Oleh : Hamdani | Komunitas Pasirputih Lombok
Saat bulan purnama, Anak-anak Gerbong Tua berkumpul untuk sekedar melepas kerinduan, setelah cukup lama tidak bertemu. Seperti biasa, setiap berkumpul selalu ada acara-acara yang dibuat, misalnya bertukar cerita serta pengalaman dan yang paling ditunggu adalah Arisan Bulan Purnama. Meskipun anggota Gerbong Tua hanya terdiri dari kaum adam, namun mereka suka juga arisan. “Teger ta pada tetep kumpul pas galang bulan” (Agar kita tetap kumpul ketika bulan purnama), kata teman-teman Gerbong Tua.
Tidak hanya acara-acara duduk-duduk melingkar menikmati kopi. Namun, pada hari-hari besar anggota Gerbong Tua juga sering mengadakan kegiatan. Seperti kemarin-kemarin ini, untuk menyambut Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2014, Anak-Anak Gerbong Tua mengadakan acara Lintas Budaya ke Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Maksud dari acara tersebut, agar Anak-Anak Gerbong Tua senantiasa menghargai dan bangga terhadap budaya yang dimiliki.
Pada Minggu, 10 Agustus 2014 purnama kembali datang. Anak-Anak Gerbong Tua berkumpul untuk membahas acara yang telah direncanakan. Setelah melewati diskusi panjang, maka jatuhlah pilihan pada Jumat, 15 Agustus 2014 jam 8 pagi berkumpul di rumah L. Mintarja. Mendengar hal itu membuat saya semakin tak sabar menunggu hari yang telah di tentukan tersebut.
Jumat pun tiba, terlihat Anak-Anak Gerbong Tua berdatangan satu-persatu dengan sepeda motor yang sudah dicuci, ada juga yang masih mencari baju. Maklumlah, mengingat baju yang kami kenakan harus serba hitam. Prihal baju itupun membuat yang tak punya harus mondar-mandir untuk meminjam. Ketika segala persiapan sudah siap, kamipun berangkat.
Di tengah perjalanan, kami dikejutkan oleh salah satu teman kami yang terjatuh dari sepeda motornya, Mursid namanya. Kamipun langsung menepi, melihat Mursid yang cuma duduk dan tidak berdiri membuat kami semakin takut. Tak lama setelah itu, iapun berdiri sembari tersenyum dan mengatakan kalau dia tidak apa-apa. Syukurlah, kamipun melanjutkan perjalanan. Sesekali kami berhenti menikmati pemandangan yang disajikan tuhan dengan kebesarannya.
Mengingat L. Mintarja, seorang anggota yang ditunjuk sebagai penunjuk jalan, tidak bisa ikut karena suatu hal, membuat kami harus berhenti di suatu tempat di daerah Bayan untuk membahas ulang tujuan utama kami. Raden Kasmiri, salah satu teman kami angkat bicara. Memberikan usul untuk melihat Masjid Kuno yang ada di daerah Batu Gembung kecamatan Bayan. Tanpa panjang lebar, kamipun langsung berangkat, dan Raden Kasmiri yang memimpin perjalanan kami. Akupun menjadi sangat penasaran. Sebab setahuku, Masjid Kuno Bayan hanya berada di Bayan Beleq. Mendengar ada lagi masjid kuno yang lain, membuatku semakin penasaran dan tidak sabar sampai di tempat itu.

Dari kejauhan tampak batu-batu sebesar gumpalan tangan tersusun rapi, membentuk sebuah gapura yang indah. Sebagai pembatas desa, gapura tersebut sangat cantik dan alami dalam perpaduan dari kayu dan bambu degan atap ilalang. Kamipun memasuki gerbang tersebut. Saat masuk, kita akan menemukan beberapa buah bangunan rumah sederhana yang terbuat dari anyaman bambu. Di ujung deretan rumah itulah, Masjid Kuno Batu Gembung berdiri.
Nampak pagar bambu yang melingkari masjid dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Kubah masjid yang terbuat dari kayu dan berbentuk Ayam Terata (jenis ayam yang bertubuh kecil) menghadap timur menambah rasa takjub dalam hatiku. Meski bangunan masjid ini kecil dan sederhana, tidak tersusun dari batu marmer yang mahal, namun daya tarik arsitektur dan daya magisnya, membuatku terheran-heran. Seolah tak mau melewatkannya, teman-temanku mengabadikan momen tersebut dengan berfoto di depan bangunan masjid.
Mangku dari Masjid Kuno datang. Kamipun dipersilahkan duduk di salah satu berugak yang ada di dekat Masjid. Keakrabatan terjalin, pertanyaan mengalir dari kami yang ingin tahu lebih dalam lagi tentang Masjid Kuno yang ada di depan kami. Menurut Sang Mangku, untuk memperbaiki Masjid ini tidak sembarang orang yang boleh ikut. Disaat kita sudah mendapatkan orangnya, maka orang yang akan memperbaiki masjid tersebut harus dimandikan oleh semua warga kampung. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pensucian diri, agar selama proses perbaikan tidak mendapatkan halangan atau hambatan yang berarti.
Selanjutnya Sang Mangku menjelaskan lagi, bahwa dari empat masjid kuno yang ada di Lomobk Utara, umumnya hanya masjid inilah yang menggunakan satu tiang tengah. Mendengar penjelasan beliau panjang lebar, suasana berubah menjadi hening. Ustaz Ulil, salah satu teman kami kembali menyampaikan pertanyaan, “Apakah ada kejadian-kejadian aneh yang selama ini Mangku alami di Masjid ini?”.

Mangku terdiam. Matanya menatap masjid yang sudah cukup lama dijaganya dengan susah payah itu. Sorot matanya lembut namun penuh rahasia. Perlahan suara Mangku mulai terdengar menyeret pikiran kami kepada masa lalu dengan cerita yang ia alami. Ia pun mulai berkisah, “Pernah dulu ketika masjid ini diperbaiki. Di sela rasa capek dan keringat yang berjatuhan, tiba-tiba datanglah seorang Bule yang langsung masuk ke dalam Masjid. Hal itu, membuat kami bingung dan heran sendiri. Bagaimana tidak? ‘Kaum’ kami saja, kami larang masuk kecuali yang sudah kami mandikan. Ini kok tiba- tiba kami yang tidak tahu siapa dia, kebangsaan mana, langsung masuk begitu saja. Tapi, alangkah terkejutnya kami ketika dia mulai bicara menggunakan bahasa kami (Bahasa Sasak Bayan) tanpa salah sedikitpun, “Onyak-onyak tadah perikek Masjid nene!” (Hati-hati caranya memperbaiki Masjid ini!). Apalagi ketika dia menunjuk diri sembari berucap, “Ni ku Dewi Anjani!” (Ini saya Dewi Anjani!). Mendengar hal itu membuat kami tersentak, tapi tak bisa bergerak, seperti telah tersihir dengan apa yang diucapkan oleh pengakuannya. Begitu Bule keluar dari masjid, beberapa dari kami menghampirinya. Namun, lagi-lagi betapa terkejutnya kami ketika tahu kalau Bule tersebut sedikitpun tidak bisa berbahasa Sasak. Padahal, masih terngiang di telinga kami apa yang diucapkannya di dalam masjid. Meskipun berbagai macam cara kami lakukan, ia tetap pada pendiriannya tidak bisa berbahasa sasak. Jangankan menggunakan Bahasa Sasak kata Sasak-pun dia tidak kenal, dan dalam berbicara ia menggunakan Bahasa Inggris. Hal itupun menyisakan tanya dalam hati kami sampai saat ini. Apakah itu Dewi Anjani yang menjelma menjadi orang lain, atau Dewi Anjani yang merasuk pada jasad orang lain. Entahlah, biarlah semua menjadi cerita yang tersimpan pada debunya masing-masing yang akan selalu kami kenang. Diapun pergi dengan caranya datang (misterius)”. Beliau terdiam, menghela nafas panjang mengakhiri ceritanya.
Mendengar pengakuan Mangku yang seperti itu, membuat bulu kuduk saya berdiri. Selang beberapa menit berlalu, kamipun mohon diri untuk melanjutkan perjalanan ke Daerah Semokan, tujuan utama kami. Di sana juga terdapat sebuah masjid kuno yang juga membuatku penasaran.
Mengingat dari kami yang tidak ada yang tahu jalan ke Semokan, maka kami hanya bisa terus memacu kendaraan, dengan harapan bisa menemukan tanda yang bisa menuntun kami untuk ke daerah tersebut. Untungnya di tengah perjalanan, salah satu dari kami ingat bahwa Ustaz Kosim, orang rumah, setiap Jum’at memberikan pelajaran tentang Islam di daerah yang akan kami tuju ini. Ternyata benar, jalur yang kami tempuh salah dan membuat kami harus memutar balik sepeda motor. Ustaz Kosim pun menjadi petunjuk jalan bagi kami meskipun hanya melalui HP. Akhirnya kami bisa menemukan daerah yang kami inginkan.
Sebelum kami ke daerah masjid yang ada di Semokan, terlebih dahulu kami singgah pada satu desa tempat Ustaz Kosim mengajar. Katanya, untuk mendengar peraturan atau tatacara memasuki wilayah masjid. Untuk memasuki wilayah masjid ternyata cukup rumit. Kita diwajibkan untuk tidak menggunakan celana, sepatu, bahkan celana dalam pun harus dilepas. Yang boleh masuk hanyalah orang yang menggunakan pakaian asli sasak (pakaian adat), yang terdiri dari sarung dan ikat kepala. Mendengar hal itu membuat kami saling melihat satu sama lain, harapan kami musnah, diantara kami kebanyakan tidak membawa sarun apalagi ikat kepala kecuali beberapa orang.

Ustaz Kosim pun mengupayakan supaya, setidaknya kami mendapatkan sarung. Karna paling tidak kalau kita tidak menggunakan ikat kepala ataupun baju kita di perbolehkan untuk menggunakan sarung saja. Kamipun bisa pergi ke tujuan awal berkat sarung sewaan dari Ustaz Kosim. Di tengah perjalanan kami di suguhkan jalan yang berkelok-kelok, berbatu serta berdebu. Sehingga saya tidak bisa menahan tawa, saat melihat kendaraan yang kami gunakan berwarna hitam berubah warna, bahkan rambut sampai jenggot berubah warna.
Sesampai di tujuan, sepeda motor kami parkir di salah satu pondok kecil. Kicau burung dan suara angin seakan menyambut kedatangan gerombolan kami. Hutan lebat beserta kayu-kayu besar menjadi pemandangan menakjubkan sebelum kami melihat masjid kuno yang kedua ini. “Kita akan berjalan beberepa menit dari sini untuk menuju masjid”, kata salah seorang mangku yang menemani kami. Dalam perjalanan di balik pohon-pohon lebat nan tinggi, nampak sungai kering tak berair menjadi pemotong jalan kami. Di pinggir sungai terdapat sumur kecil yang tak pernah kering sekalipun di musim kemarau panjang. Di sanalah kami di berhentikan untuk berwudhu, sebelum masuk ke masjid.



Mangku dan beberapa orang yang tinggal di samping masjid, yang menjadi pemandu kami, kami menjadi orang yang pertama untuk berwudhu. Tatacara mereka berwudhu sangat berbeda dengan tatacara yang kita kenal selama ini dalam syariat islam. Hal itupun membuat kami meminta apakah boleh kami wudhu dengsn cara yang selama ini kami kenal. Mangkupun mengiyakan. “Meskipun cara kita berbeda namun satu tujuan yaitu ‘Dia’ yang menciptakan kehidupan, Allah SWT”, kata Sang Mangku. Seusai wudhu, kamipun melanjutkan perjalanan. Dari balik pepohonan, terlihat rumah dan bangunan-bangunan lainnya yang terbuat dari kayu dan bambu seolah membawa ingatan kita kepada suatu massa yang sangat lampau. Kesejukan, kenyamanan dan ketentraman seketika kami dapatkan, ketika menginjak tanah masjid untuk kali pertama. Sambil tersenyum Sang Mangku berkata, “Inilah Masjid Kuno Semokan”.


Menurut kepercayaan orang-orang Bayan, halaman yang ada di depan masjid tidak bisa penuh walaupun jumlah orang yang datang mencapai limaratus, bahkan ribuan orang. Padahal halaman di depan masjid tidaklah terlalu luas. Kamipun menggunakan waktu yang ada untuk narsis kembali, baik dengan teman-teman Gerbong Tua ataupun dengan Sang Mangku, Ha…ha…ha… Di sekitar masjid, ada 3 kepala keluarga yang tinggal disana. Kamipun bertukar cerita. Tak jarang senyum menghias percakapan kami. Setelah cukup lama kami rasa, kami meminta izin untuk pamit. Hari ini, aku belajar banyak tentang sejarah islam di Lombok, khususya di Bayan. Pengetahuanku tentang masjid-masjid kuno yang ada di Bayan bertambah. Mungkin, masih ada lagi masjid kuno di tempat-tempat lain di Lombok Utara ini, yang masih dirahasiakan oleh penduduk. Semoga ada lagi yang menemukan situs-situs bersejarah dan mau memberikan informasi dan pengetahuan tentang hal tersebut.

Tulisan yang sederhana, namun menarik…. Selamat Hamdani!!! Silahkan terus menulis….!!!
Masih ada masjid di daerah timur, dekat perbatasan, tepatnya di dusun barung birak,desa sambik elen, kecamatan bayan..
gag tau tempatnya, besok2 kalau ada waktu boleh gag Bem antrin kita kesana?