Oleh: Ahmad Rosidi | Berugaq Pictures IAIN Mataram
Kebersihan adalah salah satu persoalan yang harus disadari bersama. Pentingnya kebersihan sangat berperan dalam kehidupan. Gambar sampah, bak sampah dan kata “Jagalah Kebersihan” kita temukan dimana-mana, sebagai pesan keharusan menjaga kebersihan.
Adalah Hafiz, yang bernama lengkap Muhammad Hafizudin yang sekarang masih duduk di bangku kuliah, semester delapan, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) IAIN Mataram, yang tergerak hatinya merawat dan menjaga kebersihan. Ini adalah hal yang mungkin langka kita temukan dalam kebiasaan kita, terutama di IAIN. Saya menjadi tertarik untuk melihat sosok seorang Hafiz. Sebab ternyata, dalam kisah perkuliahannya, saya mendengar banyak kisah yang menarik.
- Hafiz dan Bahasa
Awalnya, ia terpesona dengan bahasa Inggris walaupun dia mendapat nilai tidak bagus dalam bahasa Inggris. Sebelumnya ia mengatakan bahwa Bahasa Inggris itu adalah Bahasa setan (devil language), namun Hafiz berubah saat mendengar lagu Maher Zein yang berjudul “Insyaallah”. Dari lagu itu, semangat berbahasa Inggris mulai tertanam dalam dirinya. Dalam perkuliah, kemudian ia berniat mengembangkan Bahasa inggrisnya, dengan ikut serta dalam program yang ditawarkan oleh Pak Ari (nama akrab salah satu dosen bahasa Inggris di IAIN Mataram). Hafiz disuruh mencari teman-temannya yang mau ikut kursus dan itu gratis. Tapi sayang, usaha Hafiz ditolak mentah-mentah oleh teman-teman kelasnya, “…diajak gratis saja tidak mau, apalagi yang bayar…”, katanya Hafiz. Dia memutuskan untuk bertemu dosennya dan meminta maaf karena tidak mendapatkan teman. “Ya sudah, kamu yang mau belajar, ya… kamu saja yang bisa”, kata Hafiz menrikukan Pak Ari.
Hafiz pun sangat bersemangat. Selama belajar, ia tinggal di rumah Pak Ari. Hafiz makin lancar berbahasa Inggris, dan setiap tugas makalah yang diberikan dosen, ia selalu menggunakan bahsa Inggris. Teman-teman Hafiz pun bingung, melihat keanehan Hafiz. Tapi Hafiz berusaha menjelaskan dengan cara mengartikan setiap kata di makalahnya. Dari situ, Hafiz sering diberi tugas oleh Pak Ari, untuk mengartikan tulisan sebanyak tiga lembar ber-spasi satu. Seiring waktu, ia pun dianjurkan untuk menggunakan Bahasa Inggris dalam skripsinya.

Hafiz juga mahir berbahasa Arab semenjak dia duduk di bangku Madrasah Aliyah. Ia sempat mendapatkan juara satu dalam lomba pidato bahasa Arab. Tapi sesampainya di bangku kuliah, Hafiz menjadi tidak suka dengan bahasa Arab. Itu karena dosen yang mengajarnya bahasa Arab tidak sepaham dengannya. Dosen itu mengimpelemntasikan peraturan yang tidak sesuai dengan kurikulum bahasa arab. “Yang berhak mendapat nilai bagus adalah orang yang tulisan bahasa Arabnya bagus”, kata Hafiz menirukan dosen tersebut. Bagi Hafiz, ini sangat buruk dalam pengembangan pendidikan. Hafiz pandai membaca dan menguasai bahasa Arab, tapi tulisannya tidak sebagus teman kelasnya. Akhirnya Hafiz kecewa dengan itu, karena teman-teman yang menurutnya kurang pantas mendapat nilai bagus, justru mendapatkan nilai bagus hanya karena tulisannya bagus, meski sebenarnya mereka tidak memahami Bahasa Arab. Sedangkan Hafiz, yang mampu menguasai dan membaca Bahasa Arab dengan bagus, mendapat nilai tak sebagus teman-temannya. Kekecewaan Hafiz pada dosen itu sangat luar biasa.
***
- Hafiz dan Musholla

Musholla telah memanggilnya untuk bergerak menerapkan kata “Jagalah Kebersihan”. Hafiz pun mulai membersihkan musholla. Sudah sangat lama dia bersabar menunggu pihak institut memperhatikan musholla sebagai ciri khas kampus yang berlatarbelakang islam. Sangat disayangkan jika hal itu tidak diperhatikan. Akhirnya, Hafiz memutuskan untuk tinggal sementara di musholla, agar memudahkan dirinya membersihkan musholla kapanpun ia mau. Dia mencoba membuat surat lamaran untuk melegalitaskan dirinya tinggal di musholla, dan agar bisa bertanggung jawab atas kebersihan musholla. Kemudian dia membawa surat lamaran itu ke Bapak Hasanudin M.Pd, sebagai Pembantu Rektor (PR) II, atau sekarang disebut Wakil Rektor (WR) II.
“Saya sudah lama bersih-bersih di sana pak. Saya sudah bersepakat dengan Pak Sapwan”, kata Hafiz.
Tapi itu ditolak mentah-mentah. ”kamu aktif atau tidak di musholla, tidak ada efeknya, toh sudah ada yang bertanggung jawab disana”, Kata Hasanudin. Kemudian Sapwan yang waktu itu menjadi penanggung jawab musholla, dipanggil oleh WR II untuk menjelaskan persoalan musholla, kok bisa orang lain yang membersihkan musholla. Sapwan pun tidak bisa menjelaskan itu, akhirnya Sapwan dipindah tugaskan ke auditorium. Tapi Hafiz tetap akan tinggal di musholla karena dia merasa nyaman disana.
Ruangan kecil yang berada disebelah kiri kanan tempat imam itu, akhirnya tempati Hafiz. Ia bersepakat dengan Sapwan yang saat itu masih bertanggung jawab atas kebersihan dan kelengkapan musholla, untuk bekerjasama dalam membersihkan musholla juga secara bersama.
“Tapi, Sapwan yang bertanggung jawab atas hal ini tidak pernah datang ikut membersihkan musholla. Saya tetap ngepel, sapu-sapu, rapikan tempat shalat. Saya ngepel lantai musholla, kadang tiga kali sehari kadang dua kali sehari, dan saya tetap berusaha rutin, setiap pagi saya ngepel dan sapu-sapu, setelah pulang kuliah saya sapu-sapu lagi, karena mahasiswa yang datang ke musholla tidak memperhatikan kebersihan, saya tulis kertas di tempat wuduq, ‘Jangan Naikkan Alas kaki Ke Lantai’, tapi itu tak pernah diindahkan. Akhirnya saya buat jembatan memakai batu bata, supaya kaki mereka tidak kotor, tapi tetap saja tidak efektif dan mahasiswa tidak mengindahkan hal itu”. Hafiz bercerita panjang lebar.
Sebelumnya, Hafiz pernah mengajar mengaji di Desa Sayang-Sayang, Kota Mataram. Tapi sudah lama berhenti disana. Sebab, saat pulang mengajar ia selalu merasa risih, karena gang yang ia lewati adalah tempat mangkalnya Pekerja Seks Komersil (PSK). Saat ini, Hafiz berkonsentrasi di bidang tulis menulis. Tulisannya sudah pernah diterbitkan di Koran Lombok Post. Ia mengirim tulisan delapan kali, namun hanya dua tulisan yang dimuat di surat kabar itu, salah satunya tulisan yang berjudul ‘Meningkatkan Citra Bahasa Arab’. Tulisan ini bersumber dari kekecewaannya saat mendapat perlakuan dari dosen yang membuat peraturan yang sangat buruk. Mulai dari saat itulah kemudian dia menulis untuk komunitasnya sebagai jalur alternative. Setiap tulisan yang ia tulis, selalu mendapat apresiasi yang memuaskan. Harapan besarnya untuk IAIN Mataram adalah agar mahasiswa, dosen dan semua civitas akademika, memiliki rasa tanggung jawab dan selalu saling menghargai.
________________________________________________________________________________
Tulisan ini dibuat dalam rangka workshop Literasi media yang diinisiasi oleh Komunitas pasirputih Lombok Utara dan Berugaq Pictures IAIN Mataram.
Tentang Penulis :
Ahmad Rosidi lahir di Makkah, 16 Maret 1989. Beberapa kali terlibat dalam organisasi kampus. Ia pernah menjadi ketua BKSM Saksi IAIN Mataram tahun 2012-2013. Sekarang aktif berteater di Teather Lho Indonesia. Selain itu, lelaki yang disapa Dhoom ini, menjadi penggas berdirinya Komunitas Berugaq Picturess.