Oleh: Muhammad Imran | Komunitas pasirputih
Aku mendapatkan kabar pesan singkat (SMS) melalui handphone-ku. Pesan itu datang dari Siba, divisi program Komunitas pasirputih Lombok dan penggagas program AksaraMedia Komunitas pasirputih. Pesan itu berisi rencana kunjungan rekan-rekan partisipan AksaraMedia ke Gili Meno. Mereka menghubungi ku, karena memang aku salah seorang anggota Komunitas pasirputih. Karena tinggal di Gili Meno, aku agak jarang ikut kegiatan komunitas. Oleh karenanya, mendengar kabar itu, aku tidak sabar untuk menuggu hari kedatangan mereka.
Kedatangan kawan-kawan pasirputih kali ini tidak untuk ber-holiday, melainkan untuk riset dan syuting terkait terjadinya pengikisan di sekeliling tepian pantai Gili Meno. Pengikisan ini dikenal dengan istilah Abrasi. Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut juga dengan nama erosi pantai.

Setelah pengambilan gambar pada hari pertama, kami menemukan banyak bukti visual dari berbagai sudut pantai. Selain itu, kami mencoba mewawancari beberapa orang terkait hal ini. Hasil syuting pada hari pertama ini, menjadi bahan kajian kami pada malam harinya. Siba, mengarahkan diskusi dan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada kami, terkait hasil syuting. Sesuai rencana, pada hari kedua, kami langsung ke Sekolah Dasar Gili Meno, untuk menemui BaPak Sahdan. Beberapa orang yang kami wawancarai pada hari pertama, mengarahkan kami untuk menemui beliau, agar mendapatkan informasi yang akurat terkait abrasi di Gili Meno ini. Selain menjadi seorang Guru di Sekolah Dasar Gili Meno, Pak Sahdan juga adalah ketua organisasi Meno Lestari. Organisasi inilah, yang bergerak melakukan pemantauan sekitar pantai di Gili Meno. Selain itu, segala hal yang berkaitan dengan program pelestarian, pengembangan, pemanfaatan pesisir di tangani oleh organisasi ini. Oleh karena itu, sangat tepat sekali membicarakn hal ini dengan beliau.

Dengan kamera di tangan, kami melintas di depan kelas tempat Pak Sahdan yang sedang mengajar. Pak Sahdan yang sedang berdiri di depan kelas, melihat kami dari jendela. Karena kami diluar, ia langsung menghampiri dan menyapa saya.
“Mau ngapain ran?” tanya Pak Sahdan padaku sambil tersenyum dengan bibir yang dihiasi kumis tebalnya.
“He he… kami sengaja kesini mau nyari bapak,” jawab ku sambil malu-malu.
“Tumben ni nyari saya. Ada apa ya?” jawab Pak Sahdan sambil penasaran.
“Begini Pak, kami dari Komunitas pasirputih, mau nyari imformasi tentang abrasi. Kebetulan kami dikasih petunjuk sama warga, untuk mencari info langsung ke Pak Sahdan, terkait tentang abrasi ini. Katanya juga, Bapak adalah ketua Organisasi Meno Lestari, yang bertanggung jawab masalah laut dan pantai di Gili Meno. Bener gak, Pak?”
“Benar, tapi tidak hanya maslah laut dan pantai saja! Namun mencangkup semuanya, termasuk juga Mangrove (Ekowisata Mangrove-red).”

Setelah hening selama beberapa detik, Siba pun mulai bertanya, “Pak, boleh cerita gak… dulu pantai Gili Meno ini seperti apa sih?”
“Saya masuk di sini tahun 90 (1990-red). Dulu luasnya pasir, kurang 10 meter. Kalau di pelabuhan yang sekarang, jarak dari bibir pantai ke jalan itu sampai 10 meter. Di sana juga ada pohon-pohon yang berdiri. Sekarang semuanya sudah hancur, diakibatkan: 1. Pembuangan jangkar, sehingga terangkat batu-batu (karang-karang) pemecah gelomang. Kemudian, kalau kita ingat-ingat di Gazeb0 (nama bungalow), pasir yang paling tebal ada di sana. Mulai dari Vila Cukli (nama bungalow )sampai Kontiki (nama bungalow ) itu, kita nginjak pasir aja, tertanam kita punya kaki saking tebalnya. Sekarang sudah tidak ternaman lagi kita punya kaki. Pasirnya hilang. Itu akibat dari abrasi,” cerita Pak Sahdan kepada kami.
Lebih lanjut Pak Sahdan menjelaskan, selain paktor alam, abrasi ini juga di karnakan oleh ulah manusia itu sendiri. Contohnya, dulu penduduk di sini mengambil karang yang besar guna di jadikan sebagai pondasi rumah. Karang yang besar tersebut, biasanya disebut dengan nama batu unggu. Ketika diambilnya karang-karang yang besar sebagai bahan pondasi rumah, maka secara otomatis tidak ada lagi pemecah gelombang. Selain itu, masyarakat di Gili Meno pernah marak membudidayaan rumput laut. Waktu itu harga rumput laut kering sangat mengiurkan dan dengan harga Rp. 6.500,- sampai Rp. 7.000,- per kilo gram. Maraknya masyarakat membudidayakan rumput laut itu, terjadi sekitar tahun 1994-1997.
“Kami, masyarakat Gili Meno, dulunya dengan pemikiran yang sangat awam, membuka lahan besar-besaran untuk budi daya rumput laut. Kami belum mengerti dampak dan akibat dari hal tersebut. Karena untuk budi daya rumput laut ini, kami terpaksa harus meratakan permukaan laut yang berupa karang, padang lamun (sejenis tumbuhan laut_red) dan bebatuan, yang seharusnya berpungsi sebagai pemecah gelombang. Hampir seluruh pesisir pantai Gili Meno ini dulu di kelilingi oleh hijaunya rumput laut. Tidak hanya di Gili Meno, Gili Air dan Gili Trawangan juga mengalami hal yang serupa. Kami tidak menyangka bahwa efeknya akan seperti ini. Mungkin, itu kesalan terbesar yang pernah dilakukan penduduk Gili Meno. Semua itu sudah berlalu, nasi sudah jadi bubur,” ujarnya dengan rasa penyesalan.

Abrasi pantai tidak hanya membuat garis-garis pantai menjadi semakin menyempit, namun juga membuat pantai yang indah menjadi rusak. Seperti kita ketahui Tiga Gili (Air, Meno dan Trawangan_red) ini, khususnya Gili Meno mempunyai pantai yang sangat indah. Tapi sekarang, keindahan pasir putih nan lembut sudah diselimuti oleh batu beton yang keras, kaku dan kasar. sehingga sudah tak elok di pandang mata.
Aku yang bertempat tinggal di Gili Meno, setiap hari harus merasakan pilua menikmati pemandangan abrasi pantai. Akibatnya, saat ini para penggiat wisata melakukan penanggulan untuk menyelamatan lahan masing-masing. Karna abrasi, dilakukanlah penanggualan oleh warga atau para investor yang mempunyai tanah, kafe, bungalow atau bangunan yang ada di pesisir pantai, jalan pintas ini diambil untuk menyelamatkan lahan masing-masing, tanpa menghiraukan lahan orang di sekitarnya. Menurut Pak Sahdan, penangulan tidak begitu efektif. Sebab akan menyebabkan kerusakan lingkungan pantai yang di sebelahnya. Penanggulan tidak akan memberikan solusi, sebab yang rusak akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu.
“Kami dari pihak Meno Lestari, sudah melakukan penanaman karang, dengan system transpalasi karang yang biasa disebut dengan bayrock. Selain itu kami juga merencanakan untuk menaruh beberapa pelampung di zona-zona ter tentu seperti di pelabuhan dan di snorckling area, agar para pekerja transportasi boat tidak membuang jangkar sembarangan. Tapi rencana itu sempat ditolak. Selain itu, yang terpenting untuk mencegah abrasi adalah membuat pemecah gelombang. Kami sudah merencanakan untuk itu, tapi itu juga tidak di setujui oleh beberapa pihak dengan alasan boat dan fast-boat tidak bisa masuk dan bersandar di pantai,” lanjut Pak Sahdan.

Tidak hanya sampai di sana. Kata istriku, Aceq, dulu sekeliling pantai Gili Meno ini banyak dikelilingi berbagi macam tumbuhan. Salah satunya adalah Rumput Jeranjam. Menurut Aceq, rumput ini sangan efektif untuk penangulangan abrasi, karena ia berfungsi mengikat pasir. Namun, karna banyaknya pembangunan di pingir pantai, mengakibatkan pemilik lahan harus membersihkan Jeranjam tersebut.

Karena nasi sudah menjadi bubur, berbagai macam upaya penanggulangan tetap harus dilakukan. Meski kemudian apa yang hilang tidak akan kembali lagi. Namun paling tidak, mari kita melihat apa yang termuat dalam UU RI nomor 1 tahun 2014 tentang pengelolaan pesisir pantai dan pulau-pulau kecil, Pasal 1 ayat 22, tentang Rehabilitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah proses pemulihan dan perbaikan kondisi Ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun hasilnya berbeda dari kondisi semula. Selain itu, kami dari AksaraMedia Komunitas pasirputih Lombok, mengajak pemerintah, organisasi apapun itu dan masyarakat tanpa terkecuali. Terutama mereka, seperti yang tertera dalam UU Pengelolaan Pesisir Pantai Dan Pulau-Pulau Kecil RI No. 1 TAHUN 2014 Pasal 1, Ayat 30, yakni para pemangku kepentingan, para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudi daya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat, untuk mulai melihat maslah ini dan bersama-sama kita dalam mencari solusinya.
Karna kalau bukan dari kita siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi?

Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki….. Banyk sudah pihak yang melirik masalah ini. namun bagaimanapun, yang terpenting adalah kesadaran wagra itu sendiri. Jangan sampai mengulangi kesalahan yang sama. Semoga dengan hadirnya tulsian-tulisan ini, aspek pariwisata di Lombok Utara bisa berangsur membaik…. Salam.
Persoalan materi yg cukup menggelapkan aksi solidaritas terhadap alam, perlombaan finansial kearah keserakahan membuat kita lupa diri sehingga menghalalkan segala cara utk pemenuhannya. Membangun kesadaran Dan SDM memang sangat sulit, dibutuhkan gerakan massive yg terukur Dan terarah. Tentunya ini syarat akan dukungan dari berbagai stakeholder dan pegiat yg terlibat langsung.
Tulisan yang menarik. Membaca pesisir adalah membaca alam dan membaca alam adalah membaca masa depan anak cucu…
Menarik ini tulisannya, benar kata Mas Siba, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki pesisir pantai yang pernah terjamah dan meninggalkan efek negatif seperti yang dijelaskan tulisan di atas. Yang paling penting membangun kesadaran dan collective action, menyelesaikan masalah bersama-sama melalui komunitas. Kobarkan Semangat Indonesia…!!!
menguak fakta yg ada di lapangan, bkan hanya income yg di urus tapi lingkungan dan kelangsungan hidup lingkungan perlu di perhatikan dan di jaga, kerja bagus, (Y) (Y) (Y)