Catatan Izomi di Hari Senin – Bag. 2: “Bersama Albert ke Muara Putat”

MASIH DI HARI Senin, 4 Februari 2019, pukul 14:00 WITA. Bukhari meminta terminal cokrol untuk dipakai mengelas besi yang akan dijadikan gawang untuk turnamen Bangsal Cup. Saya pun mematikan laptop, menunda pekerjaan menulis saya, dan memberikan Bukhari terminal cokrol yang dibutuhkannya. Orang-orang sudah mulai sibuk bekerja kembali untuk menyiapkan perhelatan turnamen sepak bola tahunan bagi warga lokal di Pemenang tersebut.

Kemudian, saat saya merapikan perlengkapan kerja dan meletakan laptop pada tempatnya, tiba-tiba saya mendengar suara Aliya memanggil-manggil Hamdani. Saya sahuti dan beri tahu ia bahwa Hamdani sedang terlelap di dalam ruangan kelas Mendea. Gadis itu pun masuk ruangan dan membangunkan Hamdani, lalu ia mengeluarkan sebungkus es mochi dari dalam tasnya dan memberikannya kepada Hamdani. Tapi Hamdani menolak dan mengaku sedang sakit. Hamdani memberikan es mochi itu kepada saya dan Oka yang langsung saja meminumnya. Ketika es itu tersisa setengahnya, Oka pergi keluar ruangan; saya juga beranjak dengan membawa es itu ke campcraft Pasirputih.

Siang itu di campcraft, ada Albert, Anggraeni, Dhuha, dan Harry. Keempatnya melakukan aktivitas masing-masing. Albert makan siang, Anggraeni membaca buku sambil tiduran, Dhuha sibuk menulis di depan komputer, sementara Harry sibuk dengan laptopnya. Saya tawarkan kepada mereka es mochi yang saya bawa, menaruhnya di depan Albert, lalu saya duduk di dekat mereka, memperhatikan Dhuha yang sedang mengetik. Beberapa menit kemudian, Albert selesai makan siang. Saat ia mengembalikan piring ke dapur, saya keluar dari campcraft dan duduk di terasnya. Lalu Albert datang kembali ke campcraft dan menanyakan es yang saya bawa tadi, tetapi ternyata esnya sudah habis diminum oleh teman-teman yang lain.

Pedagang es mochi. (Foto: Fahrul Fiqi Izomi)

Saya menawari Albert untuk membeli es mochi yang baru; ada penjual es mochi di depan kantor Desa Pemenang Barat. Ia pun setuju. Lalu saya menghampiri Alya yang sedang duduk di dekat Hamdani di rumah Pak Manan, meminjam motornya. Alya pun memberikan kunci motornya; saya segera membeli es mochi. Es yang saya beli itu kemudian saya berikan kepada Albert dan Mas Sentot. Setelah mengembalikan kunci motor kepada Alya, saya bergabung dengan Albert dan Mas Sentot, mendengarkan mereka bercerita.

***

Pukul 14:45 siang, Albert mengajak saya pergi ke Pelabuhan Bangsal untuk melihat suasana di sana. Tahun lalu, Albert pernah tinggal beberapa minggu di Kecamatan Pemenang, berkegiatan bersama Pasirputih, hingga gempa terjadi pada tanggal 5 Agustus 2018. Beberapa hari setelah gempa, Albert menyempatkan diri pulang ke kampungnya di Sumatera Barat. Lalu sekarang ia kembali ke Kecamatan Pemenang untuk mengikuti Bangsal Menggawe. Sejak dimulainya situasi pasca-gempa Lombok tahun lalu, Albert belum pernah lagi ke Pelabuhan Bangsal.

Maka, saya kembali meminjam motor kepada Alya—gadis ini lagi-lagi mengizinkan kami meminjam motornya. Saat saya dan Albert sudah bersiap-siap di atas motor hendak tancap gas ke Pelabuhan Bangsal, tiba-tiba Dhuha keluar dari dalam campcraft dan memohon untuk ikut nebeng motor kami karena ia ingin belanja bahan-bahan keperluan pribadi di ruko yang terletak di seberang gang yang menuju kantor Pasirputih.

Dalam perjalanan menuju Pelabuhan Bangsal—setelah menurunkan Dhuha di ruko yang dimaksud—saya dan Albert berbincang tentang situasi pasca-gempa. Teman saya yang berasal dari Solok itu menanyakan banyak hal tentang kondisi Pemenang, terutama yang ada di sekitaran Bangsal.

Setibanya di pelabuhan, Albert mengajak saya untuk duduk di ujung dermaga, nongkrong sambil merokok.

Suasana di ujung dermaga Pelabuhan Bangsal. (Foto: Albert Rahman Putra)

Di ujung dermaga, saya mulai bertanya kepada Albert tentang perihal apa saja perubahan yang disadari olehnya, terutama yang ada di Bangsal. Namun, Albert tidak langsung menjawab pertanyaan saya. Ia justru bertanya apakah saya membawa korek sembari mengeluarkan bungkus rokok dari dalam kantong celananya. Saya tidak bawa korek. Lantas Albert mencoba meminjam korek kepada para pemancing yang ada di dekat kami, tapi usaha itu sia-sia. Karenanya, saya meminta sebatang rokok kepada Albert, lalu menyalakan motor, mencari pinjaman korek ke para pemancing lainnya yang duduk lebih jauh dari kami.

Berhasil menyalakan rokok dengan meminjam korek dari seorang pemancing, saya kembali menghampiri Albert, menyerahkan rokok yang sudah saya bakar supaya Albert bisa menyalakan rokok miliknya. Saat rokoknya menyala, barulah Albert menjawab pertanyaan saya.

Pelabuhan Bangsal. (Foto: Albert Rahman Putra)

Menurut amatannya, ada cukup banyak perubahan di Bangsal pasca-gempa: mulai dari berkurangnya jumlah kapal yang berangkat ke Gili, penampakan bangunan-bangunan yang retak tak terurus, termasuk juga bangunan menara penanda tsunami. Lalu Albert sempat bertanya kepada saya tentang keberadaan pelabuhan apung yang digunakan untuk pengembangan botani; Albert mendengar kabar bahwa katanya pelabuhan itu hanyut hingga ke Muara Putat. Teman saya itu menanyakan kebenaran kabar tersebut. Saya sendiri tak tahu pastinya, mungkin pelabuhan apung itu malah sudah diamankan oleh polisi air yang berjaga di sekitaran pantai Bangsal.

***

Pukul 15:30 sore. Albert sudah menghabiskan dua batang rokok. Ia kemudian barkata bahwa dirinya ingin pergi ke Muara Putat. Karena waktu sudah mepet, ia menimbang-nimbang, tapi memutuskan tetap ke Muara Putat dan akan kembali pulang ke markas Pasirputih pada pukul 16:00. Saya mengiyakan ajakan Albert, hitung-hitung saya juga ingin melihat suasana di pantai tersebut. Albert juga ingin ngopi di sana, katanya.

Giliran Albert-lah yang kali itu mengendarai motor dan saya membonceng di belakang. Di perjalanan menuju Muara Putat, saya bertanya kepada Albert, bagaimana caranya supaya bisa gemuk? Albert tertawa kecil, tapi menjawab, “Ya, intinya harus kuat makan dan nggak usah banyak pikiran.” Kami terus saja membahas soal itu hingga, ketika mendekati Muara Putat, Albert sempat lupa di mana posisi gang yang menuju pantai Muara Putat. Saya tegur dia bahwa motor kami sudah melewati gang tersebut cukup jauh sehingga Albert terpaksa harus memutar balik motor yang kami kendarai.

Saat mau memasuki gang pantai, kami melihat dinding-dinding sekolahan SMK N 1 Pemenang yang sudah retak dan miring. Saya bilang ke Albert, mungkin kalau bangunan itu mendapat getaran sedikit saja, tembok-temboknya bakalan runtuh. Albert menyetujui pendapat saya.

Penampakan dari kondisi dinding bangunan SMK N 1 Pemenang. (Foto: Albert Rahman Putra)

Albert lantas bertanya, mengapa orang-orang tidak mengambil kaca dan bahan bangunan yang masih bisa dipakai…?

“Mana berani mereka mengambilnya…?!” jawab saya. “Lihat saja dindingnya! Sudah retak dan sudah miring begitu.”

Sesampainya kami di lokasi Muara Putat dan memarkirkan motor, saya dan Albert berjalan menyusuri pinggiran pantai mencari tempat duduk. Kami memilih duduk di bawah sebuah pohon kelapa.

Pantai Muara Putat, Kecamatan Pemenang. (Foto: Albert Rahman Putra)

Setelah duduk di posisi yang nyaman, saya memberikan tawaran kepada Albert untuk kapan-kapan pergi wisata ke Lombok Selatan dan Tengah. Lokasi persisnya ialah pantai Mandalika, di Kuta, Praya, dan pantai Selong Belanak. Kebetulan, saya menjelaskan, esok harinya ada acara Bau Nyale di Selong Belanak. Albert sebenarnya merasa tertarik dengan tawaran saya itu, namun menurutnya waktu yang tersedia belum pas untuk ke sana karena festival Bangsal Menggawe yang diadakan oleh Pasirputih dan warga Pemenang—di mana Gubuak Kopi (Solok, Sumatera Barat) dan Forum Lenteng (Jakarta) juga terlibat—masih akan berlangsung hingga awal Maret.

Pantai Muara Putat, Kecamatan Pemenang. (Foto: Albert Rahman Putra)

Kami berbincang banyak hal di Muara Putat hingga hari menunjukkan pukul 16:00. Albert ada janji dengan Gozali (Ketua Umum Pasirputih) untuk pergi ke Kecamatan Tanjung, menemui seseorang yang bernama Abdi Haris. Oleh karena itu, tak memperpanjang waktu nongkrong, kami pun segera kembali menuju markas Pasirputih.

Dalam perjalanan pulang, saya dan Albert lagi-lagi berdebat soal dinding tembok yang ada di SMK N 1 Pemenang dan perubahan-perubahan yang ada di sekitaran pantai Muara Putat. Kami terus membahasnya hingga motor kami sampai di Pasirputih. Diskusi kami soal perubahan itu tertunda karena, seturunnya dari motor, Albert segera menemui Gozali, sedangkan saya menyerahkan kembali kunci motor kepada Alya.

Setelah itu, saya, Oka, dan Rajib mempersiapakan perlengkapan dan alat-alat, seperti cangkul dan pemotong rumput, untuk membersihkan lahan yang ada di antara gedung KUA Kecamatan Pemenang dan gedung Syahbandar, yang rencananya akan digunakan untuk turnamen Bangsal Cup tahun ini. Oka mengkoordinasikan kawan-kawan yang lain, seperti Dhuha, Harry, Maria, Ipeh, dan Alya agar juga ikut gotong-royong bersih-bersih di lahan. Namun, Ipeh dan Aliya memilih ke rumah Maskanah terlebih dahulu untuk melaksanakan sholat dan akan menyusul kami ke lahan.

Oka dan Rajib kemudian jalan lebih dulu ke lapangan yang lokasinya tak jauh dari Pelabuhan Bangsal itu.

“Saya akan carikan andong di Bangsal buat menjemput teman-teman di Pasirputih,” kata Rajib, sambil berlalu.

Bersambung ke Bag. 3

Baca Tulisan Bag. 1


Editor: Manshur Zikri

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.