Oleh: Hendry Irvansyah | Komunitas pasirputih
Saya sedang berada di Gili Meno. Kali ini, AkasaraMedia Komunitas pasirputih Lombok sedang melaksanakan riset dan syuting, terkait masalah terkikisnya pesisir pantai-atau yang lebih dikenal dengan istilah abrasi-di Gili Meno. Beberapa hal yang mendorong kami melakukan riset ini adalah kecemasan, kekhawatiran dan kepedulian terhadap eksistensi kawasan wisata Gili Meno, dan seluruh pantai yang ada di Lombok Utara. Kemudian berkembangnya isu, bahwa dalam 100 tahun yang akan datang diperkiraan Gili Meno ini akan tenggelam oleh abrasi. Sebab, kenyataan yang terjadi bibir pantai di Kawasan Wisata Gili Meno, sudah terkikis.

Syuting kami memulai dari sisi timur pulau. Sisi timur dimulai dari pelabuhan sampai Bungalow Blue Coral. Setelah menelusuri kawasan ini, ternyata akibat dari abrasi sudah sangat meyedihkan. Dampak abrasi mengakibatkan hampir 10-15 meter bibir pantai yang hilang. Hal ini diungkapkan salah seorang pekerja wisata di Jally Cafe, yang sudah bekerja di Gili Meno sejak 18 tahun yang lalu. Hal ini perlu segera ditanggulangi, supaya dampak abrasi tidak meyebar.

Ada beberapa faktor penyebab abrasi. Menurut keterangan yang kami peroleh, abrasi yang melanda Gili Meno ini, pertama memang dikarenakan arus ombak sangat kencang di selat sebelah timur. Selat sebelah timur yang membelah Gili Meno dan Gili Air, pada musim tertentu, menyebabkan pertemuan arus utara dan selatan yang sangat deras. Arus ini kemudian menyebabkan ombak semakin besar dan kencang menuju ke pesisir pantai dan mengakibatkan terkikisnya tanah-tanah dipinggir pantai, sedikit demi sedikit. Selanjutnya, faktor penyebab abrasi ini kami temukan dalam wawancara dengan seorang tokoh masyarakat bernama Gepeng. Gepeng sendiri sudalah lama bergelut di bidang pariwisata. Selain itu, Gepeng tergabung dalam kelompok Ekowisata Mangrove. Menurut Gepeng, untuk menjaga kelestarian Gili Meno, harus dimulai dari kesadaraan diri setiap warga masyarakat. Sementara ini, warga berusaha menyelamatkan pantai dengan cara membuat tanggul di bibir pantai, tanggul yang terbuat dari beton ini bertujuan pasir tidak terbawa ombak. Namun, pembuatan tanggul oleh mereka yang memiliki tanah di pesisir, bukan solusi yang baik menurut Gepeng. Sebab, akan mengakibatkan kerusakan yang lebih parah pada bibir pantai yang tidak bertanggul. Ketika kami terjun melakukan syuting, memang benar apa yang dikatakan oleh Gepeng. Tidak semua bibir pantai bertanggul. Pantai yang bertanggul hanya bibir pantai yang diklaim oleh sebuah perusahaan atau oleh warga. Menurut Gepeng sendiri, pembuatan tanggul ini masih bersifat penanganan abrasi secara individual. Sebab, sang pemilik tanah tidak perduli dengan keadaan pantai di sebelah yang rusak akibat tanggul yang ia bangun.

Gepeng pun kembali menawarkan solusi. Solusi kali ini berupa penanaman Mangrove atau pepohonan di pinggir pantai. Tapi, solusi ini juga terkendala. Kendala pertama adalah, tumbuhan Mangrove tidak bisa hidup di bibir pantai, sebab ia adalah tumbuhan rawa. Kemudian, penanaman pohon pun tidak sepenuhnya menjadi solusi untuk menanggulangi abrasi. Sebab, menurut Gepeng jika ditanam sekarang, tumbuhan tersebut pasti akan terbawa oleh ombak.



Solusi yang diberikan oleh Gepeng, ia mentahkan sendiri. Akhirnya, timbul rasa penasaran lebih besar dalam hati saya, bagaimana solusi sebenarnya untuk penanganan abrasi ini?

Sebelum menyudahi wawancar, Gepeng sempat menyampaikan statement penting kepada kami. Sebenarnya statement ini ia tujukan kepada seluruh Masyarakat Gili Meno. “Masyarakat di sini belum sadar akan pentingnya menjaga pantai dan lingkungan. Sampai saat ini, masyarakat masih memikirkan tanah dan wilayah masing – masing. Padahal semua elemen masyarakat yang ada di Gili Meno ini, sama- sama saling membutuhkan satu sama lain. Semua mendapatkan manfaat dari pariwisata. Bukan hanya mereka yang memiliki bungalow atau restoran saja, bahkan mereka yang hanya sebagai nelayan dan pedagang warung juga merasakan manfaat dari pariwisata”. Kira-kira seperti itu kutipan dari sekian banyak pesan yang Gepeng sampaikan.
Ayo, Siba dan teman-teman pasirputih, … bikin videonya dong… lanjutkan produksi tulisan-tulisannya… Masalah-masalah seperti yang terjadi di Gili Meno ini harus diangkat. Kalau media massa arus utama tidak bisa mengangkatnya, saatnya peran warga lokal.
Kawan-kawan Pasirputih … saya rasa masalah ini perlu dilakukan penelusuran lebih jauh … Mungkin, tanggapan dari pakar lingkungan perlu ditambahkan …Tidak harus dengan investigasi, sih… tapi sebaiknya mendalam. Kalau bisa, pake konsep akumassa Bernas. Saya yakin pasti hasilnya akan berdampak lebih kuat dan lebih luas.
Terimakasih atas komentar dari teman-teman. Kami dari AksaraMedia akan terus mengupayakan perbaikan baik dalam tulisan, foto, riset dan juga video. setiap tempat yang dikunjungi akan dibuat video…. semoga hasilnya bisa maksimal. AMIN….
Judul yang menggoda, materi yang mengerikan dan cara penulisan yang menarik.
Menyisakan pe er buat semua…bagaimana kabar bibir yang terus terluka itu
Sebaiknya di kaji dulu secara mendalam, bukan ide spontan, apalagi mau menangani abrasi dengan menanam mangrope, dan jenis mangrope seperti apa yang mau di tanam, Perlu di ingat mangrope akan merubah warna pasir putih yang di banggakan menjadi warna merak kecoklatan mendekati warna hitam, karena mangrope/bakau mengeluarkan warna merah tua,
Mengenai abrasi sudah dari jaman nenek moyang di gili air, gili meno dan gili trawangan, dulu seingat saya semasa kecil, di sekeliling gili ada pohon jerangjang (bahasa lokal) setelah pariwisa mulai ramai di cabut dan menurut saya dari situ mulai abrasi di bibir pantai, selain itu ada pohon sepi dan pohon lelede sejenis kangkung darat yang tumbuh di pinggir pantai, itu yang di bersihkan sehingga apabila pada musim bulan purnama setiap bulan ada pasang tertinggi dan penggantian tanggal bulan atas terjadi pasang tertinggi, dari situ bila ada gelombang akan membuat abrasi, jadi sebenarnya sederhana saja tanam kembali jerangjang (bahasa lokal), pohon lelede (kangkung pantai) dan pohon sepi, saya yakin abrasi bisa tertanggulangi.
Tanggul yang di bikin sekarang secara individu memang temporer sekali, gunanya hanya untuk tanahnya tidak tergerus semakin dalam, tapi pemasangannya tidak di kaji secara mendalam mengingat karakter gelombang yang membuat abrasi di dua waktu (bulan purnama dan tilem penggantian tanggal bulan atas atau gelap bulan)
Selain itu juga ada kebiasaan orang tua jaman dulu apabila memasuki bulan Muharram di adakan TOlak Bala dan berdoa bersama di setiap sudut pulau bergantian selama satu bulan dan di akhir bulan Muharram di adakan di masjid, dan bala itu tanpa di minta pasti datang tiba-tiba, jadi perlu bala itu harus di tolak, karena ada doanya
saya kira utk lebih lanjut kita diskusikan bersama
salam
H Achmad Rifai R.
menarik dan picturenya jg indah