang dukungan yang diberikan juga tidak jelas karena apa yang didukung juga tidak jelas. Oleh karena itu, hal pertama yang perlu diperjelas adalah fokus dari setiap kegiatan-kegiatan komunitas. Banyak komunitas-komunitas yang mati suri bahkan mati, karena komunitas tersebut tidak mengetahui apa fokus dan tujuannya. Hal lain yang dapat membuat mati komunitas adalah rendahnya kesadaran dalam dokumentasi. Dengan kurangnya dokumentasi (tulisan, foto, ataupun video)  tersebut, maka informasi untuk mendukung satu komunitas tersebutpun menjadi sulit karena informasi yang kurang. Oleh karena itu, pendokumentasian menjadi sangat penting.

Raden menyetujui tentang pendokumentasian yang disampaikan oleh Opa Rudi. Raden bercerita bahwa di Lombok Utara sangat sulit mencari informasi dan dokumentasi tentang kampung-kampung di Lombok Utara. Hal ini karena orang tua kita mengajarkan budaya tutur, bukan budaya tulis sehingga dokumentasi tersebut menjadi sangat sulit ditemukan.

Zikri mencoba menanggapi pernyataan-pernyataan tersebut. Zikri kembali menekankan tentang PR yang sedang dibahas dalam pertemuan ini. Bagaimana dan apa yang harus dilakukan agar pertemuan ini dapat berlanjut? Bagaimana komunitas-komunitas yang ada dalam pertemuan ini saling mendukung dan terhubung terkait dokumentasi, data, dan informasi di setiap daerah? Apakah mungkin membuat suatu platform, website, misalnya, yang bisa digagas bersama? Karena, jika hanya sebatas pertemuan-pertemuan pada setiap tahunnya, maka pertemuan ini tidak akan mencapai tujuan yang ingin dicapai.

Pertanyaan-pertanyaan dari Zikri mewakili kegelisahan dari Sibawaihi yang bercerita bahwa pada tahun 2015, Lingkar Seni Wallacea ini pernah menggagas pembuatan website (wallacea.wordpress.com), tapi tidak terkelola dengan baik. Sibawaihi melanjutkan bagaimana kemungkinan untuk selanjutnya? Apakah website masih memungkinkan? Lalu bagaimana konten dan siapa yang akan mengelolanya? Mengingat komunitas-komunitas yang ada berada pada lokasi-lokasi yang berbeda. Dan bagaimana bentuk dukungan nyata yang kira-kira dapat dilakukan?

Terhelat pada pembahasan soal dokumentasi.

Zulkipli menyatakan bahwa salah satu aksi nyata yang dapat dilakukan adalah dengan pendokumentasian. Selain itu juga bisa dengan mempersiapkan karya dari masing-masing daerah. Harapannya di pertemuan Lingkar Seni Wallacea berikutnya, masing-masing daerah dapat menampilkan karya kreatif publik yang informatif tentang daerah atau satu isu tertentu. Menurut Bang Zul, Lingkar Seni Wallacea dibentuk dengan membuat gagasan dan isu tertentu, hanya saja belum terkelola dengan baik.

Berbicara tentang isu tertentu, Kirom berbagi cerita tentang kegiatan komunitas “rumah sungai” dari tahun 2007 yang fokusnya adalah pelajar, seperti membuat  sekolah alam dan kegiatan “Mistik Puisi” di Sakre yang mencoba melibatkan masyarakat-masyarakat setempat. Raden juga membagi pengalaman tentang bagaimana mengajak masyarakat untuk merespon kampung dan sungai yang pernah dilakukannya di Yogyakarta. Menurut Raden, melakukan riset kecil-kecilan adalah salah satu cara yang bisa dilakukan agar apa yang dilakukan sesuai dengan konteks masyarakat itu sendiri.

Kembali menjawab pertanyaan Sibawaihi, Zikri mengatakan bahwa membuat satu platform tidak harus membuat website. Jika pun ingin membuat website, maka perlu dilakukan diskusi lebih lanjut bagaimana mengelola website yang terorganisir dengan baik seperti Wikipedia atau Kompasiana. Bagaimana informasi-informasi di lingkar Wallacea ini menjadi penting dan menarik. Namun, Zikri menegaskan bahwa media tidak hanya website, masih banyak cara-cara lain yang memungkinkan, seperti media sosial Instagram. Instagram menjadi salah satu media yang cukup penting dalam memberikan informasi yang dihubungkan dengan tagar. Zikri menyatakan bahwa hanya dengan tagar tersebut, namun semua informasi yang terkait dapat diakses.

Sibawaihi langsung menanggapi penggunaan Instagram untuk membentuk hubungan yang berlanjut setelah pertemuan ini. Olin sepakat dengan pernyataan Sibawaihi dan menyarankan untuk membuat pokja (Kelompok Kerja) seperti Koordinator Wilayah untuk Lingkar Seni Wallacea ini agar masing-masing daerah memiliki rasa tanggungjawab terhadap kegiatan ini sehingga dapat berlanjut.

Sebelum diskusi ditutup, maka diputuskan koordinator masing-masing wilayah, yaitu Taufik Adam (Gorontalo), Mario F Lawi (NTT), Muhammad Sibawaihi (NTB), Opa Rudi Fafid (Maluku), dan Rahmadiatur Hidayatri (Palu). Selanjutnya, Zikri mengingatkan bahwa dalam menjalankan Instagram ini perlu juga dibicarakan konten dan redaksionalnya.

Diskusi hari ini merupakan diskusi pembuka untuk mengkaji kendala-kendala yang ditemukan dan langkah-langkah apa yang memungkinkan untuk diambil agar komunitas dan Lingkar Seni Wallacea ini terus berlanjut dan berkesinambungan. ***

 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.